Gambar dari sini
Ramadhan pertama sesaat setelah aku menikah memberikan
banyak kesan yang begitu mengharu biru. Mengapa? Karena di bulan ramadhan ini
aku melahirkan anak pertamaku. Begitu rasa gembira di hatiku saat aku
mengetahui kalau aku sedang hamil. Walaupun aku hamil aku tetap berusaha untuk
puasa, apalagi saat itu aku sedang tak bekerja. Aktivitas yang tak terlau berat
membuatku memutuskan untuk ikut berpuasa. Dan saat memasuki bulan ramadhan aku
sedang hamil tua. Ada rasa sedih juga karena aku tak bisa pulang kampung
berlebaran dengan orang tua, tapi kegembiraan akan lahir anak pertamaku membuatku
menghilangkan rasa rindu yang besar pada orang tua.
“Mbak Tara,
lihat tanda-tanda akan melahirkan ya, kalau sudah terlihat tanda segera datang
ke rumah sakit,”tukas Risa, bidan yang menanganiku dan dia adalah teman
sekolahku dulu. Aku mengangguk.
“Anak-anaknya
baik-baik saja kok, semua sehat,”tukasnya sambil memberikan stestokopnya padaku
untuk ikut mendengarkan denyut jantungnya. Ada perasaan yang begitu meluap saat
aku mendengar suara denyut jantungnya. Seperti nyanyian tersendiri di telingaku,
seperti anakku bernyanyi untukku. Ah, rasanya sudah tak sabar menunggu dirimu
keluar dari perutku. Seperti apakah anakku kelak? Seperti papanya yang tampan
atau seperti ibunya yang ceriwis.
“Oh, ya,
semoga semua baik-baik saja ya mbak.” Aku mengangguk dan hari itu pemeriksaan
terakhir di bidan. Mungkin dalam beberapa hari ini aku melahirkan.
“Jangan
lupa sering jalan-jalan,”tukas Risa.
“Makasih
ya,”aku berpamitan dan pulang dengan perasaan tak sabar.
Melahirkan
merupakan pengalaman baru bagiku. Ya, ini
yang pertama dan aku begitu merindukan ibuku. Ingin beliau ada di sisiku, tapi
aku tak mungkin merepotkannya. Aku tahu ibuku repot mengurus adik-adikku, aku
tak boleh egois. Entah mengapa sudah beberapa
hari ini aku mulai merasakan mulas tapi sebentar kemudian hilang. Ada ketakutan
dan ragu-ragu karen aku tak begitu jelas , seperti apa kalau emang sudah
waktunya. Hanya tahu dari membaca tapi tentu itu semua tak mungkin sama.. Benar
saja sore itu saat aku sedang menyiapkan menu
untuk buka puasa, aku merasakan perutku bertambah mulas. Apakah ini yang
namanya mau melahirkan? Aku tak tahu.
“Aku
rasanya sudah mulas,,”tukasku menatap suamiku. Suamiku melihat jam , baru jam
lima sore.
“Sudah kamu
gak usah masak saja. Berbaringlah dulu,
Aku mencari kendaraan dulu. Untuk ke rumah sakit,”tukasnya sambil berlalu.
Perutku mulai terasa mulas tapi sebentar kemudian hilang kembali Aku begitu
ketakutan. Ingin sekali aku berteriak untuk memanggil ibuku tapi bibirku terasa
kelu sekali. Hanya suara lenguhan yang seram terdengar di telingaku. Terasa
lama suamiku mencari kendaraan. Ah, memang aku tinggal di desa yang kalau malam
hari sudah tak ada kendaraan umum lagi. Hampir sebagian besar penduduknya hidup
dengan bertani.. Aku meringis kesakitan saat pintu rumah terbuka dan suamiku
bilang kalau dia sudah dapat kendaraan untuk ke rumah sakit.
“Ke rumah
sakit saja ya. Jadi kalau ada apa-apa mudah minta tolongnya,”tukas suamiku. Aku
setuju saja..
Aku
dipapah menuju kendaraan yang dipinjam
suamiku. Aku terbelalak setelah melihat sebuah truk susu yang parkir depan
gang.
“Jadi naik
truk susu ini?” Suamiku tersenyum lebar.
“Habis yang
ada di kantor hanya truk ini, tak ada mobil
yang lain, semua dipakai.” Aku pasrah .Karena truk tinggi mau gak mau untuk
mendudukan aku di jok truk, aku digendong hampir tiga orang agar bisa duduk
dengan nyaman.
“Hati-hati
nyupirnya pak dokter. Sing selamat ibu dan anaknya,”tukas uwa Usman. Aku
tersipu malu. Ada rasa malu, lucu , takut semua bercampur jadi satu.
“Ngomong-ngomong
bisa nyupirin truk susu?”tanyaku. Suamiku hanya mengangkat bahunya sambil mulai menstarter . Terdengar
suara truk menyala dan perlahan mulai berjalan. Aku begitu takut kalau suamiku
gak bisa mengendalikan truk, apalagi
jalan begitu menurun untuk menuju rumah sakit.. Ah, ternyata aku menyangsikan
kemampuan suamiku. Truknya berjalan mulus. Aku memandangnya dengan perasaan
kagum. Ah, begitu tampannya dia. Tampak gagah mengendarai truk susu. Sungguh beruntung
aku bisa berkendaraan truk dengan supir yang tampan sekali. Aku menyenderkan kepalaku
di bahunya. Ah, rasa takut sedikt demi
sedikit mulai hilang....
Esok
harinya dengan perjuangan berat,aku melahirkan anak laki-laki pertamaku. Semua
rasa sakit hilang dengan anak yang sekarang ada dalam pelukannku. Kupeluk erat
dengan rasa bahagia. Dia datang dalam bahagiaku di bulan ramadhan. Ramadhan yang
benar-benar penuh rahmat. Kebahagiaan yang begitu membuncah dalam dada yang tak
pernah terbayarkan dengan apapun. Perjuangan ke rumah sakit dengan truk susu
memberikan pengalaman tersendiri yang tak pernah aku lupakan seumur hidupku.
Dan supir tampan yang akan selalu mendampingiku untuk berbagi suka dan duka
dalam mengarungi kehidupan. Selamat untuk supir truk tampan yang membuatku selalu bahagia.