Masih
terlihat garis-garis tetesan air hujan di jendela kamarku. Tampak di luar sana
hujan baru saja mulai. Masih rintik-rintik dan terdengar seperti suara
tik...tok....tik di atas genting. Berirama seperti ketukan dalam lagu. Begitu
membuat hatiku turut merasakan irama rintik hujan sampai aku merasakan ada rasa
perih di hati. Yudi. Anak kecil yang aku lihat di sanggar anak-anak yatim
minggu lalu. Aku menegok kembali ke luar jendela, ada bayang-bayang Yudi di
sana. Aku berdiri dan mendekat ke jendela ternyata tak ada Yudi di sana. Ah,
hanya ilusi belaka. Beberapa hari ini aku masih saja terpikirkan akan anak itu,
anak dengan tatapan kosong tanpa ekspresi hanya diam dan tangannya saja yang
bergerak menggambarkan sesuatu yang membuatku terkesiap . Bukan sejenak tapi
lama sekali, bahkan bulir –bulir air mata ini ikut menetes bersamaan aku
melihat gambar yang dia buat.
Waktu itu aku mendengar kalau ada
longsor di daerah Argasunya yang mematikan beberopa orang. Tertimbun reruntuhan
longsor yang tak memungkinkan untuk bisa meloloskan diri dari tanah yang
bergerak turun dengan cepat. Bahkan untuk melarikan diri sajapun , banyak
yang tak sanggup. Kejadian yang begitu
mendadak dan tiba-tiba membuat orang-orang terjerat dalam pusaran longsor
sampai mereka harus tertimbun . Banyak anak-anak yang akhirnya harus menjadi
yatim . Banyak air mata yang harus mereka teteskan untuk orang-orang yang
mereka cintai yang menjadi kepala keluarga bagi mereka. Kini mereka hanya
anak-anak dengan predikat yatim. Tak ada lagi yang orang yang bisa memberikan
mereka makanan dan hidup , ada yang timpang . Semua hilang dengan reruntuhan
lonsgor. Hanya tinggal sisa-sisa kesedihan dan lara yang tak siap mereka ucapkan. Bahkan air mata
merekapun sudah kering. Hanya ada luka yang ada di hati mereka, tapi seberapa
luka mereka tak ada satupun yang tahu. hanya mereka yang tahu. Seberapa
sakitkah mereka ditinggal oleh orang yang dikasihinya????
Sampai aku berkenalan dengan Yudi di
sanggar anak yatim. Ayahnya yang juga termasuk korban dari tragedi longsor. Aku
tahu cerita ini begitu membuat trauma bagi Yudi. Dia diam dalam bisu. Tatapan
nanar yang selalu menemani dirinya. Adakah luka yang besar yang harus dia
tanggung??? Beberapa kali aku
menatapnya. Beberapa kali aku melihat tatapan kosong dari matanya.
“Kamu gambar apa?”tanyaku. Aku
meihat gambarnya. Ada rasa perih di hatiku. Yudi menggambarkan peristiwa
longsor yang menimpa ayahnya. Ada orang yang terlihat terkubur di sana.
“Ini siapa?”
“Bapak,”tukasnya lemah dan kepalanya
menunduk dalam-dalam. Aku sentuh bahunya,ada isak perlahan darinya. Dia mencoba
menahan tangisnya tapi tetap saja suara isakan itu terdengar di telingaku. Kali lain Yudi menggambar kedua orangtuanya
yang bergandengan tangan dan ada dia, adik-adiknya. Dan gambar bapaknya dia
beri coretan di dadanya.
“Mengapa dicoret?” tanyaku.
“Bapak, sudah meninggal , dia sudah
pergi. Aku tak punya bapak,”keluhnya. Kembali dia terisak perlahan. Aku mencoba
menghiburnya. Tapi tanganku ditepisnya. Aku tersentak kaget.
“Ada apa?” aku bertanya padanya, aku
hanya ingin menghibur, aku hanya ingin agar dia tak menangis dan mencoba
menguatkannya. Yudi berdiri dan begitu
saja pulang ke rumahnya . Beberapa anak yang lain menatapnya.
“Yudi,”teriakku. Aku mengejarnya
tapi panggilan aku tak digubrisnya.
“Biarkan saja dulu. Mungkin dia
butuh ruang sendiri untuk merenung dan
berbagi kesedihan dengan dirinya sendiri,”tukas mbak Asih. Aku mengganguk.
Rasanya aku ingin merengkuhnya. Dia sudah kehilangan ayahnya , ayah yang ia
cintai. Dia sudah kehilangan orang tempatnya bertumpu untuk kehidupan
selanjunya. Yudi masih remaja. Ibunya tak bekerja. Bagaimana dengan hidupnya.
Mungkin begitulah isi hatinya. Dia tak tahu apa yang harus dia perbuat. Aku
selalu menemukan Yudi dengan kesedihannya saat belajar di sanggar anak yatim .
Kadang aku harus meluruhkan air mata saat mataku bersitatap dengannya. Ingin
aku peluk dirinya. Ada apa gerangan dengan dia??? Teman yang lain yang senasib
dengannya, masih bisa melupakan sedikit saat berkumpul di sana tapi Yudi tak
bisa. Pekakah hatinya????
Sampai suatu saat , saat Yudi ada di
ruang belajar. Tiba-tiba Yudi memperlihatkan hasil gambarnya dan menyeringai .
Masih dengan tatapan kosong.
“Bapakku sudah mati. Bapak tertimbun
longsor. Terkurung dalam tanah. Dia gak bisa nafas. Gak bisa bangun., Dia terjepit.
Pasti sakit.”jelasnya. Masih menggambar tentang peristiwa longsor. Ternyata
Yudi tak bisa menghilangkan trauma kehilangan ayahnya, karena dia melihat
sendiri kejadian itu. Yudi melihatnya sendiri. Ayahnya terkubur tanah berton-ton . Yudi terdiam. Sepi . Tak
ada satupun yang berbicara. Beberapa meneteskan air mata.
“Aku juga, bapakku kena
longsor,”tukas Dede.
“Sama , aku juga.”tukas Leha
“Aku juga.” Beberapa anak yang
ayahnya terkena lonsgor, satu-sau menyebutkan kalau mereka juga menderita karena
kehilangan ayah mereka. Dan di luar sana
rintik hujan mulai turun perlahan. Terdengar suara ti...tok...tik yang membuat isakan
menjadi mencekam . Aku hanya bisa menatap mereka dengan pandangan sedih dan tak
tahu apa yang harus aku katakan. Masing-masing berbicara pada hati nuraninya.
Bicara tentang kesedihan yang sulit untuk dilupakan.
Sampai suatu hari aku melihat Yudi
masih dengan tatapan kosong, tiba-tiba menghampiriku.
“Aku gak suka hujan. Hujan membuat
tanah longsor. Hujan sudah membuat bapak pergi dan tak akan pernah kembali.
Bolehkan aku membenci hujan?” tanyanya. Aku menghela nafas.
“Kematian adalah takdir Allah. Gak
boleh menyalahkan siapa-siapa bahkan hujan sekalipun. Mungkin buatmu hujan
menjadi hal yang buruk, tapi bagi orang lain hujan adalah berkah.” Aku memegang
bahunya kencang-kencang. Dan menatap manik matanya. Ada sedikit sinar walau
kembali meredup. Aku mencoba menerangkan kalau hujan bisa menjadi berkah bagi
petani, berkah bagi bendungan yang mulai
surut airnya. Berkah bagi bumi yang butuh pasokan air . Manusia butuh kesegaran
yang diberikan oleh hujan.
“Jangan menyalahkan siapa-siapa ya.
Mungkin suatu saat kau akan mengerti, tapi percayalah semua ini takdir yang
sudah dituliskan oleh sang Penguasa alam, Allah,”tukasku perlahan. Ada binar di
matanya walau sedikit.. Aku rengkuh dirinya perlahan dalam dekapanku.
“Aku rindu bapak,”tukasnya.
“Selalu kirim doa buatnya,”tukasku.
Masih dalam perlukanku, Yudi terisak, tapi aku yakin dia mulai mengerti. Aku
percaya dia akan mengirim doa-doa untuk ayahnya. Saat dia menggambar lagi, dia
menggambar anak yang sedang berdoa d an
berzikir . Aku melihatnya.
“Ini aku mendoakan bapak, mengirim
doa untuknya. Biar bapak baik-baik saja di sana dan diterima di
sisiNya,”tukasnya sambil menatapku dengan manik matanya yang mulai
terlihat ada sinarnya, tak kosong
seperti dulu lagi. Dia masih terluka. Yudi butuh kasih sayang. Biarlah
kakak-kakak di sini bisa memberikan sedikit kasih sayang buat Yudi.
“Sinta,”tegur bunda di belakangku.
Aku begitu kaget sehingga terlonjak keras di depan jendela.
“Aduh bunda, bikin kaget
saja,”tukasku kesal.
“Habis dari tadi bunda lihat kamu
ngelamun saja di depan jendela.” Bunda menatapku , ada pertanyaan di matanya.
“Anak itu?” aku mengangguk. Aku
sudah menceritakan tentang Yudi pada bunda.
“Mengapa anak itu?”
“Dia baik-baik saja kok,dia sudah
mau bercerita dan sudah bisa tersenyum kembali. Tapi entah mengapa aku melihat
bayangan Yudi di jendela .Ada apa ya?”
Aku menatap kembali gerimis di luar sana. Aku masih ingat betapa Yudi
sangat membenci hujan , kala itu. gerimis yang terus membesar butiran hujannya
dan menjadi hujan yang lebat. Suara gemuruh begitu jelas di telingaku. Aku
membayangakn dulu ayahnya Yudi tertimpa longsoran saat hujan deras . Kini hujan
semakin deras. Tetesan hujan sudah tak terlihat lagi karena jendelaku sudah
dipenuhi air hujan. Aku mengusap jendela, di luar tampak gelap. Ah, akankah ada
lagi yang terjebak longsor dari tanah-tanah yang digali oleh penambang lagi???.
Walau sudah dilarang tapi karena perut yang harus diisi, masih saja orang-orang
menggali galian liar untuk bisa mendapakan sesuap nasi. Tak peduli hujan yang
mengguyur deras. Ada perasaan takut di hatiku. Mudah-mudahan tak ada korban
lagi . Hujan mulai bethenti, rintik –rintik hujan yang tertinggal .Tetesan air
hujan masih tampak di jendelaku walau sekarang sudah jelas untuk melihat
keluar. Suara ponselku terdengar. Mbak Asih.
“Ada longsor lagi di penambangan.
Ada yang jadi korban. Termasuk Yudi,”tukas mbak Asih. Aku terdiam tapi hanya
sejenak. Mendengar Yudi juga menjadi korban, aku tak bisa berbicara lagi. hanya
air mata yang mengalir perlahan.
Aku melihat jasad Yudi dimasukan
dalam liang kubur. Dia akan bertemu dengan ayahnya yang dia rindukan. Tapi
mengapa Yudi ada di tempat penambangan di sana???? Aku tak mengerti. Yudi tahu
kalau di sana bahaya tapi untuk apa dia di sana saat hujan lebat.
“Dia ikut menambang,”tukas mbak
Asih. Aku tak bisa lagi bicara. Kebutuhan hidupnya mengalahkan ketakutan Yudi
akan hujan dan longsor. Ah, Yudi, kamu sudah berkumpul kembali dengan ayahmu.
Kau bisa berpelukan di sana. Kau tak perlu mencoret dada ayahmu di gambarmu
kali ini.Ayahmu sudah bersamamu lagi. Selamat jalan Yudi.....Seperti tetesan air
hujan kau hidup....