4 Renungkanlah

Sabtu, 30 Januari 2021

 

Gambar dari sini

 

Kau tahu kau memiliki rasa

Tapi rasa itu sudah mati

Kau tak melihat lelaki menunggumu dengan setia

Kau renggut begitu saja kebahagiaan yang pernah ada

Untuk apa?

 

Kau tahu kau rugi

Tak ada lelaki yang masih menunggumu

Kesabaran akan ada batasnya

Akankah semua ini luruh bersama waktu

Waktulah yang akan menilaimu

 

Tapi jika semua sudah pada titik nadir

Jangan pernah ada sesal di hatimu

Kau sebetulnya telah memukul cinta itu jauh dai nuranimu

Kau belum membuka ruang-ruang di hatimu

Sampai kapan egoismu berakhir?

 

Tapi semua itu ada ujungnya

Andai kau bisa meluruhkan keegoisanmu

Semau akan berlalu dari hidupmu

Tapi kalau kau memiliki hati , itu akan berkata lain

Semua menjadi pilihanmu.

Cirebon, 31 Januari 2021

 

 

 

 

 

 

 


4 Keajaiban

Sabtu, 23 Januari 2021

 

Gambar dari sini

Tak terasa sudah dua minggu aku terbangun dari tidur panjangku. Tak menyangka aku mendapatkan pengalaman seperti ini. Antara percaya atau tidak tapi ini semua nyata. Aku seperti terlahir baru, seperti bayi yang baru lahir. Baru melihat dunia yang sebetulnay sudah aku arungi selama 20 tahun. Keajaiban yang begitu menyedot hati ini. Semua merasa bersyukur aku bisa bersama mereka lagi. Orang-orang yang aku sayangi. Aku seperti diingatkan untuk hidup lebih baik lagi. Aku diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bisa menghirup udara dan sepantasnya aku harus banyak bersyukur. Dan aku harus selalu eling untuk hidup lebih baik lagi. Entah bagaimana kalau keajaiban ini tak ada, mungkin aku sudah menyatu dengan tanah. Dan orang-oarng yang aku sayangi akan menangis di dekat pusaraku. Dan aku akan berpisah dengan mereka. Tapi ini tak terjadi. Mukjijat terjadi tepat di hari ulang tahunku.

 

Sudah sejak lama aku merasa hidupku seperti hancur. Saat aku tahu mas Rangga sudah mulai menjauh dariku. Aku sangat berharap mas Rangga adalah jodohku, tapi takdir berkata lain. Mas Rangga memilih untuk pergi dari kehidupanku.bukan karena tak saling mencintai lagi tapi keadaan yang sulit untuk bisa dilalui. Lebih baik berpisah. Adatlah yang memisahkan . semua gara-gara ibunya Rangga sangat mempercayai adat. Dan aku tak bisa bersatu dengan mas Rangga. Mas Rangga memilih untuk pergi karena dia tak bisa menyakiti perasaan ibunya. Dan aku hanya bisa menangisi kepergiannya. Cintaku hancur. Aku merasa mas Rangga tak mau berjuang demi cinta. Sungguh aku kecewa berat perasaanku menjadi satu antara sakit hati dan kecewa dan semua itu menumpuk jadi satu. Aku jadi pribadi yang diam. Lebih suka mengurung diri di kamar. Mudah emosi. Semua berusaha untuk menghiburku dan membangkitkan semangat hidupku . Tapi semua sia-sia saja. Seperti saat itu mama, merangkul dengan tangisan.

            “Sudahlah Ratih, kembali hidup normal, masih banyak laki-laki di luar sana dan kamu tahu sendiri juga kan, kalau Budi juga menyukaimu,”tukas mama. Aku hanya mneggelengkan kepala. Mama hanya merangkulku lama sekali. Kekuatanku akhrinya runtuh . Aku ditemukan pingsan dalam kamarku. Aku dilarikan ke rumah sakit. Selang-selang banyak menempel di tubuhku. Aku terbaring lemah. Diriku sendiri tak mampu untuk bertahan , sudah hilang harapan.

 

Sampai suatu saat tubuhku terasa lemas sekali dan aku seperti melayang-layang . Aku bisa melihat tubuhku berbaring di kasur rumah sakit. Aku melayang-layang dan sekarang sudah berada di kamar mama. Mama sedang solat , begitu khusu  dan terdengar doanya, doa untuk kesembuahanku. Ada tangis di sela-sela doanya. Aku mendekati mama dan berusaha menenagkannya tapi aku tak bisa menyentuhnya. Tiba-tiba saja aku ditarik seseorang yang aku sendiri tak jelas wajahnya. Aku dibawa ke tempat yang sangat indah sekali. Orang-orang di sana sangat ramah sekali. Aku dibawa ke banyak tempat yang indah, aku mulai merasa betah . Tapi aku melihat mama melambaikan tangannya menyuruhku datang padanya. Mama berteriak-teriak meamnggil diriku. Aku pura-pura tak melihat, aku tak mau menderita lagi. Di sini aku merasa nyaman dan tenang. Tapi lambaian tangan mama terus terlihat, air mata mama seperti berkilau membuat aku trenyuh dan mendekati arah lambaian tangannya.

            “Kemarilah, nak, jangan tinggalkan mama. Mama masih butuh kamu.”

            “Tapi buat apa aku ke sana mama, aku sudah kehilangan cinta. Aku tak mungkin bisa bahagia.” Mama menatapku .

            “Ratih, masih banyak cinta di sini. Bukan hanya dari laki-laki saja. Bagaimana dengan anak-anak didikmu? Mereka begitu sayang padamu. Mereka sering menanyakan dirimu ,Ratih,”tukas  mama.

            “Datanglah pada anak-anak itu. Yakin, mereka rindu padamu,”tukas mama lagi. Aku terdiam. Tapi bayang-bayang anak-anak yang selalu membuatku aku tersenyum, sekelebat muncul. Aku melayang datang di kelas dimana anak-anak sedang belajar. Mereka sedang meributkan dirinya.

            “Kapan bu Ratih sembuh ya, aku sudah rindu.”

            “Iya, bu Ratih selalu sayang pada kita,”tukas salah satu anak-anak. Tak terasa air mataku jatuh. Betapa anak-anak itu merindukan diriku. Mengapa aku tak tahu kalau cinta anak-anak itu tulus padaku. Kenapa aku harus meninggalkan mereka?

 

Aku beralih dari tempat indah itu. Lambaian mama begitu kentara dan aku masuk kembali ke dalam tubuhku. Dan aku membuka mataku. Di depan ada mama yang sedang memegang tanganku.

            “Ratih, kau sadar, alhamdulillah.” Mama memelukku erat dan aku tak kuasa untuk ikut menangis juga. Aku telah diberi kesempatan untuk hidup lagi. Dan aku tak akan menyia-nyiakan hidupku. Dan aku tersadar kalau ini hari ulang tahunku. Ulang tahun , hidup baru.

  

Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam Lomba Blog Menulis Fiksi “Ulang Tahun” yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Semarang Gandjel Rel" 

 


 

2 Gemuruh Suara Hujan

Sabtu, 16 Januari 2021

 


Gambar dari sini

Berjuta air sudah turun bersama derasnya air

Tapi entah mengapa hati ini masih bertanya-tanya

Suaramu itu seperti menusuk-nusuk hati ini

Entah mengapa saat musim hujan datang lagi

Tak seindah dahulu

 

Masih terkenang denganmu’

Saat hujan turun kau nyatakan cintamu untuk

Kau genggam jemari tangan

Itu seperti terasa getar-getar yang menjalar di seluruh tubuh

Sangat membahagiakan

 

Tapi kini semua hilang dengan derasnya hujan

Hujan yang kini menakutkan bagiku

Aku sudah berusaha memeluk cinta

Tapi kau lebih memilih pergi

Dan itu menyesakan dada

 

Kini suara hujan begitu menyakitkan’

Ruang-ruang sepi menemani

Hatiku mulai terusik

Dan biarlah hati ini terus merapuh dibasuh oleh air hujan

Sampai rasa sakit ini hilang

 

Cirebon, 17 Januari 2021

2 Tunas Yang Bersemi

Sabtu, 09 Januari 2021

 


Aku berdiri di hutan mangrove yang terlihat begitu rimbun di pesisir pantai. Aku tak menyangka semua benih-benih mangrove ini bisa tumbuh dengan subur walau awalnya sangat sulit sekali untuk bisa menanam mangrove Kupandang pesisir pantai yang menghijau oleh mangrove dan sejauh memandang luas ke hamparan birunya laut. Mentari bersinar cerah saat burung-burung camar melayang rendah . Sungguh indah pesona alam pantai yang terbentang seluas aku memandangnya. Gelora dalam jiwa bersatu padu , terbuai oleh semilir angin pantai yang menghembus menembus pori-pori kulit membawa kesejukan udara . Ku tarik udara dan kuhembuskan perlahan, menikmati udara pantai yang begitu segar , sesegar hijaunya mangrove . Kutelusuri lagi pantai sambil  kuamati apakah ada pohon mangrove yang rusak . Tapi sejauh ini semua baik-baik saja.

            “Pagi, bu Indah,” sapa mak Nilem menyapaku .

            “Pagi, lagi ambil mangrove ya,” kataku.

            “Iya bu, saya pamit dulu,” kata mak Nilem. Kupandangi lagi punggung mak Nilem, sambil tersnyum, jerih payahnya di desa psisir pantai ini sudah membuahkan hasil yang menguntungkan, tak terasa tujuh tahun aku sudah ada di sini dan bersama-sama penduduk menanam dan memanfaatkan mangrove.

 

            Pesisir pantai ini membuatku kembali lagi setelah aku melaksanakan kuliah kerja nyata di desa miskin yang penghidupannya sebagian besar dari nelayan.  Desa ini seperti sebuah magnet tersendiri bagiku, pantainya indah dengan pasir putihnya, tapi di sisi lain banyak tepi pantai yang terabrasi ombak dan sering menyebabkan banjir rob yang menyerang desa tepi pantai ini. Rutinitas banjir rob selalu datang setiap tahun dan warga tak mampu berbuat sesuatu , selain menggantungkan nasib mereka pada pemerintah setempat. Tak ada pohon mangrove sebagai barier pertama di pantai sama sekali tak ada. Belum lagi nasib warga desa yang miskin , banyak anak putus sekolah dan hanya berkeliaran di pantai dan kadang-kadang membantu ayah mereka ke laut.. Untuk itulah aku kemari, walau banyak teman bahkan keluarga menyuruhku untuk mengurungkan niatku berbakti di desa ini.

            “Apa yang kau cari di sana Indah, kamu gak akan dapat apa-apa di sana,” kata ibuku.

            “Pastinya ada bu, walau Indah tidak tahu apa itu,” kataku diplomatis. Kekerasan hatiku membuat keluargaku akhirnya menyerah dan menyerahkan segalanya sebagai tanggung jawabku sepenuhnya. Aku menyanggupi , walau sebetulnya aku sendiri  masih tak tahu apakah aku bakal mampu bertahan di sini atau tidak.

 

            Aku mencari tempat tinggal di desa di pesisir pantai , kebetulan ada tokek perahu yang mau menyewakan kamar di rumahnya untuk tempat tinggalku.. Aku mulai mencari penduduk yang mau diajak kerjasama, rumah ke rumah aku datangi tapi sungguh hampir aku menyerah karena tak ada satupun yang mau ikut aku untuk menanam mangrove di tepi pantai. Sampai aku  di rumah mak Nilem, dan mak Nilemlah yang terlihat antusias dan ingin membantuku. Memang sih aku melihat mak Nilem tampak lebih cerdas dibandingkan dengan ibu-ibu lainnya. Tapi , tak mengapa  karena mulai dengan sesuatu yang baru, perlu ada bukti dulu baru orang akan perrcaya.

            “Bu , Indah apa sebaiknya ibu pindah ke tempat lain,” kata mak Nilem

            “Mengapa?’ tanyaku.

            “Mungkin saja , penduduk di sini curiga pada ibu karena tinggal di tokek,” katanya lagi.

            “Memangnya kenapa mereka harus curiga denganku?” tanyaku.

            “Ya, karena mereka kurang suka dengan tokek yang banyak menindas penduduk di sini,” kata mak Nilem. Aku terdiam sejenak, tapi bagaimana lagi tidak ada tempat lagi bagiku untuk bisa sekedar beristirahat.

 

            Hari demi hari bersama mak Nilem , mak Zubaedah dan mak Narti, aku bersam-sama menanam bibit mangrove.  Memulai dengan memasang pasak-pasak kayu yang dibenamkan di lumpur pantai dan baru bibit di tanam dan tangkainya diikatkan ke pasak kayu dengan tali rafia. Banyak cibiran dari penduduk setempat atas usaha yang aku lakukan , tapi aku tak ambil pusing, biar mereka tahu buktinya sendiri kelak, Sudah hampir sepanjang pantai yang ditaman bibit mangrove, setiap hari aku bergantian dengan mak Nilem dan temannya menjaga bibit itu agar dapat tumbuh. Sampai suatu saat mak Zubedah datang ke tempatku dengan berita yang sangat mengejutkan.

            “Bu Indah, sebagain mangrove dirusak orang,” katanya . Aku langsung bergegas ke tempat kejadian. Aku terhenyak saat melihat begitu banyak bibit mangrove yang hilang dan dirusak orang.

            “Siapa yang melakukannya?” tanyaku pada mak Zubaedah.

            “Entahlah bu, harus diusut,” katanya lagi. Aku begitu marah sekali, karena tenaga dan usaha ini bakal sia-sia . Aku mulai menggertak penduduk, kalau aku akan melaporkan kejadian ini dan siapa yang melakukannya akan dihukum seberat-beratnya.

            “Sabar, bu” kata mak Nilem.

            “Gak bisa mak, ini sudah kriminal , perlu dilaporkan,” kataku marah. Mak Narti bercerita kalau beberapa penduduk di sini di suruh merusak mangrove  oleh tokek . Astaga , aku terkejut, padahal selama aku tinggal di pak Jaelani, tidak tampak dia tidak setuju dengan apa yang aku lakukan.

            “Bu, lebih baik ibu pindah saja dari rumah tokek,” kata mak Nilem,” kalau gak keberatan tinggal di tempat saya, walau harus  bersempit-sempitan.” Aku mengangguk saja, pasrah.

 

            Aku mulai  kembali menanam bibit mangrove . Kegigihan aku bersama mak Nilem ternyata berbuah manis. Tanaman mangrove mulai bertumbuh dan pantai mulai tertutup dengan pohon mangrove  yang mulai berakar kuat di lumpur –lumpur dan mulai bisa jadi barier /penahan ombak laut. Aku mulai mencari dana untuk membuat jalan di antara pohon mangrove sehingga memudahkan pemantauan hutan mangrove, dan jalan itu untuk sarana wisata edukasi yang akan aku buka bagi umum. Bekerja sama dengan dinas lingkungan hidup  setempat dan komunitas hijau aku bisa mewujudkan jalan setapak di sekitar hutan mangrove . Dekat hutan mangrove juga kubangun bangunan sederhana dari bambu untuk tempat pertemuan dan belajar bagi orang yang mau belajar tentang mangrove . Terbentulah Hutan Wisata Mangrove.  Satu usahaku yang mulai nampak di depan mata.. Sampai suatu saat ada penduduk pak Dudung yang melaporkan kalau waktu dia mau melaut dia melihat ada orang yang mengendap-endap di hutan mangrove. Waktu dia melihat  orang itu menuangkan bahan cairan ke hutan mangrove.  Pak Dudung melaporkan dan membawa orang itu ke tempat  mak Nilem.

            “Ada apa pak Dudung, malam-malam “, kata mak Nilem. Pak Dudung membawa orang yang tadi menuangkan cairan ke mangrove. Aku memandang orang itu, dan rasanya aku sering melihat orang ini , tapi dimana aku lupa.

            “Apa yang kamu tuangkan di hutan?” tanyaku memdesak.

            “Bensin,” katanya lagi.

            “Jadi kalau gak ketahuan, hutan mau dibakar?” tanyaku berang . Orang itu mengangguk.

            “Apa kamu disuruh tokek?” tanya mak Nilem. Orang itu mengangguk lagi. Aku baru sadar kalau orang itu pegawainya pak Jaelani, si tokek itu, pantas aku pernah lihat orang ini.. Karena aku tak mau ribut dengan pak Jaelani , makanya aku melepaskan orang tersebut dengan syarat , jangan pernah mengulang lagi walau disuruh pak Jaelani.

 

            Aku mulai memberdayakan wanita-wanita di desa itu dengan manfaatkan hutan mangrove. Mulai membuat sirup dari buah magrove dan dikemas dii botol-borol kecil dan besar dan diberi label Indah sesuai dengan namaku , selain itu juga ada produk kerupuk dan dodol dengan  label yang sama. Mulailah dibentuk kelompok usaha perempun yang diberi nama kelompok wanita Nilem sesuai dengan mak Nilem yang pertama berjuang bersamaku. Masing-masing penduduk menyetorkan hasil pembuatan kerupuk, dodol dan sirup ke kelompok wanita untuk disalurkan dan dijual ke kota-kota di sekitar sana  bahkan sudah ada yang memesan dari luar pulau Jawa. Sungguh perkembangan yang tak ku sangka akan semaju ini.

 

            Kini ku berdiri di tepian pantai dan kupandang sekali lagi hijaunya hutan mangrove yang dulu sekali harus kuperjuangkan dengan pengorbanan lahir dan batin . Kini ku bisa bernafas lega saat kulihat masarakat sudah hidup dengan lebih baik lagi. Kulihat pancaran asa yang ada di dalam tatapan mata mereka bagai bulir –bulir benih yang akan tumbuh menjadi kenyataan. Tunas itu sudah mulai bersemi di hati mereka........