8 Sore Itu

Senin, 31 Desember 2018

Gambar dari sini

Sore itu aku menemanimu dengan secangkir teh
Kau masih bersimpuh dengan segala kegiatanmu
Aku memandangmu
Ah, dunia kadang suka jahat
Suka mempermainkan hati
Kadang hati suka
Kadang hati cemburu
Semua jadi satu

Tapi kamu sore ini
Aku harus tahu isi hatimu
Isi hatimu terdalam entah apa aku bisa menyelaminya
Katanya hati itu sedalam lautan
Sulit untuk menemui apa yang ada di dalam hatimu
Ku tahu dalam tindakanmu dalam tatapanmu
Dalam senyummu
Di balik semuanya itu untukku

Sore ini’
Untuk kesekian kalinya aku memandangmu
Hanya menatapmu
Kerut wajahmu dan lelahmu akan selalu kupandang
Sampai kau terlelap di sisiku
Sore ini
Berdua menghabiskan waktu
Menikmati senja yang indah

Cirebon, 1 Januari 2019

0 Cinta Buat Bu Lana

Senin, 17 Desember 2018


Gambar dari sini 
 

Perutku sudah kosong dan benar saja terdengar sura keroncongan dari perutku, sepertinya cacing-cacing di perutku sedang menari-nari. Mungkin saja cacing-cacing itu lagi berjoged ala Saisar. Kenapa ya gak ada ojeg yang masuk ke perumahanku, aku harus menyusuri jalan aspal yang panasnya gak ketulungan. Bisa dilihat wajahku sudah hampir menghitam terbakar matahari setiap harinya. Berapa kali aku minta motor ama nyokap, sampai detik ini gak pernah diberi Payah sekali punya nyokap yang kolot!.
            “Apa-apaan ini, jadi mama dipanggil lagi ke sekolah Nara!”teriaknya , surat panggilan masih tergenggam di tangannya. Aku hanya menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
            “Mama gak habis pikir sama kamu Nara, selalu buat ulah, mama pusing mikirin kamu,” mama menghela nafas kelelahan mengomeliku.
            “Sudah mam , marahnya, aku sudah lapar nih,” kataku cuek. Mama melotot, jangan-jangan sebentar lagi bola matanya keluar, astaga jangan sampai , bisa-bisa aku ketakutan melihat mamaku sendiri. Aku berlari untuk menghindari kena omelannya lagi dan mendarat dengan mulus di depan meja makan. Tanpa menunggu lama , aku sudah mulai makan dan setengahnya sudah kuhabisi dan bersemayan di perutku
            “Hem, kenyang,” aku mulai mengelap bibirku yang penuh dengan nasi .

            Pagi itu  di kelas sudah ada gosip yang paling hangat, menurut kabar akan ada guru kimia menggantikan pak Selamet. Anak-anak jelas bersorak sorai, karena guru kiler itu akan hengkang dari sekolahku.
            “ Gue suka nih denger kabar ginian, paling tidak gue gak bakal kena semprot terus, bener gak?”
            “Alah, elu sih semua guru juga suka ngomelin elu , dasar elunya aja gak becus,” Dinar mulai mencelaku. Aku hanya nyengir kuda saja, siapa yang gak tahu reputasi aku, siswa yang suka bikin onar dan sudah banyak kali aku diskors, tapi itu gak pernah buat aku kapok!!!!!
            “Pagi anak-anak,” pak Broto masuk dalam kelas diikuti dengan wanita muda. Pakaiannya modis dan aduhai tampak cantik dengan balutan baju yang elegan.Senyumnya menebar ke segala penjuru kelas. Kutatap para cowok yang terpana , mulutnya mangap kayak ikan yang sedang kehabisan oksigen.
            “Hoy, kayak kagak pernah lihat cewek cantik saja.” Aku mulai menghardik Danang. Aku melotot pada semua cowok di kelas yang mulai senyum-senyum simpul!!!!
            “Heloo!!”teriakku
            “Alah, pasti elu cemburu kan , bakalan kalah saing tuh ama bu guru.”  Danang menjulurkan lidahnya padaku
            “Enak aja , jidat elu itu,” aku menepak jidat Danang .
            “Sudah kalian jangan ribut,” pak Broto mulai memperkenalkan guru kimia baru dan sekaligus akan menjadi wali kelas kelasku. Semua anak bertepuk tangan , kegirangan karena akan mendapat guru cantik. Bu Lana , namanya. Aku menatap matanya ,ada sesuatu yang entah mengapa aku segan untuk mengusilinya, biasanya aku paling doyan , memplonco guru  baru. Tapi saat ini aku hanya duduk diam dan hanya memperhatikan bu Lana memanggil nama anak-anak satu persatu.
            “Tumben si Nara diam, ada angin apakah gerangan?” Syamsu menghampiriku dan memegang jidatku
            “Gak sakit tuh, kenapa ya?” aku mendorongnya kesal. Bu Lana menatapku dan aku terdiam.
            “Ok, anak-anak,ibu harap kerjasama kalian dengan ibu, kalian sahabat-sahabatku yang pantas aku hargai selama kalian memang pantas dihargai ,” Bu Lana mulai membuat peraturan untuk kelas kimianya.  Waktu bu Lana asik mengajar aku mulai melipat kertas menjadi burung dan mulai melempar ke depan dan tepat mendarat di kepala bu Lana. Semua anak terdiam. Bu Lana menatap sekilas padaku dan segera keluar dari kelas dan tak berapa  lama kemudian , bu Lana kembali ke kelas dengan membawa stoples bening kosong.
            “Nah, Nara tolong buatkan ibu origami burung seperti yang kau lempar dengan kertas lipat dan kau isi stoples ini penuh dengan origami burung,” Bu Lana menyodorkan stoplesnya padaku. Bu Lana dengan cuek kembali mengajar.

            Siang itu, pulang sekolah aku mampir ke ruang guru untuk memberikan stoples yang sudah kuisi dengan origami burung penuh tanpa sela.  Guru-guru memandangku dengan tatapan marah karena kali ini aku bermasalah lagi dengan guru baru.
            “Hai, Nara, kemari sudah jadi origaminya?”tanya bu Lana ramah. Aku sedikit bengong tapi kulanjutkan langkahku menuju mejanya bu Lana.
            “Bagus sekali Nar, kamu suka membuat origami ya,” Aku menganggukan kepala dan menatap ada keramahan di mata bu Lana. Siang itu aku diajak ke rumah bu Lana, ternyata bu Lana juga penggemar origami. Di kamarnya banyak bergelantungan origami burung, bintang dan banyak lagi .Kamarnya tampak semarak dengan lampu-lampu kecil yang indah. Aku suka sekali dengan kamarnya. Coba kalau aku punya kamar serapih ini. Kamarku berantakan dan tak pernah kubersihkan sampai mama berulang kali harus marah karena kemalasanku membereskan kamarku.
            “Bu, kamarnya rapih dan bagus sekali origaminya,” seruku sambil menatap origami yang tergantung di kamarnya.
            “Ibu yakin kamarmu pasti jorok kan?” aku tersenyum tak membantah sama sekalai, memang kenyataannya seperti itu. Bu Lana banyak mendengarkan aku cerita tentang mama dan papaku yang bercerai enam tahun yang lalu.  Aku menceritakan kalau mama dan papa sepertinya sudah gak peduli lagi denganku, mereka sibuk dengan urusannya masing-masing dan tak pernah menanyakan bagaimana perasaanku. Mereka hanya memberikan uang dan uang, itu semua tak berarti bagiku, aku ingin didengarkan dan diperhatikan oleh mereka.
            “Ibu mengerti perasaanmu, tapi kalau cara kamu agar orang tuamu memperhatikanmu dengan cara seperti yang kamu lakukan , hasilnya nihil,” Bu Lana menyuruhku berbuat yang lebih baik dan punya prestasi agar mama dan papa bisa sadar bahwa kamu punya sesuatu.
            “Masalahnya bu, dari dulu aku bisanya bikin onar, aku gak tahu bakatku apa?”  Bu Lana tertawa renyah dan di telingaku seperti lagu yang membuatku terlena sesaat, alangkah enaknya kalau mama mau juga mendengarkan curhatanku.
            “Nanti juga kamu akan tahu apa yang kamu suka,” sela bu Lana .Tak terasa sore menjelang,baru pertama kali ini aku merasakan punya teman bicara yang mengasikan, tidak menggurui dan tidak sok tahu tapi bisa membuatku nyaman berada di sisinya. Aku pulang dengan perasaan sukacita.

            Sudah hampir enam bulan bu Lana mengajar di sekolahku, tenyata pengagumnya semakin banyak. Banyak siswa yang menyukai cara mengajarnya dan sikap tegas namun lembut yang membuat siswa tidak sakit hati kalau ditegur olehnya.
“Dah elu Danang gak usah kebelet macari bu Lana, dia sih dah punya pacar,” aku mendorong jidatnya ke belakang.
“Sebelum janur kuning terpasang di rumahnya, gua gak bakal nyerah,” Danang mulai ngegombal.
“Dasar jidat elu!” beberapa siswa cewek nimpukin bersama-sama. Danang menjerit dan pintu terbuka , bu Lana masuk sambil menatap heran .
“ Wah, Danang kena timpuk ya, kasihan deh lu,” semua kelas tertawa dan menatap Danang yang masih memegangi kepalanya, mudah-mudahan saja kepalanya tidak benjol.   Bu Lana memberitahukan kalau ada lomba menulis cerita pendek yang diadakan  kampus Nusantara. Siapa saja boleh ikut dan tanpa uang pendaftaran.  Waktu aku keluar kelas saat bel berbunyi, aku melihat bu Lana melambaikan tangannya padaku.
“Nar, kamu ikut saja lomba cerpennya,” katanya. Aku  ragu, karena selama ini aku hanya menulis di buku diaryku saja.
“Ibu tahu kamu bisa kok, bu Nisa pernah bilang sama ibu kalau tulisanmu cukup baik.” Bu Lana memberiku semangat dan menepuk pundakku.
“Kamu pasti bisa Nar.”  Bu Lana mengedipkan matanya padaku , aku tertawa lepas.Siang itu aku pulang dengan perasaannya yang aku sendiri tak pernah merasakannya . Perasaannya ada yang memperhatikan dan menyemangatiku, itu semua membuatku banyak berubah.

Malam itu aku masih disibukan dengan cerpenku. Aku pandangi origami burung yang kugantung di atas meja belajarku. Kamarku sekarang rapih dan dipenuhi dengan origami buatanku, bintang, burung Tanganku masih menari-nari di keyboard laptopku dan tak terasa akau sudah menuliskan apa yang kurasakan dalam rangkain kata-kata indah. Ah, tinggal dipoles saja, besok akan kubaca ulang dan biar bu Lana yang memeriksanya. Aku tersenyum saat aku mengingat bu Lana, dia telah banyak merubah diriku menjadi pribadi yang lebih baik.
“Nar, sudah tidur?” mama menghampiriku dan memegang pundakku. Aku menatapnya cuek.
“Belum ma, sebentar lagi,” aku mulai membereskan meja belajarku. Mama menatap kamarku yang tampak rapih .
“Mama tahu semua ini karena bu Lana kan?” tanyanya yang mengagetkanku. Darimana mama tahu, aku menatap mama dan mulai berbaring di tempat tidurku, mama duduk di sebelahku.
“Bu Lana sudah banyak bercerita pada mama, maafkan mama ya, mama gak tahu kalau kamu kesepian,” sela mama , wajahnya tampak murung. Mama menceritakan padaku kalau mama masih sakit hati dengan kepergian papa karena wanita lain, jadi mama berusaha agar mama selalu tampak sukses  di depan papa .
“Tapi ternyata ini membuatmu kesepian Nar, maafkan mama ya,” mama memelukku erat. Kembali aku merasakan kehangatan pelukan seorang ibu yang lama sempat aku kehilangan pelukannya.
“Mulai sekarang, kita harus jadi sahabat yang baik, mama juga harus mengikhlaskan papa pergi,” aku kembali memeluknya.
“Maafkan Nara juga ma, sudah banyak merepotkan mama, Nara janji deh akan jadi anak yang baik.” Aku memandang origami burung yang masih bergoyang-goyang tertiup angin dari kipas angin. Origami burung itu selalu mengingatkanku dengan bu Lana. Sedang apa ya bu Lana malam ini?????

Tak  kusangka petemuanku dengan bu Lana harus berakhir, karena bu Lana harus mengikuti suaminya yang belajar lagi ke Australia.  Aku paling sedih mendengar kabar itu, tak mau aku melepaskan bu Lana, dia yang telah banyak mengubah hidupku. Masa setahun aku diajar bu Lana , aku seperti mendapatkan duniaku menjadi cerah dan banyak yang bilang aku menjadi anak yang lebih ceria dan tak jahil lagi. Guru-guru juga tenang karena saat ini aku mulai malas untuk menjahili mereka, karena aku sudah jadi  siswa yang baik.
“Alah, lihat Nara mewek tuh,” Danang mulai mengejekku dan menyodorkan saputangan kumalnya. Aku mengambilnya dan membuangnya ke tempat sampah.
“Enak saja, main buang saja,” Danang mengambil kembali saputangan kumalnya dan mulai menciumnya dan tak lama tiba-tiba Danang jatuh ke lantai.
“Diamkan saja paling-paling Danang pura-pura,” sela Syamsu dan tak lama kemudian Danang berdiri kembali . Aku memandangnya sebal, paling gak mood sama Danang ini, maunya sih melucu tapi garing!!!!
“Harusnya kelas kita tuh ngasih sesuatu buat bu Lana,” sela Dinar. Semua anak mulai berembuk , mau memberi hadiah apa untuk kenangan-kenangan buat bu Lana.  Anak-anak tiba-tiba terdiam saat bu Lana masuk kelas.  Bu Lana menjelaskan kabar tentang kepergiannya ke luar negeri dan bu Lana harus melepaskan pekerjaannya di sekolah ini.
“ Ibu harap, kalian tetap menjadi anak yang baik, siapapun guru kalian,” bu Lana menatap satu persatu wajah siswa-siswanya Mungkin minggu depan ibu sudah tak ada lagi di sini.
“Oh ya, ibu dapat surat dari panitia lomba cerpen dan pemenangnya dari sekolah kita,” bu Lana membuka amplopnya. Semua diam menunggu bu Lana memberitahu siapa pemenangnya.. Banyak sekali pertanyaan di beank anak-anak. Mereka tampak tidak sabar , menunggu bu Lana berbicara lagi.
“Nara Diah Pitaloka,” bu Lana menyebutkan namaku. Semua memandangku tak percaya.
“Elu bisa nulis juga, gue gak nyangka,” Syamsu menepuk pundakku.
“Gue sih nunggu ditraktir Nara saja, paling gak bakso pak Amat depan sekolah,” sela Danang. Aku sendiri masih belum percaya dengan apa yang kudengar,masih kupegang surat pengumuman digenggaman tanganku. Bu Lana menepuk bahuku dan tersenyum.
“Selamat Nara, coba kembangkan bakatmu siapa tahu kamu jadi penulis terkenal.” 
“Nara hebat , elu pemenangnya !”teriak Dinar dan diikuti Danang dan Syamsu berteriak-teriak seperti orang kesurupan saja. .
“Diam tahu, malu-maluin saja, diam!”teriakku, tapi mereka tak mau diam tetap saja bilang kalau aku pemenang lomba cerpen, sampai semua kelas mereka datangi.

Saatnya tiba , perpisahan dengan bu Lana. Aku sebetulnya yang paling sedih dibanding teman yang lain. Dari bu Lanalah aku menemukan jati diriku kembali, kalau tak ada bu Lana mungkin aku masih seperti dulu, siswa yang jahil, norak , badung dan paling suka bikin onar di sekolah. Tapi semua itu sudah berlalu. Aku mencintai bu Lana seperti aku mencintai mama, bu Lana bagiku seperti mama keduaku. Kepergiannya membuat goresan luka di hatiku yang mungkin akan sulit doibati. Butuh waktu lama untuk menghapus banyak kenangan bersama bu Lana. Semalaman aku membuat origami burung dengan banyak warna dan kumasukkan dalam toples besar.  Toples ini akan aku berikan buat bu Lana, dari oroigami burung inilah awal aku bisa merubah diriku.
“Bu, makasih ,” dengan suara tersendat aku memberikan toplesnya dan air mataku mulai mengalir deras, tak dapat kubendung lagi, semua runtuh saat perpisahan sudah di ambang pintu. Aku harus kehilangan cintaku untuk kesekian kalinya, aku ingin cinta bu Lana tetap di hatiku. Ingin kuberteriak , jangan pergi bu, tinggalah bersamaku. Tapi itu tak mungkin. Aku memeluknya dan mulai menangis .
“Hapus air matamu, ibu juga sayang denganmu, ibu akan tetap mendengarkan curhatmu walau kita berjauhan,” bu Lana mengedipkan matanya padaku. Aku masih sesunggukan dan air mata ini sulit kubendung lagi terus mengalir.
“Selamat jalan bu Lana.” Aku menatap punggung bu Lana yang semakin menjauh dan hilang dari pandanganku. Danang merangkulku.
“Jangan nangis ya, biar papa kasih susu ya,” Danang menyodorkan aku susu botol.
“Danang, elu gila,” teriakku. Danang berlari takut kena timpuk aku . Aku berdiri di depan kelas  , ada yang hilang di hati ini tapi aku tahu cinta buat bu Lana selalu ada di hatiku sampai kapanpun.
“Nara!” masih terdengar teriakan Danang. Aku segera menghampiri Danang , kalau perlu aku timpuk kepalanya. Belum sempat aku timpuk kepalanya, Danang sudah berteriak lagi.
“Nara, aku cinta elu, jangan tolak gue ya!!!!. Aku hanya bisa bengong beberapa saat dan meninggalkan Danang begitu saja. Rasa cintaku belum bisa kuberikan untuk seorang cowok, tapi cintaku tertinggal di hati bu Lana. Selamat jalan bu Lana, aku cinta ibu!

2 Dari Pondok Bambu

Senin, 10 Desember 2018


Dari sana aku bisa melihat hijaunya padi
Dari sana juga aku bisa memandang luar biasanya alam
Termenung sesaat aku alihkan
Saat angin semilir menerpa pipiku
Akankah semua akan tetap hijau seperti ini
Ataukah kelak hijau ini akan menghilang dengan banyaknya bangunan?

Dari sana di pondok bambu
Masih terdiam dalam sepi,dalam lamunan panjang
Akankah padi-padi tetap menari-nari dengan ulirnya
Atau hanya tangisan tanah yang tak subur lagi
Penuh dengan limbah
Akankan semua ini berubah?

Andai saja semua orang mau peduli
Padi-padi itu akan tetap menari-nari di sawah
Hijau dedaunan akan terterpa angin tertawa
Di san aku duduk menepi
Sambil memandang hijauan di sana
Aku harap hijaumu selalu abadi memberi keasrian alam 

Cirebon, 11 Desember 2018
Di Floating Market


.