4 Cinta Yang Terabaikan

Senin, 27 Agustus 2018


Sumber gambar dari sini 
 

“Pokoknya bu, aku harus bertemu  ayah,” kataku ngotot, kali ini aku tak mau lagi harus mengalah dengan ibu.
            “Jadi kamu lebih mementingkan ayahmu yang meninggalkanmu demi wanita jalang itu , Tiara. Ibu gak habis pikir apa yang kamu cari dari ayahmu yang tak bertanggung jawab itu, hidupmu semua dari ibu, apa ayahmu memberimu uang , tidak Tiara,” ibu kembali marah saat aku ingin bertemu dengan ayah, sebetulnya aku sungguh merasa iba melihat ibu, tapi entah mengapa keinginan kuat aku untuk bertemu dengan ayah mengalahkan semuanya termasuk perasaan ibu. Berulang kali bude , kakak ibu juga menyalahkan aku karena ingin bertemu dengan ayah, tapi kali ini aku tak mungkin lagi untuk mengalah,ada sesuatu yang mendesak di hati ini entah apa, tapi keingintahuan aku tentang ayah kandungku. Sampai usiaku 20 tahun aku tak pernah sekalipun bertemu dengan ayah, semua akses aku untuk mengenal ayah ditutup oleh ibu dan keluarganya.
            “Ibu, tolonglah aku sekali saja aku bisa bertemu dengan ayah,sesudahnya aku tak akan bertemu dengannya,”rengekku , aku berlutut di kaki ibu, ibu memalingkan mukanya ke arah lain, kulihat wajahnya mulai tampak murung dan hanya desahan perlahan yang keluar dari mulutnya.
            “Tidak, Tiara, ibu tak mau engkau mengenal ayahmu yang tega meninggalkan kita,” ujar ibu yang akhirnya membiarkan aku sendiri di kamar. Aku terdiam lama , hanya terdengar suara detak jam yang membuat kepalaku menjadi pening, kerinduan akan sosok ayah begitu menggebu di hatiku, dari dulu, aku merindukannya.

            “Tiara, gak punya ayah ya?” tanya Dinar , ingat sekali aku dengan pertanyaan teman-temannya yang seringkali menanyakan ayahnya.
            “Punya, kata ibu, ayah kerja di luar kota,” tukasku selalu menjawab pertanyaan itu seperti jawaban ibu kalau aku menanyakan apakah aku punya ayah.
            “Kalau kerja di luar kota, masa gak pernah datang apalagi sekarang saat lebaran,” tukas Deki. Kalau sudah begitu aku lebih memilih meninggalkan teman-temanku daripada harus menjawab pertanyaan yang sulit untuk dijawab.
            “Tiara , gak punya ayah, gak punya ayah,”terdengar suara teman-temanku mengejekku.Aku akan menangis dalam pelukan ibu dan ibu selalu menghiburku .
            “Dengar ibu, kamu punya ayah, nak, sudah jangan didengarkan ejekan mereka, nanti mereka bosan sendiri, lagipula kamu punya ibu dan keluarga ibu yang mencintaimu,” dan aku akan aman dalam pelukan ibu, begitu seterusnya.

            Sejak aku masuk SMP aku menjadi gadis yang rendah diri, karena aku merasa tak memiliki ayah seperti teman-teman yang lain. Ada juga yang ayahnya meninggal tapi mereka tahu makam ayahnya, sedangkan aku, punya ayah tapi aku tak tahu ayahku dimana. Sering aku mendesak bude untuk memberitahuku mengapa ayah tak pernah datang mengunjungiku, tapi bude tak pernah menjawab pertanyaanku.
            “Nduk, kamu sudah bahagia bersama ibumu, apalagi yang kamu cari, kamu punya semua yang diimpikan anak seusiamu, apa itu tak cukup bagimu,” selalu bude mencari alasan untuk tak menjawab pertanyaanku dan aku kembali diam dalam hati yang penuh tanda tanya.  Sampai suatu  saat aku memberanikan diri masuk kamar ibu saat ibu masih ada di kantor dan mulai mencari data-data tentang ayahku, kali-kali saja ibu menyimpannya di lemarinya. Dengan berjingkat-jingkat aku masuk ke kamar ibu dan mulai mencari map-map atau kotak tempat ibu menyimpan data-dataku berserta ayah. Kuaduk-aduk lemari ibu dan aku menyentuh kotak di ujung lemari bagian atas. Kuambil kotak kayu hitam dan kubuka perlahan dengan jantungku yang kian cepat berdetak. Beberapa foto aku lagi masih kecil dan aku melihat pria yang sedang menggendongku. Kutatap sekali lagi foto pria itu, mungkin ini ayahku, saat aku kembali melihat foto-foto yang lain, aku melihat foto ibu dengan seorang pria. Tidak salah lagi ini pasti ayahku. Aku memandang wajah ayahku, aku lebih mirip ayah daripada ibuku. Rambutku yang ikal seperti rambut ayah. Ada saru foto lagi , aku digendong oleh perempuan lain yang bukan ibuku dan di sebelahnya ada ayah dan ibu. Siapa perempuan itu, waktu aku melihat dengan teliti, itu bukan wajah bude, siapa perempuan itu.
            “Apa yang kau lakukan dengan kotak ibu ,Tiara,”tegur ibu marah, aku begitu terkejut sehingga kotak terlempar dari tanganku, saking asiknya aku melihat foto-foto itu, aku tak mendengar kedatangan ibu.
            “Maaf bu, Tiara hanya ingin tahu wajah ayah,” tukasku perlahan ,ada rasa bersalah di sudut hatiku dan air mataku mulai menetes perlahan , aku sudah tak sanggup lagi menahan air mata di pelupuk untuk tak turun. Ibu dengan kasar membereskan foto-foto itu dan memasukan kembali dalam kotak kayunya.
            “Sekarang kamu keluar dari kamar ibu, ibu marah sekali denganmu.” Aku beringsut perlahan dari kamar ibu , menuju kamarku. Di kamarku aku menangis sejadi –jadinya, apa salahku kalau aku ingin bertemu dengan ayah kandungku, mengapa aku tak boleh mengenalnya, aku tak mengerti. Mataku sembab dan aku tahu ibu sangat marah padaku, karena saat itu dan beberapa hari ke depan ibu tak menyapaku, ibu lebih banyak diam , dan aku juga lebih memilih untuk tak bertanya lagi.

            Sampai suatu saat  bude datang dan mulai bercerita tentang ayahku. Menurutnya dulu ibu dan ayah adalah pasangan yang serasi, banyak orang yang iri melihat ayah dan ibu begitu mesra baik sebelum menikah dan sesudahnya.  Kebahagiaan mereka bertambah saat melahirkan anak perempuan yang diberi nama Tiara , dan kebahagiaan mereka menjadi lengkap sampai suatu saat datang teman  ayah dari desa .  Bude berhenti sebentar dan menghela nafas untuk beberapa saat sebelum melanjutkan kembali ceritanya.
            “Perempuan itu Kirey , teman papa di desa yang mau mencari pekerjaan dan minta tolong untuk tinggal sementara waktu sampai mendapatkan pekerjaan,” bude melanjutkan kembali ceritanya. Ibumu merasa terbantu dengan Kirey yang begitu telaten mengasuhmu saat ibu dan ayah bekerja , sampai ibumu begitu percaya dengan Kirey. Sampai beberapa laporan mbok Ponirah tentang kedekatan ayah dengan Kirey dianggap ibumu  mbok Ponirah iri pada Kirey yang lebih telaten mengurusmu. Sampai suatu saat ibumu sakit dan pulang cepat dari kantor dan menemukan ayahmu sedang bermesraan dengan Kirey di kamarnya. Ibumu begitu syok dan akhirnya tak sadarkan diri sampai harus masuk rumah sakit. Beberapa kali ayah meminta maaf atas kekhilafannya tapi ibumu bersikeras untuk bercerai, ayahmu tak mau melepaskan ibumu. Sampai akhrinya Kirey mengadu kalau dia hamil dan ibumu mengusir ayah dan Kirey keluar dari rumah ini. Mulai saat itu, ibumu tak ingin bertemu dengan ayahmu, walau berkali-kali ayahmu ingin kembali padanya.
            “Tiara, ibumu sangat mencintai ayahmu, jadi  tolonglah kau beri pengertian padanya, betapa rasa sakit hatinya saat cinta tulusnya dikhianati.” Bude terhenti dan terdiam  sesaat, hanya terdengar sekali-kali helaan nafasnya.
            “Sekarang ayah dan istri barunya tinggal dimana?”  Bude menatapku tajam.
            “Kamu masih bersikeras untuk bertemu dengan ayahmu?”
            “Aku tak ingin menyakiti hati ibu, tapi aku hanya ingin mengenal ayahku, dan aku tetap akan tinggal dengan ibu ,” ujarku dengan terisak. Dadaku sesak dengan rasa rindu akan cinta seorang ayah, sepertinya aku hanya punya bayang-bayang cinta ayah tapi aku tak pernah bisa merasakannya..
            “Apakah aku salah ingin bertemu dengan ayah bude?”tanyaku sambil kepalaku kususupkan di dada bude, bude merengkuhku dalam pelukannya.
            “Tidak salah Tiara, tapi kamu harus ada persetujuan dengan ibumu, jangan tidak, kasihan ibumu,” bude kembali mempererat pelukannya.
            “Tapi ibu selalu menolaknya,” aku mulai merajuk dan berharap bude akan membujuk ibu untuk mengijinkanku untuk bertemu dengan ayah.
            “Sabar nduk, suatu saat ibumu akan mengijinkanmu , pasti ,bude yakin, ibumu butuh keberanian besar untuk mengijinkanmu untuk menemui ayahmu. Ibumu takut kehilanganmu, nduk.” Aku mulai sedikit mengerti walau hati kecilku tetap berontak.

            Kini saat aku sudah kuliah dan usiaku menginjak 20 tahun, aku kembali ingin bertemu dengan ayahku, ada  sesuatu dalam hati kecilku yang merindukan cinta seorang ayah, tapi aku juga mulai mengerti akan perasaan ibu yang telah disakiti ayah. Aku sudah dewasa, aku ingin bertemu dengan ayahku, bagaimanapun kelak kalau aku menikah , aku ingin ayahku yang menjadi waliku.
            “Mintalah ijin pada ibumu, tak baik kau mencari ayahmu diam-diam,” ujar mas Joko , lelaki pilhanku yang akan kuperkenalkan pada ayahku. Tapi ternyata ibu masih saja ngotot melarangku pergi menemui ayah.
            Tolonglah bu, aku kelak akan menikah dengan mas Joko, aku perlu wali untukku,dan ayah masih hidup,”ujarku dan kupeluk ibu erat-erat.
            “Bu, tak perlu takut aku tak menyayangi ibu lagi, ibu bagiku segala-galanya lebih dari apapun. Ibulah yang membuatku bisa kuliah dan setahun lagi akan menjadi sarjana, aku menyayangi ibu,” aku memeluknya erat-erat, aku melihat ibuku berusaah menahan air matanya agar tak jatuh.
            “Menangislah bu, jika ibu ingin menangis.” Aku diam mendengar suara isakan tangis ibu .
            “Baik, ibu ijinkan tapi kau harus didampingi dengan Joko,” tukasnya sambil menghapus air matanya, aku peluk erat ibu.
            “Terimakasih bu, aku mencintai ibu,” kucium dahi dan pipinya berkali-kali .
           
            Ibu hanya memberikan alamat kantor ayahku, dan aku beserta  mas Joko mendatangi kantor advokat tempat ayah bekerja, tapi sialnya ayahku sudah tak bekerja di sana lagi. Menurut  karyawan di sana ayah membuka kantor advokat sendiri di kota Bogor.
            “Alamatnya dimana?” tanyaku , orang itu hanya menggelengkan kepala, tapi ada karyawan lainnya yang memberitahukan alamat kantor advokat ayah di Bogor.  Saat aku sudah berada di depan kantor adovokat milik ayah, jantungku berdebar kencang, kubaca kembali papan nama di depan kantor, Raharjo SH, itu nama ayahku. Joko menggemgam tanganku yang mulai dingin dan gemetar.
            “Tenangkan hatimu, Ti,” tukas mas Joko dan mas Joko mulai  mengajakku masuk ke dalam kantor
            “Selamat siang,ada yang bisa dibantu,” sapa karyawan operator di meja paling depan kantor. Mas Joko menyebutkan ingin bertemu dengan pak Raharjo, aku mulai gelisah, rasanya berdebar ingin bertemu dengan ayah kandungku yang tak penah kutemui dan kali inilah pertama kali aku akan bertemu.
            “Silahkan masuk,” recepsionis itu mempersilahkan aku dan mas Joko masuk. Pria usia lima puluh tahunan sedang menerima telepon  dan saat aku melihatnya aku yakin dia ayah kandungku. Saat pak Raharjo meletakkan teleponnya dan mempersilahkan aku dan mas Joko duduk.
            “Ada keperluan apa?” tanyanya . Aku disenggol mas Joko karena aku masih bingung untuk menjawab pertanyaannya, rasanya lidahku masih kelu untuk berbicara, rasanya aku masih harus memandangnya agak lama sehingga aku yakin beliau  adalah ayahku.
            “Maaf, ada perlu apa?” tanyanya lagi. Mas Joko kembali menyentuh bahuku .
            “Pak, aku Tiara, anak Bapak,” ucapku perlahan, entah beliau mendengar atau tidak, tetapi aku melihat beliau terkejut dan memegang dadanya.
            “Pak, kenapa, bapak sakit?” tanya mas  Joko yang dengan sigap menopang tubuh pak Raharjo yang hampir  limbung dari kursinya. Segera mas Joko memberikannya minum dan tampak beliau mulai dapat menguasai dirinya.
            “Tiara , anakku dengan Rita?” Aku mengangguk pasti dan  tak lama kemudian aku sudah ada dalam pelukannya, aku menangis sejadi-jadinya, rinduku begitu membuncah dan kini kerinduanku terwujud  bertemu dengan ayah kandungku  kembali, cinta yang hilang dan terabaikan ,kini datang menyambutku kembali. Aku peluk ayah, aku tak ingin melepaskannya lagi, aku begitu mencintainya sosok yang telah  lama menghilang.

            Aku tak menyangka ternyata ayahku setelah Kirey melahirkan anaknya , langsung menceraikannya , karena ayah tak bisa melupakan cintanya pada ibu, walau ayah harus gigit jari karena ibu menolaknya kembali. Ayah memutuskan membuat kantor adovokat sendiri di kota lain untuk melupakan semua yang pernah beliau alami.
            “Aku tahu, ibu juga masih mencintaimu ayah, beliau tak pernah menikah lagi walau banyak pria yang mendekatinya,” ujarku pasti, dibenakku ada keinginan untuk menyatukan kembai cinta ayah dan ibu, walau aku tahu ibu orangnya keras.
            “Ayah, aku pamitan dulu, ayah tunggu saja, akan aku bujuk ibu untuk kembali bersama ayah,” aku memeluknya sekali lagi.
            “Jaga Tiara baik –baik,” ayah menyalami mas Joko dan menepuk-nepuk pundak mas Joko dan mewanti-wanti untuk menjaga aku dan jangan menyakiti hati  putrinya . Aku tertawa geli mendengar ucapannya, rasanya ada kelegaan tersendiri  saat  bertemu dengan ayahku, cinta yang terabaikan kini lenyap dan datang  cinta yang lain menyapaku dengan sejuta harapan !!!!

2 Air Yang Tenang

Senin, 20 Agustus 2018


Sepi yang ada desiran angin sepoi
Mengumpulka riuh rasa di hati
Pelengkap rasa yang indah saat melihat alam
Menyemburkan pesona dalam diam

Di sini di tempat ini
Hanya hati yang bicara
Tentang indahnya alam
Menjelma rasa kagum pada Ilahi

Ijinkan aku untuk mengagumimu sesaat saja
Sampai tumpah ruah rasa ini
Angin tetap membasahi wajahku
Sampai aku menjelema dalam rasa

  
Hanya diammu yang mempesona
Sampai tak mampu aku melepaskan kata sepatahpun
Hanay kerjap mata memandang jauh
Hanya ada air yang tenang, gunung dan hijau pohonnya

Cirebon, 21 Agustus 2018
Telaga Sarangan nan indah

4 Darah Di Tengah Hujan Lebat

Senin, 13 Agustus 2018


Gambar dari sini 
 

Malam itu saat hujan turun lebat dan segala petir meneriakan suaranya yang keras. Angin berdesau membuat telingaku tak mampu lagi untuk mendengar tangisan hujan . tanganku masih bersimbah darah, kulepaskan pisau dapur , keringat mengalir terus dari dahiku. Keberanian macam apa yang telah aku perbuat? Kekuatan yang aku sendiri tak tahu dari mana. Apa mungkin ini merupakan cetusan rasa sakit yang selama ini kupendam sendiri dalam duka yang panjang?. Malam-malam sepi yang harus kulalui sendiri tanpa kasih yang seharusnya aku temukan dari suamiku. Aku telah membunuhnya.  Aku membunuhnya. Kulihat tubuh suamiku terbujur kaku di lantai, dengan luka tusukan yang bertubi-tubi dan tusukan di dadanyalah yang mungkin telah menghabiskan nyawanya.  Aku masih diam dalam bisu, diam tanpa kata dan aku terduduk dalam duka yang kutahu akan semakin panjang kulewati....

            Aku masih ingat perkenalanku dengan mas Arif di suatu seminar kebangsaan di Islamic Center di kota Tangerang. Mas Arif  adalah salah satu pembicara di seminar itu. Aku dikenalkan Boy teman kuliahku pada mas Arif. Perawakan sedang dan yang aku suka dia smart, bukan tipe lelaki yang playboy atau pecicilan dan tampaknya sopan .  Perkenalan singkat itu tak membawa rasa di hati , karena aku kembali sibuk dengan urusan aku kuliah.
            “Indah, dapat salam tuh dari mas Arif”, kata Boy. Aku cuma tersenyum.
            “Oh, ya salam lagi deh,” kataku . Selang beberapa bulan kemudian , aku dikejutkan saat mas Arif datang ke rumahku. Tidak hanya sekali itu saja mas Arif datang tapi selanjutnya dia selalu rutin mengunjungi aku. Herannya ayahku bisa dekat dengan mas Arif , padahal biasanya ayahku paling gak suka dengan teman-teman cowokku yang lainnya. Yang aku tahu, aku mengagumi mas Arif sebagai cowok yang smart, aku memang suka dengan cowok yang smart dibanding dengan cowok yang cuma bisanya bergaya tapi otaknya nol besar. Cinta?, aku tak tahu, apa aku cinta dengan mas Arif tapi perasaanku masih belum ada getar-getar yang membuatku jatuh cinta dengannya. Aku hanya menghormati karena dia pandai dan semua oang juga akan mengatakan hal yang sama denganku.
            Di bulan ketiga setelah banyak kunjungan mas Arif , dia melamarku. Ku belum bisa menjawabnya karena aku masih harus menyelesaikan kuliahku.
            “Indah, kenapa kamu masih ragu-ragu, ayah lihat dia pria yang baik untukmu,” kata ayah,”masalah kuliah kan masih bisa diteruskan setelah menikah”.
            ‘Biar Indah selesaikan kuliah dulu ayah, tanggung tinggal satu semester lagi”, kataku.
            “Gimana kalau kalian tunangan dulu, seenggaknya masing-masing jadi terikat satu sama lainnya,” usul ayah.  Aku hanya menggelengkan kepalaku, karena aku pikir aku mau konsentrasi belajar dulu , sebelum direpotkan urusan rumah tangga. Ayah cuna bisa menghela nafas , tampak rasa kecewanya.

            Akhirnya dua tahun kemudian aku sudah menyandang gelar nyonya Arif. Mas Arief tak mengijinkan aku bekerja. Aku sebetulnya mau protes, karena aku ingin seperti teman yang lain punya penghasilan sendiri dan bisa mengatualisasi diri, tapi kulihat sorot matanya yang menandakan ketidak setujuan akhirnya membuatku urung untuk protes. Akhirnya aku hanya mengurus rumah tangga dan keperluan mas Arif. Seiring waktu , aku mulai melihat perangai mas Arief yang aku tak suka, mas Arif terlalu menuruti apa kata ibunya, bukan aku tak suka tapi bagaimanapun istrilah yang harus diajak bicara dalam memutuskan suatu hal. Satu hal lagi, mas Arif selalu memberikan uang hanya untuk sehari saja, tidak pernah uang gajinya seluruhnya diberikan padaku,untuk aku kelola . Pernah aku tanyakan tapi jawabannya tak masuk akal dan terlalu mengada-ngada. Aku hanya bisa diam saja, mau mengadu pada ibu dan ayah ,mereka sudah menilai mas Arif adalah pria yang terbaik buatku.

            Hampir setahun aku menikah tapi aku belum dikaruniai anak, banyak pertanyaan yang sampai di telingaku. Itu tak seberapa, tapi yang membuat kupingku panas adalah sindiran mertuaku kalau aku wanita mandul. Aku mengeluh pada mas Arif tapi apa jawaban yang kuterima , mas Arif malah menuduhku hal yang sama. Hari-hariku terasa menyakitkan, di saat aku sendiri , aku merasa kesepian tidak ada teman untuk berbagi suka dan duka. Tidak ada yang bisa menenangkan hatiku yang gundah. Aku ingin memeriksakan ke dokter tapi aku tak punya uang.
            “Mas, gimana kalau kita ke dokter untuk memeriksakan kenapa aku belum hamil?,” tanyaku . Mas Arif menatapku tajam .
            “Kamu pikir , ongkos ke dokter itu murah, kalau ada sesuatu di rahimmu tentunya biayanya akan mahal,” kata mas Arif sambil tetap membaca buku. Aku terpana mendengarkannya, uangnya tak mau dikeluarkan untuk kepentingan bersama , bagaimana kalau aku sakit keras!!!!. Aku hanya bisa gigit jari

            Pagi itu aku dikagetkan dengan kedatangan mertuaku. Aku heran , biasanya selalu datang kalau ada mas Arif. Aku mencium tangannya, tapi wajahnya kulihat tampak kesal.
            “Arif sudah pergi kerja?,” tanyanya. Aku hanya mengangguk.
            “Kasihan Arif , dia kesepian tidak ada celotehan anak kecil di rumahnya,” katanya,” coba orang lain pulang kantor sudah disambut dengan celotehan anak kecil.” Aku hanya berdiam diri , aku tak mau mengomentari omongannya. Tanpa basa basi lagi, mertuaku menuturkan rencananya kalau mas Arif akan dikawinkan lagi dengan anak temannya yang katanya bakal bisa memberikan cucu buatnya. Aku diam membisu , hanya air mata terus mengalir . Kuhanya bisa memandang kepergian mertuaku dengan perasaan hancur.tidak ada satupun yang membelaku, tak ada.....
            “Mas, ceraikan aku,” pintaku pada mas Arif.
            “Cerai, untuk apa?,” tannyanya.
            “Kan mas mau kawin lagi dengan anak teman ibu,” kataku.
            “Kenapa, kan laki-laki boleh beristri lebih dari satu,” katanya enteng
            “Pokoknya aku gak mau, ceraikan aku,” teriakku. Tapi mas Arif tak bergeming sama sekali. Duka panjang yang akan kulalui sudah terbentang di hadapanku. Masa-masa sulit harus kuhadapi. Sepi yang menyelimuti diriku selalu kulewati di malam-malam sepiku saat mas Arif ada di rumah istrinya yang lain. Aku semakin menderita dalam lara, banyak dendam dan sakit hati yang menyelimuti hatiku. Aku mulai membenci semua keadaan ini , kuhanya mengurung diriku di kamar terus dan kuabaikan diriku dalam kekelaman .

            Sampai suatu saat kudengar istrinya Nina telah melahirkan anak laki-laki, dan aku semakin tersudut dalam sepi yang panjang.  Mas Arif lebih banyak berada di rumah Nina dan  aku dibiarkan sendiri tanpa kasih sayang , tanpa uang. Ingin kulari dari kenyataan ini, aku menyesal mengapa dulu aku tak bekerja. Kini uangpun aku tak punya, aku tak bisa pergi dari rumah yang membuatku sakit hati. Kumulai merasakan tubuhku melemah, kusering muntah-muntah. Aku terbaring lemah , tak ada satupun yang peduli.

            Sampai suatu saat, malam itu, mas Arif datang , dan dia hanya menceritakan tentang kelucuan anaknya. Sungguh mudah baginya untuk bercerita  tanpa memahami rasa sakit yang harus kurasakan. Malam semakin larut, hujan masih turun dengan petir yang memekakan telinga , kutatap wajah mas Arif yang tertidur dalam lelapnya. Aku benci dia, aku benci, tak pernah dia memberikan aku ketenangan , hanya sakit yang kamu derakan untukku. Aku tak mau melihatmu lagi, tak mau. Kamu tak mengijinkan  aku untuk bercerai, apalagi yang akan kamu tusukan dalam hatiku????.  Aku memegang pisau dapur, kupejamkan mataku dan diluar masih turun hujan, kutusukan sekuat tenagaku di dadanya dan terus kutusukan pisau ke bagian tubuhnya sampai kutahu dia sudah tak bernyawa lagi. Tubuhnya terkapar di lantai. Aku masih memegang pisau yang berlumuran darah, sementara di luar masih turun hujan lebat dan petir menari-nari sambil meneriakan suara yang mengelegar dan membuatku terkejut. Aku sudah membunuh suamiku sendiri!!!!!. Aku seorang pembunuh!!!!!