Gambar drai sini
Pagi
itu aku masih sibuk ngubek-ngubek pasar untuk mencari sayuran untuk masak dua
hari ke depan. Sebetulnya aku masih
harus mencari daun kemangi tapi dari kios-kios yang sudah kudatangi daun
kemanginya sudah habis. Kakiku sudah pegal dan aku beristirahat di sebuah kios
yang menjual barang-barang dari tanah liat. Aku terpaku dengan celengan ayam.
Model celengan dari tanah liat ini sudah tidak jaman saat ini , sudah
tergantikan dengan model dari kaleng dan keramik. Aku memegang celengan ayam
itu
“Beli nok,” sapa penjualnya yang
sudah tua, kutatap nenek tua itu. Aku menganggukan kepala, tanpa menawar aku
setuju saja harga yang disebutkannya. Aku masih meluruskan kakiku sambil
memandang celengan ayam yang kupegang, aku kembali terkenang dengan masa
kecilku yang ada hubungannya dengan celengan ayam .
Waktu ibu pulang dari pasar, aku dan
Ardy adikku dipanggil . wah , aku sudah senang biasanya ibu kalau pulang dari
pasar pasti membawa oleh-oleh.
“Ini ibu bawakan celengan, untuk
Ardy yang kucing dan Sisy yang ayam.” Ibu menyodorkan celengan itu padaku dan
Ardy.
“Mulai saat ini kalian harus rajin
menyisihkan uang jajan kalian, kalau sudah terkumpul banyak kalian bisa membeli
apa yang kalian inginkan,” saran ibu, “ dan lagi menabung itu baik, agar kalian
tidak boros dan bisa menghargai uang.”
Aku memegang celengan ayam. Aku sudah janji pada diriku akan menyisihkan
uang jajanku karena aku ingin sekali punya sepatu adidas seperti teman-temanku
pakai. Waktu aku minta pada ayah, ayah tak mengabulkan karena memang harga
sepatu merk itu mahal dan ayah tak sanggup untuk membelikanku.
Setiap hari aku masukkan uang logam
di celengan ayam dan aku taruh di atas lemari bajuku. Setiap aku masuk kamar,
celengan itu selalu terlihat dan menjadi penyemangatku untuk selalu rajin memasukan uang ke celengan itu. Hari
demi hari aku selalu berdebar-debar menunggu celengan ayamku bisa penuh, setiap
kali aku memasukkan uang aku selalu mengoyang-goyangkan celengan keras-keras
tapi bunyinya masih keras artinya celenganku belum penuh.
“Ibu, lama sekali celengannya gak
penuh-penuh,” kataku sebal.
“Nah, itulah untuk mendapatkan
sesuatu kamu harus sabar dan berani berkorban.” Ibuku tersenyum padaku. “Banyak
pelajaran yang kamu ambil dari kesabaran menanti penuhnya celengan.” Aku masih
kecil , mengapa harus selalu disuruh sabar, bukanya sabar itu milik orang
dewasa??? Batinku.
Sore itu waktu aku baru bangun tidur
siang, aku menyibakan horden kamarku dan kulihat tukang bakso langgananku. Aku
menelan ludah karean tadi sisa uang jajan sudah aku masukkan celengan.
“Mbak Sisy punya uang gak?” tanya
Ardy
“Gak, memangnya buat apa,’ aku
menatap tajam pada Ardy, apa sih yang diinginkan oleh Ardy.
“Aku ingin bakso, tapi aku gak punya
uang,” kata Ardy. Tiba-tiba Ardy mengambil celengannya dan membawanya ke
kamarku dan kulihat Ardy mulai mengambil uang di celengan dengan
mengorek-ngorek celengannya.
“Bisa gak?” tanyaku sambil melihat
Ardy mengorek-ngorek celengannya dan aku tergoda untuk melakukan hal yang sama.
Ah, gak apa-apa kan hanya sekali ini saja, apalagi aku sudah lama tidak makan bakso mang Amat yang terkenal enak. Aku meraih celengan di atas lemari,
kupandangi sekali lagi celenganku, ah gak apa-apa , hanya sekali ini saja , aku
janji. Aku juga mulai mengorek-ngorek celenganku.
“Kalian lagi apa ya?’ tanya ibu yang
tiba-tiba masuk kamarku. Aku dan Ardy terkejut saat ibu masuk dan menemukan aku
sedang asik mengorek-ngorek celenganku.
“Emangnya sudah penuh celengan
kalian?” tanya ibu sambil duduk di tempat tidurku.
“Belum bu, aku ingin sekali beli
bakso.” Aku hanya bisa menunduk malu, begitu juga Ardy.
“Memang untuk mendapatkan sesuatu
kita harus sabar dan tahan dengan godaan karena godaan akan banyak datang
menghampiri kita,” nasihat ibu. Semenjak saat itu aku tak mau lagi mengorek-ngorek
celenganku . Aku harus sabar dan tahan godaan.
Tak terasa sudah hampir setahun aku
menabung di celengan ayam dan saat ini celengan ayamku sudah semakin berat dan
saat kugoyangkan juga sudah tak ada bunyi lagi, itu menandakan celenganku sudah
penuh. Tepat kenaikan kelas aku ingin memecahkan celengan karena kuanggap celengan
sudah waktunya untuk dibuka.
“Bu, aku mau celenganku dibuka ,
coba lihat sudah penuh kan?” tanyaku penuh harap. Ibu memegang celenganku dan
tersenyum sambil menganggukan kepalanya. Aku bersorak , artinya aku dijinkan
untuk memecahkan celengan ayamku. Tanpa menunggu lagi aku memceahlan celengan
dan uang logamku berceceran di lantai. Aku dibantu ibu mulai menghitung uang
logamnya. Melelahkan juga harus menghitung uang logam yang berceceran di lantai
dan saat semua uang logam sudah kuhitung , semuanya terkumpul Rp 75 000,-.
“Bu, padahal sepatu adidas harganya
seratus ribu,’ kataku sedih.
“Ya, karena Sisy naik kelas , ibu tambahkan
uangnya agar kamu bisa beli sepatu yang kamu inginkan.” senyum ibu
merekah. Sore itu aku diantar ayah dan
ibu pergi ke toko sepatu yang menjual sepatu idamanku. Setelah tawar menawar
dengan pelayan toko , akhirnya aku dapatkan sepatu adidas idamanku sejak lama.
Tidak tahu kenapa saat aku pegang sepatu adidasku, ada rasa haru, ada rasa
bangga ternyata memang benar kata ibu, apa yang didapatkan dari hasil kesabaran
akan berbeda perasaan yang ditimbulkan.
“Nok,”panggil pemilik kios. Aku
terkejut , ternyata aku sudah lama melamun dari tadi. Masih terbayang aku
memegang celengan ayam waktu itu dan memecahkannya. Dibalik celengan ayam
banyak cerita dan banyak kenangan yang tak pernah akan aku lupakan. Sampai saat
ini aku selalu pandai mengatur uang dalam rumah tanggaku , itu semua berkat
pelajaran yang kudapat dari celengan ayamku. Kutinggalkan kios itu dengan celengan ayam yang masih
tergenggam dalam tanganku