0 Janji Inah

Rabu, 29 November 2017



Gambar dari sini 
 

        Masih terngiang saat aku mendapat telepon dari Marni kalau mak jatuh dari pohon kelapa dan nyawanya sudah tak dapat ditolong lagi. Aku bergegas pulang ke kampung tapi hanya jasad mak yang kutemui terbujur di amben rumahku. Aku melihat Marni dan Darto menangis di tubuh mak, pandanganku kabur dan aku tak ingat apa-apa lagi. Kini aku hanya bisa terpekur di makam mak. Sudah hampir tiga hari aku berada di kampung dan hampir tiap hari aku mengunjugi makam mak.
            “Mak, mengapa mak cepat pergi, aku masih punya banyak hutang pada mak? Bagaimana dengan Marni dan Darto , siapa yang akan menjaga mereka. Kami tak punya siapa-siapa lagi.mak, aku malu pada diriku, aku belum bisa memenuhi janjiku sendiri membahagiakan mak, mak masih harus bekerja keras untuk adik-adik, seharusnya aku yang menanggung mereka, mak maafkan aku ,”mataku mulai tetutup kabut air mata, sedikit demi sedikit tetesan air mata membasahi tanah , meresap membawa kesedihan yang masih bersarang di hati. Andai saja aku bisa mencukupi kehidupan keluarga ini, mak tak perlu mati sia-sia karena terjatuh dari pohon kelapa untuk mengambil nira. Aku menelungkupkan kepalaku , aku masih ingin dekat dengan mak, mak segalanya bagiku, mak yang selalu mendoakanku, memberiku semangat. Mak, mengapa mak begitu cepat pergi?????? Isakan tangisku berbaur dengan  angin yang tertiup menyatukan kesedihan .
            “Teh Inah, sudah  teh, mak sudah tenang ,mungkin ini sudah takdir mak, kita hanya bisa mendoakan saja. Teh, aku mau kerja saja. “tukas Darto yang aku sendiri tak tahu sudah berapa lama dia ada di belakangku. Aku menyusut air mataku dan menatap Darto yang tampak lebih dewasa dari umurnya. Kesusahana yang menempanya menjadi dewasa, dia banyak membantu mak membuat gula aren . Peluh selalu menemani hari-harinya, keringat mengucur dari tubuhnya , hanya untuk keluarganya bisa makan. Aku terharu melihat tanggung jawab adikku pada keluraga ini. Andai saja aku bisa mencari pekerjaan yang bisa membuat mereka tak perlu kerja keras lagi, mereka akan menjadi anak-anak yang bisa melewati masa –masa sekolah dan tak perlu susah payah bekerja. Aku malu.
            “Nanti saja itu dibicarakan Dar, aku masih ingin besama mak. Kapan kamu masuk sekolah lagi. Sudah tiga hari kamu tak masuk sekolah,”tegurku. Darto tampak ragu-ragu tapi dia mengurungkan bicara saat aku menatapnya tajam Dia berlalu dari hadapanku, entah hendak kemana.

            “Pokoknya aku gak setuju, kalian harus sekolah, biar hidup kalian gak terus-terusan susah, biar teteh yang bekerja, kalian hanya tinggal belajar saja,”tukasku saat Darto kembali ingin bekerja dan putus sekolah. Aku tak mungkin membiarkan adik-adikku putus sekolah, bukan hanya karena agar mereka punya penghidupan yang layak, tapi aku sudah janji pada mak, kalau aku akan menyekolahkan adik-adiku sampai sarjana.  Sebetulnya aku juga menyangsikan ,karena berapa sih pendapatan seorang buruh satu bulannya dipotong dengan biaya hidup. Sisanya baru aku kirimkan ke kampung. Darto terlihat menunduk dan Marni mulai terisak. Aku menarik mereka dalam pelukanku, aku tak kuat harus menahann tangisku , adik-adiku harus merasakan kegetiran hidup di usianya yang masih muda. Aku mengelus kepala Marni , biar aku akan mengantikan posisi mak buat mereka. Mak aku janji, mereka harus sekolah yang tinggi. Mak, aku janji padamu, aku janji. Mataku terpejam , membayangkan mak yang selalu menenangkan hatiku saaat aku gundah, menghapus air mataku saat aku menangis . Ingin aku merasakan kembali kasihmu saat-saat ini dimana pundakku terasa berat untuk membawa semua beban di pundakku .
            “Percayalah sama teteh ya, teteh pasti bisa membuat kalian bersekolah sampai selesai,” tukasku perlahan.
            “Tapi aku masih boleh , bantu-bantu mang Dirja untuk membuat nira teh?” tanya Darto. Aku mengangguk dan menatap wajah Darto yang semakin menghitam dan tubuhnya sudah tampak kekar. Kelak dia akan menjadi pemuda yang gagah .
            “Asal jangan ganggu pelajaran. Marni kamu bagian dapur ya, kalian saling membantu, soalnya teteh gak mungkin setiap bulan pulang, biar ngirit uang,” tukasku sambil kupeluk lagi mereka dan aku menguatkan mereka untuk berjuang agar mereka kelak berhasil.

            Persitiwa itu sudah hampir sepuluh tahun yang lalu , rasanya semua tanggung jawabku untuk adik-adikku selesai sudah. Mereka sudah mencapai apa yang mereka impikan. Aku mendampingi saat Darto dan Marni diwisuda. Rasa lelah dan penat hilang saat aku melihat adik-adikku berdiri dengan toganya. Air mata mengalir menutupi hampir semua bola mataku, dan tumpah karena ruang mataku sudah tak mampu menampung lagi air mataku yang semakin kencang mengalir. Di hadapan pusaraku aku berlutut , beban kini yang harus kupikul tiba-tiba hilang begitu saja. Rasa lelah yang mendera yang menemani hari –demi hari dan malam-malam sepi , semuanya hilang terhapuskan dengan cerita bahagia. Aku bahagia bisa menghantarkan adik-adikku bisa bersekolah tinggi.
            “Mak,aku datang untuk memberikan janjiku padamu. Darto dan Marni sudah menjadi sarjana, mak.Kalau saja mak masih ada mungkin mak bisa melihat betapa gagah dan cantiknya mereka memakai toga.” Bunga –bunga kutaburkan di atas pusara mak,  angin seperti ikut menyanyikan rasa gembira di hati. Sudah kupenuhi janjiku pada mak. Ingin aku kembali dalam pelukan mak, untuk sekedar menyandarkan kepalaku sebentar saja, ingin kubaringkan kepalaku pada dadanya untuk sekedar berserita tentang suka dukanya aku bergelut dengan kerasnya dunia. Tanganku bergetar saat aku mulai menyentuh nisan makam mak, dingin . Semua andai sudah aku ucapkan untukmu mak, hanya doaku selalu untukmu. Mak boleh berbangga hati melihat anak-anak mak yang sudah bisa keluar dari kemelut hidup dan mendapatkan hidup yang lebih mapan.

            Masih hangat kuingat setelah kematian mak, aku kembali  bekerja sebagai buruh . Otakku harus berpikir keras agar aku bisa mewujudkan janjiku pada mak, mau pindah kerja tentu tak mungkin. Apalah artinya seorang yang hanya memlikii ijasah SMA, paling ya seperti diriku bekerja sebagai buruh di pabrik tekstil. Aku mulai berjualan sore setelah pulang kerja.Kepandaian aku memasak aku manfaatkan untuk membuat warung tenda sederhana. Ayam goreng bumbu serundeng , resepnya aku dapatkan dari resep yang pernah mak ajarkan padaku.   Setiap hari aku  lakoni dua pekerjaan yang hampir membuatku hanya bisa beristirahat sebentar tapi tekadku sudah bulat adik-adikku harus berhasil. Tak disangka  warung tendaku laris dari hanya lima kilo ayam aku jual, sepuluh kilo terus dan aku mulai meperkerjakan karyawan untuk membantuku. Setelah Darto kuliah di Bandung, dia juga membantuku setelah pulang kuliah. Berkat kegigihankulah aku juga bisa membuat beberapa  cabang warung tenda di kota Bandung. Saat omset penjualan sudah  mulai banyak, aku berhenti bekerja dan mulai konsentrasi dengan warung tenda  ayam gorengku. Rasa yang gurih dan bumbu yang meresap, membuat pelanggan banyak yang berdatangan kembali. Jatuh bangun aku membangun usaha makanan ini, walau sempat aku patah semangat  , saat aku diajak kerjasama untuk membuat restoran. Hampir uang sebesar limapuluh juta raib diambil rekanan. Kini aku harus lebih berhati-hati untuk tidak selalu mempercayai orang lain.

            “Teh, sudah sore, angin sudah mulai membesar, pulang yuk,”tegur Marni yang menemaniku ke kampung. Sekarang aku sudah memiliki rumah di Bandung yang aku tinggalin bersama  Marni yang sudah bekerja di kantor  sedangkan Darto bekerja di Surabaya. Aku menoleh padanya dan mengulas senyumku .
            “Sebentar lagi Mar, aku masih rindu dengan mak. Masih ingin aku berlama-lama di sini. Kasihan mak, mak gak bisa menikmati hidup . Andai saja mak masih hidup paling tidak mak bisa merasakan hidup yang lebih enak dibanding dulu,”:keluhku.
            “Teh, jangan mengeluh begitu, mak sudah bahagia di sana . Aku yakin, mak tak pernah merasa kecewa, malah mak bangga terutama sama teteh, bisa menyekolahkan aku dan kang Darto. “ Aku menoleh pada Marni. Alangkah cantiknya dia setelah menjadi wanita, dengan potongan rambutnya yang dipotong pendek, pasti banyak pria yang ingin mendekatinya.
            “Masih ada janji teteh lagi yang belum terlaksana Mar,”tukasku.
            “Apa itu teh?”
            “Melihat kalian menikah, teteh akan bahagia begitu juga mak, rasanya semua keringat teteh tak akan sia-sia. Teteh yakin mak setuju dengan janji teteh kali ini.” Marni menatapku tajam dan tiba-tiba memelukku erat dan menangis di pelukanku.
            “Seharusnya Marni yang berjanji pada mak, untuk mencarikan jodoh untuk teteh. Selama ini teteh kerja keras untuk kami dan teteh tak pernah merasakan namanya pacaran atau sekedar mengenal pria. Semua waktu teteh hanya untuk kerja. Sekarang waktunya teteh memikirkan hidup teteh . Teteh harus bahagia, teteh sudah banyak berkorban.” Marni mempererat pelukannya padaku.
            “Maafkan Marni teh,”tukasnya. Aku mengelus kepala Marni seperti dahulu. Betapa aku menyayangi adik-adikku melebih aku menyayangi diriku.Kebahagiaan mereka adalah kebahagiaanku juga.  Aku mengangkat tubuh Marni berdiri dan mengajaknya untuk pulang . Kusentuh kembali nisan mak dan aku melihat mak dari kejauhan tersenyum padaku.
            “Terimakasih nak, mak bangga padamu,” suara mak seperti terdengar samar-samar di telingaku. Mak melambaikan tanganya padaku, aku membalasnya.
            “Teteh melambaikan tangan sama siapa?” Marni heran melihatku. Aku tersenyum dan menggandengnya untuk meninggalkan kuburan mak.
            “Tadi mak melambaikan tangan padaku,”: tukasku perlahan.  Marni menoleh ke belakang Aku bahagia sudah  menepati janjiku pada mak. Mak, janji Inah sudah terkabulkan.....


8 Kurma

Jumat, 24 November 2017





Pandangang mata terus melihat pohon-pohon kurma
Yang mendekap siang itu di teriknya langit kota Madinah
Buah-buah yang nampak memberikan lipatan warna
Buah yang bisa memberikan energi baru buat tubuh

Gugusan kenangan di sana saat kurma begitu banyak
Di hadapan kita seperti semangat yang terbarukan
Dan akan hilang saaat hilang dari pandangan mata
Entah kemana larinya

Sejuta rasa dari kecap lidah yang terasa
Di manisnya kurma
Semakin membayang dalam angan-angan
Kapan bisa mencicipi lagi di kebun kurma

Dengan sejuta kenangan di sana
Yang mengharu biru yang tak terlupakan
Selamat jalan kenangan manis di sini
Sampai kita bisa datang dan mencicipi lagi manisnya kurma di sini

Cirebon, 25 November 2017
Kenangan di kebun kurma di Madinah

4 Dunia Kecil Kardi

Jumat, 17 November 2017



Gambar dari sini 
 

Udara pagi di desa Paniis masih menyelimuti. Kabut masih membayangi desa itu. Matahari belum berani muncul tapi Kardi sudah berangkat ke sawahnya. Sebelumnya segelas kopi hangat sudah disediakan istrinya. Sesapan pertama dan selanjutnya memberikan kehangatan pada tubuh Kardi.
            “Kang, hari ini aku mau bantu kang Ardi panen padi, lumayan uangnya buat bayar uang sekolah anak-anak,”tukas Ina istrinya. Kardi hanya mengangguk , diam membiarkan istrinya membantunya bekerja karena kebutuhan anak sekolah makin meningkat. Kardi ingin anak-anaknya lebih pintar dari dirinya. Kardi bangkit dari duduknya dan berpamitan pergi ke sawah dan kebunnya.
            “Angkat heula pak1,”tukas Asep dan Ika mencium tangan bapaknya. Kardi mengelus kedua kepala anaknya.
            “Tah, belajar yang rajin.” Kedua anaknya mengangguk dan berangkat ke sekolah. Mereka harus berjalan sekitar setengah jam untuk sampai ke sekolah mereka. Sementara itu Kardi bersiap untuk pergi ke sawah. Istrinya membawakan rantang untuk makan siangnya.
            “Hati-hati akang.” Kardi berangkat dan menyusuri kampung Paniis. Sesampainya dekat sawahnya , dia melihat lagi beberapa orang yang masuk ke hutan . Sangat mencurigakan karena dia tak mengenal orang-orang itu. Kardi memperkirakan mereka berasal dari luar Paniis. Hutan itu adalah hutan lindung yang menajdi atnggung jawab kecamatan . Masarakat tahu kalau hutan itu dilindungi dan pohon tersebut tidak boleh ditebang karena hutan itu sebagai penyerap air , sebagai pertahanan hutan. Tapi sudah beberapa kali Kardi melihat beberapa orang masuk  ke dalam hutan dan mereka sangat mencurigakan. Kardi berniat siang nanti ingin melihat apa yang dilakukan mereka di dalam hutan.

            Kardi memperhatikan banyak orang yang menebang pohon dengan gergaji mesin. Dalam waktu sekejap, pohon-pohon itu berjatuhan . Masing-masing pohon dipotong menjadi gelondongan yang lebih kecil .Gelondongan kayu ditumpuk di suatu tempat yang luas. Ini perlu dilaporkan pada pak camat, pikir Kardi. Kardi diam-diam beranjak dari persembunyian, tapi Kardi tak melihat ada seseorang yang melihatnya keluar dari persembunyiannya.Kardi kembali ke sawahnya. Sementara itu Bahrun yang melihat Kardi keluar dari persembunyian mencari Dulpadi .
            “Dul, kita perlu hati-hati dengan Kardi, barusan aku lihat dia melihat kegiatan kita di sini,”tukas Bahrun . Dulpadi terdiam. Satu lagi yang harus dia pikirkan,karena menurut bosnya kegiatan ini jangan sampai diketahui oleh warga karena ini ilegal. Dulpadi dan Bahrun memang warga setempat yang direkrut untuk melindungi kegiatan ini, tentunya dengan imbalan yang  besar.
            “Gimana Dul kamu tahu sendiri kang Kardi orang yang jujur dan saklek,”tukas Bahrun.
            “Jangan lupa kamu harus amati kang Kardi mulai dari sekarang, biar kita tahu langkah apa yang bisa kita lakukan.” Bahrun mengangguk setuju.
            “Hai, hati-hati,”teriak Bahrun saat ada kayu yang terjatuh di sisinya. Suara-suara mesin masih terdengar keras. Baharun harus berteriak saat bicara dengan Dulpadi.
            “Mungkin mulai besok kita hentikan dulu sementara waktu sambil kamu amati kang Kardi.” Mereka berdua mulai kembali kerja dan sekali-kali meneriakan perintah pada pekerja.

            Pagi itu sebelum ke sawah  Kardi mampir sebentar ke kecamatan di Pesawahan . Dia ingin bertemu dengan pak camat . Menunggu lama untuk bisa bertemu dengan pak camat bukan hal baru. Alasan sibuk masih di lapangan selalu mampir bagi warga yang perlu urusan dengan pak camat. Hampir siang baru tampak pak camat datang. Begitulah , setiap pimpinan merasa tak perlu datang lebih pagi , padahal banyak yang ingin bertemu dengannya. Gampang tinggal  memberi alasan masih di lapangan atau kesibukan yang bisa menjadi alasan jitu dan klise.
            “Siang pak,”tukas Kardi. Pak camat hanya memandang sekilas. Dia menyuruh sekretarisnya untuk menanyakan maksud kedatangan Kardi. Kardi melaporkan apa yang dia lihat di hutan lindung  kemarin. Saat pak camat tak percaya dengan apa yang Kardi lihat, Kardi meyakinkan kalau dia melihat dengan mata kepalanya sendiri.
            “Kamu berani bertanggung jawab dengan apa yang kamu lihat,”:tukas pak camat.
            “Leres pak2, “tukas Kardi mantap. Pak camat menjanjikan esok dia dan aparatnya akan memeriksa ke hutan. Kardi merasa lega, orang-orang itu harus diberi pelajaran agar hutan di kampungnya tak musnah.Kardi sangat tahu kaalu hutan hilang akan terjadi bencana pada kampungnya. Tapi kenyataan yang Kardi lihat sendiri membuatnya dia dianggap membuat laporan palsu. Kardi tak habis pikir padahal dia benar-benar melihat kegiatan penenbangan pohon dengan mata kepalanya sendiri bukan kata orang lain. Saat itu ketika Kardi bersama aparat kecamatan datang ke dalam hutan tak ada satupun orang di sana bahkan gelondongan kayu yang ada di sanapun sudah tak ada. Kardi merasa heran.
            “Mana  katamu ada penebangan liar. Tak ada kegiatan apapun di hutan,” tukas polisi yang dibawa ke sana juga.
            “Leres pak, aku melihatnya sendiri . Di sini , banyak alat-alat berat.” Kardi memandangi sekali lagi, tak ada satupun alat berat yang tampak di hadapanya, tapi sisa-sisa kayu kecil masih tampak tertinggal dan tunggul bawah kayu yang tersisa masih ada.
            “Pak, ini kan bekas pemotongan kayu ,”tukas Kardi memperlihakan tunggul bawah kayu.Setiap mata melihat apa yang ditunjuk oleh Kardi tapi mereka seperti tidak peduli dengan bukti kecil yang ditunjuk Kardi
            “Bukti seperti itu tak bisa menangkap pelaku,”tukas pak Polisi. Pak polisi akhirnya menghentikan pemeriksaan. Kardi sangat kecewa, apalagi dia dianggap memberi laporan palsu segala.

            “Kang, tadi banyak orang bilang akang memberi laporan palsu ke pak camat. Benar kang?” Kardi menceritakan pada istrinya kalau yang dia laporkan benar adanya .
            “Tapi kunaon3 , orang-orang teh bisa beranggapan seperti itu kang?” Istrinya menuangkan kembali air putih pada gelas suaminya. Kardi tampak mengehela nafas berat, dia merasa ada keganjilan dalam kasus ini, seperti ada yang ditutupinya.
            “Apa mungkin aparat juga berkomplot kang,”tukas istrinya lagi. Kardi terhenyak saat istrinya mengatakan itu, tak ada pikirannya sampai seperti yng dipikirkan istrinya. Mungkin ada benarnya  apa yang dikatakan oleh istrinya. Terbukti saat ada pemriksaan mereka sudah siap sedia dengan cara mengosongkan area sehingga saat pemeriksaan tak ada bukti sama sekali.
            “Kang?” Pertanyaan istrinya tak terlewatkan saja, Kardi segera keluar dar rumahnya Istrinya hanya duduk  terdiam , dia tahu ada yang tak beres dari cerita suaminya. Kardi menuju rumah pak Karta sesepuh di desa Paniis. Kardi menceritakan apa yang dilihatnya dan dia tak memberikan laporan palsu seperti apa yang dikatakan banyak orang.
            “Kardi, aku juga diberitahu aparat dari kecamatan.”
            “Bapak percayanya dengan siapa?” Kardi menatap penuh harap pada pak Karta, karena kalau sesepuh di desa ini percaya dengannya, dia merasa aman karena masih ada yang percaya dengan dirinya. Tapi sebaliknya kalau pak Karta tak percaya dengan dirinya, hancurlah dirinya. Lama tak ada suara diantara mereka berdua,masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
            “Abdi teh teu terang atuh. Mau nyarios apa atuh4 ,” tukas pak Karta skeptis. Kardi memandang kecewa pada pak Karta yang dia harapkan percaya pada dirinya. Kardi pulang dengan langkah gontai.Banyak hal yang berkecamuk dalam pikirannya dan dia tahu akan ada hal yang besar terjadi pada dirinya tapi entah apa , dia tak tahu.

            Sore itu sepulang dari sawah, rumahnya begitu ramai dikerubungi orang . Ada perasaan tak enak di hatinya. Kardi menyeruak dari kerumunan orang-orang. Di dalam rumahnya sudah ada dua  polisi, aparat kecamatan dan pakKarta.
            “Aya naon ieu teh5,” tanya Kardi. Kardi melihat istrinya merangkul kedua anaknya sambil menangis.
            “Bapak ditangkap karena memberikan laporan palsu,”tukas salah satu polisi. Kardi terpana sejenak dan ini yang benar-benar ia takutkan terjadi juga. Kardi  menatap istrinya dengan perasaan yang ia sendiri tak bisa mengungakapkan dengan jelas. Seharusnya dia  tak perlu mengungkapkan kebenaran kalau ini yang harus terjadi pada dirinya. Lihat, bagaimana sekarang anak dan istrinya. Bagaimana mereka kalau dirinya tak ada????? Bagaimana dengan sawah dan kebunnya. Ina tak pantas mengerjakan sendiri, dia harus ada bersamanya.Kardi menahan air matanya agar tak keluar. Kardi pasrah digelandang polisi. Terdengar suara jeritan istri dan anak-anaknya.
            “Titip barudak jeung teh Ina6,” tukas Kardi saat melewati adik bungsunya. Tak dipungkiri lagi Kardi merasa ada kejanggalan . Mengapa dia disebut memberikan laporan palsu?????  Dan Kardi merasa heran karena dia bukan digelandang ke kantor polisi tapi ke sebuah gudang yang gelap. Kardi dikunci di gudang gelap itu. Kardi terbangun karena perutnya terasa lapar. Dia tak tahu apa hari sudah siang atau masih malam karena  gudang itu tak ada jendela dan penerangan. Hanya ada sedikit sinar dari bawah pintu, itupun hanya sedikit. Kardi berusaha melepaskan ikatan di kaki dan tangannya, tapi ikatannya begitu kuat. Seberapa kuat Kardi berusaha melepaskannya, ikatan itu tetap melekat di kaki dan tangannya. Kardi berusaha bergerak menuju ke dekat pintu dengan menggeserkan pantatnya ke lantai. Setelah dekat pintu , Kardi mulai menggedor-gedor pintu dengan kakinya yang terikat. Dia berharap ada orang yang mendengarkan. Sepi.
            “Bagus, mau kabur ,”teriak Bahrun. Kardi disepak dengan kakinya dan didorong ke belakang. Rasa sakit terasa menjalar di sekujur tubuh Kardi. Belum puas Dulpadi menginjak-injak tubuh Kardi. Kardi hanya melenguh dan menahan rasa sakit . Rintihannya tak membuat kedua orang itu menghentikan perlakuannya pada Kardi.
            “Stop,”teriak seseorang yang muncul dihadapan Kardi. Pak Camat dan Pak Karta. Kardi meringis kesakitan dan menatap tak percaya yang berdiri di hadapannya. Dua orang yang seharusnya melindungi dirinya sebagai warga yang teraniyaya tapi mereka justru yang menganiyaya warganya.
            “Kardi, Kardi, makanya jangan sok mau tahu urusan orang. Kamu akan tahu akibatnya. Kamu harus lenyap dari muka bumi ini, kecuali....,” Karta terdiam lama menggantung perkataannya.
            “Kecuali apa,”tukas Kardi lemah. Tubuhnya dipegang oleh Bahrun. Pak camat meninju perut Kardi berkali-kali. Rintihan Kardi tak membuatnya melepaskan tinjunya.
            “Sakit . Itulah akibatnya kalau mau tahu urusan orang. Nah , Kardi kamu bisa pulang kembali ke rumah  dengan syarat kamu tak ribut soal penebangan kayu di hutan . Beres kan???? Kalau tidak , jiwamu dan keluargamu tak selamat.” Kardi terdiam dalam kesakitannya. Kalau saja dia harus mati, dia ihklas tapi kalau ini menyangkut keluarganya, Kardi tak punya pilihan lain . Kardi mengangguk lemah.
            “Nah, begitu. Apa susahnya. Ingat sekali saja kau berkicau, keluargamu tak akan selamat,”ancam pak camat. Kardi memandang benci pada kedua orang yang seharusnya melindungi alam di kampungnya. Mereka sudah tergiur uang yang banyak. Betapa uang bisa merubah seseorang menjadi pribadi yang kejam. Kardi dilepaskan dengan tubuh lebam di sekujur tubuhnya.

            Kepulangan Kardi membuat warga penasaran, tapi Kardi tak bicara sepatah katapun. Sampai lukanya sudah sembuhpun Kardi tetap bungkam bahkan pada istrinya sendiri. Diam itulah dunia Kardi sekarang. Bekerja dalam diam, hanya diam temannya sekarang. Diam bagi Kardi sebuah bentuk protes dirinya pada keadaan yang tak berpihak pada dirinya sendiri. Banyak warga yang mengatakan kalau Kardi sudah gila. Banyak spekulasi warga pada kediaman Kardi. Ada yang bilang kalau diamnya Kardi karena luka yang dideritanya, ada lagi yang bilang karena trauma ditangkap polisi. Banyak orang yang berspekulasi tentang Kardi tapi Kardi tetap dalam diamnya yang panjang.
            “Kang, ngomong atuh, biar Ina teh tahu apa yang ada dalam pikiran akang,”tukas istrinya . Ina sedih melihat keadaan suaminya setelah ditangkap polisi. Dia percaya suaminya tidak bohong, tapi ada sesuatu yang disembunyikan suaminya padanya. Kardi hanya menatap tajam pada istrinya seperti berkata untuk tak bertanya lagi padanya.
            “Sudah kalau kita mau selamat, kita harus diam Ina,”tukas suaminya. Ina tahu ada yang tak benar tapi dia harus patuh pada suaminya untuk diam. Diam!!!! Itulah cara Kardi protes. Walau dia harus dianggap gila oleh warga.  Kardi tetap dalam diamnya. Diam itu emas. Kardi tetap diam. Diam dalam sunyi.......

1 Angkat heula pak = berangkat dulu pak
2 Leres pak = betul pak
3 kunaon = mengapa
4 Abdi teh teu terang atuh. Mau nyarios apa atuh = Saya gak tahu. mau bilang apa
5 Aya naon ieu teh = ada apa nih
6 Titip barudak jeung teh Ina =titip anak-anak dan kakak Ina