Gambar dari
sini Tampak Delia sedang memainkan jemarinya di atas tuts piano.
Jemarinya begitu lincah menari-nari dia atas tuts. Sekali-kali senyum terukir
di bibirnya yang mungil . Wajahnya tampak sumringah. Lagu Romance The Amor
begitu apik dimainkan Delia. Penonton tampak menikmati alunan lembut dari
tangan-tangan Delia. Kadang lembut mendayu kadang menyentak di tengah .Dan itu
membuat getar-getar tersendiri di hati penonton. Aku sendiri tersenyum dan merasakan
getar-getar yang mengusik di sudut hatiku. Begitu indah lagu itu dibawakan.
Tiba-tiba suara piano diam dan hening sesaat. Saat Delia membungkukan tubuhnya,
tepuk tangan riuh menggema di seluruh aula besar yang mewah. Di aula ini sudah
biasa diadakan konser piano bahkan pianis-pianis terkenal di dunia pernah bermain
di gedung Ahtafira di Bandung. Termasuk pianis kenamaan Richard Clayderman
pernah manggung di sini juga. Betapa bahagianya Delia bisa tampil di gedung
tempat pianis-pianis terkenal berkonser.Tepuk tangan tak berhenti terus bergema
.Penonton melakukan standing applaus yang begitu meriah. Mungkin Delia juga merasakan betapa suasana yang begitu membuat
bulu kuduk merinding. Gemuruh suaranya membuatku begitu terharu. Tak terasa air
mata turun di sudut mataku. Aku menghapusnya perlahan-lahan.
Dia anakku.
Delia. Dia putri kecilku . Dia malaikat bagiku. Betapa dia harus berjuang keras
untuk bisa membuat konser tunggal sebagus ini. Aku bangga dengannya. Dengan
keterbatasan Delia yang tunanetra tak membuat peluang untuknya berpretasi
hilang. Kekurangan yang dia punya ternyata Allah memberikan kelebihan lain.
Sisi seninya yang sangat peka dan halus memudahkan dirinya untuk belajar musik.
Mbak Reta yang memperkenalkan Delia dengan piano sejak Delia berumur 6
tahun.Aku harus berterimakasih pada mbak Reta . Dia telah mengubah Delia yang
tertutup menjadi pribadi yang lebih ceria dan percaya diri. Delia yang buta
sejak lahir membuatnya dirinya punya rasa tak percaya diri. Tapi setelah
mengenal piano, hidupnya berubah drastis. Binar-binar keceriaan selalu mengikutinya.
Sungguh aku bersyukur dengan banyak perubahan Delia.
“Mama,”
tegur Delia menyentuh lenganku. Aku tatap putri kecilku . Aku peluk dirinya dan
kukecup dahinya.
“Indah
sekali Delia. Sangat indah. Pegang pipi mama, mama menangis . Begitu indah kau
mainkan jemarimu nak.” Aku pandangi Delia. Ah, sekarang dia sudah hampir berusia
12 tahun.Sudah mulai remaja. Tiba-tiba mas Santo muncul tiba-tiba dan
menyerahkan bunga mawar merah pada Delia.
“Untukmu
Delia. Hari ini kamu cantik. Indah sekali permaiannmu,” tukasnya.
“Terimakasih.
Siapa dia mama?” tanyanya. Aku terdiam sesaat. Ada duri yang menusuk hatiku.
Perih dan sakit. Nyeri karena masih ada luka yang belum tertutup di hatiku.
“Mam?”
tanyanya lagi. Aku menatap mas Santo
yang terlihat canggung berdiri di hadapanku.
“Om Santo,
Delia,” tukasku. Ada rasa perih yang menyayat hatiku. Sakit sekali. Aku terdiam
lama, entah apa yang aku bisa katakan padanya hari ini. Hanya diam . Itu lebih
baik daripada luka lama terbuka kembali.
“Aku pulang
dulu Nana. Delia, om pulang dulu. Lain kali om akan nonton konsermu lagi.”
Delia mengangguk dengan senyumnya yang mengembang dari bibirnya. Aku mencoba
menghentikan sedikit rasa gemuruh di hatiku. Masih adakah cinta untuk dia, mas
Santo? Entahlah.
“Eh, Delia
sekarang sesi foto. Sudah ditunggu di depan,” tukas mbak Reta. Aku menggandeng
lengan Delia menuju depan . Sesi foto dimulai. Banyak orang , terutama remaja
yang mengidolakan Delia yang hendak berfoto dengannya. Hari ini begitu menguras
tenaga dan hati Delia. Tapi selebihnya aku bangga dan terharu padanya.
Aku ingat
saat pertama aku positif hamil. Aku mengabarkan berita ini pada mas Santo. Betapa
bahagia raut wajah mas Santo saat pertama kali tahu aku positif hamil. Begitu
banyak angan-angan yang melayang jauh ke angkasa akan harapan mendapatkan buah
hati. Ternyata angan-angan yang tinggi
itu hancur saat tahu kalau Delia mengalami kebutaan. Semua hancur begitu saja.
Aku ikhlas menerima semuanya sebagai takdir yang harus aku jalani. Tapi bagi mas
Santo , tidak. Mas Santo meninggalkan aku dan Delia. Dia tak bisa menerima
Delia yang buta.Aku butuh berbulan-bulan untuk menata kembali hidupku . Sampai
aku bisa bangkit dan menata hidupku bersama Delia. Aku didik Delia dengan penuh
kecintaanku. Walau aku sedikit cemas karena Delia terlalu tertutup dan agak
murung. Tapi semenjak mbak Reta mengajaknya bermain piano, sedikit demi sedikit
Delia mulai terbuka hatinya. Rasa percaya dirinya tumbuh sejalan dengan kepintarannya
bermain piano yang semakin mahir juga. Delia tumbuh menjadi gadis yang
menyenangkan. Itu membuatku bahagia. Dan akhirnya itu membuatku sedikit
melupakan rasa sakit hatiku saat mas Santo meninggalkanku. Aku tak pernah
mendengar kabar dari mas Santo atau memang aku tak mau mendengarnya. Cukup aku
dan Delia yang berjuang bersama-sama. Aku cukup bilang pada Delia kalau papanya
pergi untuk bekerja. Beberapa kali Delia bertanya mengapa papanya tak
pulang-pulang tapi akhirnya Delia tak pernah bertanya lagi tentang papanya. Aku
sendiri tak tahu akan perasaannya pada papanya. Apakah dia merindukan papanya
atau tidak. Pernah aku menanyakan pada dirinya.
“Kamu suka
rindu dengan papa gak ?” tanyaku suatu saat. Delia terdiam sebentar.
“Entahlah,
mam. Aku lihat mama tenang saja papa gak ada,” tukasnya santai. Aku terdiam dan
mulai saat itu aku dan Delia tak pernah lagi berbicara tentang papanya Delia.
Sampai
suatu saat aku dikagetkan dengan kedatangan mas Santo di kantorku. Dia ingin
bertemu dengan Delia. Aku pandangi wajahnya . Mengapa dia ingin bertemu dengan
Delia, sedangkan dulu dia meninggalkan Delia ? Apakah karena dia sekarang tahu
Delia sudah menjadi remaja yang pandai bermain piano seperti layaknya orang
normal?
“Untuk apa
kamu datang mas. Kamu sudah meninggalkan aku dan Delia belasan tahun yang lalu.
Aku sudah bahagia dengan Delia. Jangan ganggu aku lagi. Delia sudah bahagia
dengan kehidupan dia sekarang, jangan ditambah lagi kau datang begitu saja pada
dirinya.” Bergetar aku mengucapkan beberapa kata padanya. Ingin aku marah
padanya tapi ternyata masih ada sisa cinta untuknya tersimpan dalam hatiku.Mas
Santo pergi saat itu dengan wajah
menunduk. Terlihat agak pucat dan kurus tubuhnya. Ada perasaan iba di hatiku,
tapi rasa sakit hatiku masih membuat parutan luka yang belum mengering. Masih
sakit. Tapi di sudut hatiku yang lain ada perasaan bersalah. Ingin aku memperkenalkan
mas Santo pada Delia tapi masih ada keraguan di hatiku. Egois memang. Aku memisahkan
tali cinta antara anak dan ayahnya.
“Maafkan
dia , Nana. Mungkin perjalanan waktu membuatnya rindu pada darah dagingnya
sendiri. Dia tak mungkin mengelak ada darahnya di tubuh Delia,” tukas mbak
Reta.
“Iya,
mungkin nanti kalau aku sudah bisa menghilangkan rasa sakit hatiku.” Aku terdiam
.
“Jangan
telalu lama Nana. Delia perlu tahu ayahnya.” Aku kembali mengangguk dan berjanji
akan memberitahu Delia tentang papanya. Tapi ternyata sulit bagiku. Luka itu
masih meninggalkan parut yang susah untuk sembuh. Saat mas Santo datang di
konser Delia , aku hanya memperkenalkan sebagai orang yang kagum akan permainannya
saja. Ada sedikit keheranan saat mas Santo memeluk Delia dengan segala
kerinduannya. Mengecup kening Delia. Agak runtuh hatiku saat itu. Mbak Reta
memegang bahuku erat-erat.Mas Santo pulang dengan wajah yang sulit aku terka,
hanya raut wajahnya yang tampak pucat dan tirus. Tubuhnya semakin kurus. Itu
hanya perkiraan sepintas.
Tiga bulan
kemudian , aku dapat surat dari sebuah rumah sakit terkenal di Bandung untuk
datang . Agak mengherankan mengapa aku dapat panggilan dari rumah sakit. Mereka
tahu alamatku darimana?
“Bu, ini
ada amanat dari pasien di sini. Dia akan mendonorkan matanya untuk anak ibu.”
Aku perlu mendengar dokter itu mengulang kembali perkataannya, baru aku
mengerti.
“Siapa orangnya.
Boleh aku tahu?” Dokter itu menggelengkan kepala. Pasiennya masih ingin
dirahasiakan sampai Delia sudah menerima matanya.
“Bagaimana
bu,?” Mbak Reta menyentuh lenganku. Mbak Reta menganggukan kepalanya padaku.
“Terima
saja mbak. Semua untuk Delia.” Operasi tiba. Delia begitu gugup. Aku
mengecupnya dahinya perlahan.
“Tenang
Delia, sebentar lagi kamu bisa melihat.” Aku peluk erat dirinya sebelum Delia
dibawa ke depan meja operasi. Perasaan berdebar-debar menunggu hasil operasi.
Sungguh harapan yang tertinggi pada diriku agar Delia bisa melihat dunia. Butuh
waktu seminggu setelah opearsi untuk membuka perban yang menutup matanya.
“Mam, kalau
aku masih tak bisa melihat bagaimana?” tanya Delia.
“Kamu sudah
terbiasa tak melihat Delia.”
“Oh, iya
mam. Hal yang pertama Delia ingin lihat wajah mama dan ....papa,” tukasnya. Aku terhenyak
mendengar harapan yang dia inginkan. Melihat papanya. Aku terdiam lama sebelum
Delia bilang padaku.
“Gak perlu
kawatir mam. Delia hanya ingin melihat foto papa saja,” tukasnya lagi. Ada rasa
sakit yang menusuk di dada ini. Betapa secara diam-diam Delia merindukan
papanya, tapi dia tak mau membuat diriku sedih. Ah, Delia kamu anak yang manis.
Perban di matanya perlahan dibuka. Aku menatapnya tegang. Mata Delia
mengerjap-ngerjap perlahan. Tiba-tiba dia tersenyum dan menatapku lama.
“Mama, aku
bisa melihat.” Aku merangkul Delia erat-erat,air mataku tumpah ruah. Begitu
bahagia. Kini Delia bisa seperti anak-anak yang lain berkat pertolongan
seseorang yang dermawan.
Aku
mengajak Delia ke sebuah makam di tengah kota Bandung. Aku melihat nisan yang
bertuliskan Santoso .Aku duduk berdoa sebentar dan memegang nisannya.
“Terimakasih
mas untuk matamu. Aku bisa melihat matamu di mata Delia. Terimakasih.” Aku
tergugu lama, sesak dadaku. Tak menyangka mas Santo menyumbangkan matanya untuk
Delia setelah tahu hidupnya tak akan lama lagi karena kanker yang dideritanya.
Setelah mas Santo kambuh dan masuk rumah sakit lagi dan keadaan semakin parah,
Mas Santo meminta dokter untuk mengambil matanya untuk didonorkan pada Delia.
Delia hanya diam di sisiku.
“Del, ini
makam papamu. Dia yang memberikan matanya untukmu,” aku tersendat-sendat
mengucapkannya. Dan aku terisak kembali.
Tak ada yang bisa menghalangiku untuk menangis sepuasnya. Aku melihat air mata
mengalir di mata Delia.
“Papa.”
Hanya kata itu yang keluar dari mulut Delia. Terimakasih mas Santo. Mata pemberianmu akan menjadi bukti cintamu pada Delia.
Akhirnya seorang ayah tak mungkin memungkiri anak kandungnya sejelek apapun keadaannya.
Ada tali yang menghubungkan anak dan
orangtuanya. Tali cinta.....