6 Bukit Cinta

Rabu, 25 November 2015




 Gambar dari sini

          Sore itu masih sama dengan sore-sore terdahalu, aku  berada di atas bukit cinta. Bukit kecil yang letaknya tak jauh dari rumahku di Bandung. Hampir setiap sore aku dan Kenzi selalu duduk di atas bukit untuk melihat senja. Senja di bukit cinta memang indah. Perubahan warna dari kuning, jingga dan perlahan memerah dan sedikit demi sedikit menghitam dan  menggelap. Tiada kata yang bisa terucap dari keindahan saat senja tiba.Keagungan Allah yang tiada duanya.
            “Lihat burung camar yang terbang , sepertinya sangat dekat dengan matahari,”teriak Kenzi. Aku melihat apa yang ditunjuk Kenzi. Burung camar tampak dengan latar belakang matahari yang mulai menjingga.
            “Keren ya.” Kenzi mengangguk setuju. Begitulah aku dan Kenzi tak pernah bosan melihat senja . Mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah tak pernah lupa untuk melihat momen senja di bukit cinta. Berlari-larian, menikmati senja dengan bernyanyi atau tiduran di atas rumput sambil memandang langit. Rasanya hanya kegembiraan milik aku dan Kenzi berdua. Banyak yang bilang aku dan Kenzi pacaran tapi aku selalu menganggapnya hanya sebatas kakak yang berusaha untuk selalu melindungiku. Aku menikmati perhatian yang diberikan Kenzi. Selalu indah dan gembira bersama Kenzi.

            “Akhirnya harus juga meninggalkan bukit cinta ini,”keluhku. Rasanya aku tak mampu untuk meninggalkan bukit cinta ini. Sudah merupakan bagian dari jiwaku. Kenzi  pindah ke Australia mengikuti papanya yang sekolah lagi di sana. Sedangkan akupun  pindah ke Surabaya mengikuti papa yang dipindahkan ke kantor cabang Surabaya.
            “Entah kapan bisa ke mari lagi,”gumam Kenzi perlahan.Hanya sayup terdengar seperti bisikan yang hilang tertiup angin. Entah mengapa air mata menetes perlahan. Sungguh aku tak mau meninggalkan tempat yang punya banyak kesan . Kenzi memandangku dan terdengar suara helaan nafas yang berat.
            “Kita janjian yuk. Untuk datang 10 tahun lagi di sini. Di bukit cinta,”tukas Kenzi.
            “Untuk apa?” Aku memandang heran padanya. Kenzi mengangkat bahunya . Mulai digeleng-gelengkan kepalanya.
            “Obat kangen kali,”tukasnya  Ada sepasang mata yang begitu merindu untuk tak melepaskanku. Aku tahu itu. Kenzi menyukaiku . Tapi untuk saat ini aku masih suka hanya bersahabat saja. Saat senja terakhir di sana, perasaanku begitu kelu. Saat harus berpisah dengan Kenzi saat langit mulai menjingga. Lambaian tangan Kenzi semakin jauh dan menghilang dari pandangan mataku. Aku hanya  menangis dalam sepiku.Aku melangkahkan kakiku sambil menunduk pilu.
            “Selamat tinggal Kenzi. Suatu waktu mungkin kita akan berjumpa lagi. Suatu saat,”gumamku perlahan.

            Aku menatap bukit cinta. Masih seperti dulu. Masih sama. Masih dengan senja yang indah . Tampak langit mulai berubah warna. Angin masih menyapa pipiku. Aku mulai merapatkan mantelku. Udara Bandung kali ini agak dingin. Sudah hampir 20 tahun  aku meninggalkan tempat ini. Janji 10 tahun untuk bertemu lagi aku lupakan begitu saja. Mungkin Kenzi marah padaku karena aku tak datang. Mungkin dia akan menghilangkan namaku dari persahabatannya. Tapi semenjak itu aku tak pernah bisa lagi menghubungi Kenzi. Dia menghilang bak ditelan bumi. Aku yakin Kenzi marah padaku.
            “Sudah malam. Pulang,” tegur mas Didit merangkul pundakku
            “Iya, tapi lihatlah senja itu selalu mempesona,”tukasku sambil menunjuk langit. Ah, maafkan aku Kenzi. Maafkan aku. Persahabatan yang lama terjalin kini putus sudah. Aku menyesal Sungguh, maafkan aku.......


           

4 Kalau Aku Boleh Meminta Cintailah Aku

Rabu, 18 November 2015




Gambar dari sini 
 
          Aku masih ingat saat aku masih berupa janin yang terapung-apung di cairan perut ibuku, aku sudah merasakan ada sesuatu yang tak tulus menerimaku. Sering aku terbentur-bentur saat perut ibuku seperti digoncang-goncang. Seperti aku merasakan gempa yang besar. Aku terombang-ambing begitu dasyat di bulatan penuh air ini. Kadang terasa sakit di tubuhku yang masih berkerut. Ah, ada apa dengan ibuku??? Kenapa dia  membentur-benturkan tubuhku sedemikian rupa ,membuat aku tak nyaman. Aku ingat saat usiaku 5 bulan aku kesakitan sekali. Entah kenapa. Tapi aku mendengar suara-suara ribut di luar sana , ibuku dibawa ke rumah sakit.  Terdengar suara lirih di luar sana.
            “Kenapa kau lakukan Devi. Ini berbahaya bagi kamu dan anakmu?”
            “Aku gak ingin anak ini bu. Gak ingin. Pernikahanku sudah salah bu.”
            “Tapi ini semua demi kebaikanmu Devi. Apa kamu bisa hidup dengan lelaki yang hanya kerja sebagai karyawan biasa????. Ingat itu Devi. Johan adalah pilihan terbaik untukmu. Lihat saja  rumah, mobil dan pekerjaan yang mapan. Apalagi, kamu tak akan kekurangan.”
            “Ah, ibu, itu lagi yang diomongin. Aku tak cinta dengannya bu.”
            “Cinta??? Cinta saja tak cukup Dev. Pokoknya ibu gak mau berdebat. Jangan sekali-kali lagi kau mau menggugurkan kandunganmu.” Ah, jadinya ibuku ingin menggugurkan aku??? Ada rasa perih di hatiku. Begitu perih. Aku anak yang tak diharapkan , sejak dini aku sudah terasingkan oleh ibuku sendiri. Suara lirih diluar kini tak aku dengarkan lagi, aku tak mau sakit hati. Aku harus membiasakan diriku tak disayang ibuku mulai dari sekarang. Aku anak yang tak diharapkan!!!!!

            Pagi buta sebelum matahari muncul aku sudah berteriak keras menandakan aku terlahir di dunia ini. Perasaanku kosong saat itu. Benar saja walau aku ditaruh di dada ibuku, tak ada elusan lembut dari jemarinya, hanya tatapan marah dari bola matanya. Aku mulai belajar untuk menyadari kalau aku tak diinginkan oleh ibuku. Belajar dari dulu saat aku masih di perutnya. Hari demi hari semakin aku rasakan betapa ibuku tak mencintaiku. Aku lebih banyak digendong oleh pengasuhku mbok Jar. Dan saat aku lapar aku hanya diberikan dot dengan susu formula. Padahal aku ingin sekali minum susu dari puting susu ibuku. Ingin merasakan kelembutan kulit ibuku. Tapi harapan itu tak pernah ada. Hanya mimpi!!!! Terus aku semakin menjadi anaknya mbok Jar. Kemanapun aku selalu diajak mbok Jar. Akhirnya aku merasa nyaman dengan mbok Jar. Suara tembangnya malam hari membuatku tertidur lelap. Elusan di kepalaku membuatku tenang. Kini aku mulai mencintai mbok Jar. Dia aku anggap ibuku. Mbok Jar penuh cinta  Ah, biarlah waktu yang akan membuktikannya...



            Semakin aku besar aku semakin terasing dengan ibuku. Ibuku dengan dunianya sendiri. Aku dengan mbok Jar. Aku tahu ibuku tak mencintai ayahku. Ibuku dipaksa menikah oleh nenek karena ayahku punya materi yang cukup banyak . Itu kata mbok Jar.
            “Suatu saat nanti kamu cari pasangan yang bisa menjamin hidupmu,”tukas nenek. Aku hanya mengangguk saja. Saat itu aku masih kecil dan belum mengerti apa yang dimaksud nenekku.

            Kini aku mulai mengerti . Saat aku sudah dewasa setelah mengenal cinta. Setelah aku jatuh cinta dengan mas Sony. Betapa ruang hatiku penuh dengan banyak kebahagiaan. Perhatainnya, perlindungannya begitu membuatku berbunga-bunga. Aku mearsakan cinta yang tulus dari Sony.
            “Kamu mencintai pacarmu?” tanya ibuku tiba-tiba. Baru pertama kali ini dalam hidupku ibuku bertanya padaku. Aku menatapnya heran.
            “Ya, bu. Mas Sony pilihanku. Ibu setuju kan?” tanyaku. Ibuku memalingkan mukanya. Tiba-tiba saja jantungku berdebar kencang. Bagaimana kalau ibu gak setuju dengan pilihanku???? Apa nasibku akan seperti ibuku???????
            “Kenapa bu. Ibu gak setuju?” tanyaku mendesaknya. Ibuku masih terdiam dan tak berucap sepatah katapun. Aku mulai mendesaknya untuk menjawab pertanyaanku.
            “Kalau ibu gak setuju, aku akan tetap menikah dengannya. Aku tak mau seperti ibu,”tukasku cepat. Ibu tersentak kaget dan menatapku panik. Ditatapnya mukaku lama sekali.
            “Darimana kau tahu?”  Tentu saja  aku tahu, mbok Jar yang menceriatakan senmuanya. Semua cerita tentang keluarga ibuku dan ayahku. Aku besar karena cinta dari mbok Jar bukan dari ayah ibuku. Ayah sibuk dengan kerjanya, ibuku sibuk dengan dirinya sendiri. Mana mereka peduli dengan diriku. Aku menatap ibuku yang tampak tua dari umurnya. Ibuku tak bahagia dengan hidupnya. Hanya demi nenek . Hanya demi status orang terpandang dan terkaya. Ah, aku tak beharap sama nasibku dengan ibuku. Aku tahu mas Sony bukan orang yang  kaya tapi aku yakin mas Sony mampu membahagiakan aku. Membawa keluargaku kelak menjadi keluarga yang sakinah. Setelah lama terdiam ibu menatapku dengan penuh kasih. Baru pertama kali ini aku melihat pancaran kasih dalam manik matanya. Tiba-tiba saja ada perasaan hangat yang menjalar di tubuhku. Aku rindu pelukan ibu.
            “Maafkan ibu,” tukasnya sambil merangkulku dalam pelukannya. Aku menangis dalam pelukannya. Kerinduan yang lama aku pendam kini pecah dalam balutan air mata yang menetes perlahan dari kedua pipiku. Begitu lama pelukan ibu. Aku bahagia . Merasakan kasih seoarang ibu setelah bertahun-tahun aku menunggu cinta dari ibu. Akhirnya ibu melepaskan pelukannya dan menangguk dengan senyumnya.
            “Ibu setuju. Kenalkan ibu dengan pacarmu. Kalau perlu minta pacarmu untuk melamarmu. Sudah berapa lama kamu pacaran??? Sudah waktunya kamu berumah tangga,”tukas ibuku. Aku terbelalak mendengar omongan ibuku.


            Semakin hari aku semakin merasakan kedekatan dengan ibuku. Aku menyadari ibuku salah tapi aku tahu ibuku tak memiliki cukup cinta untuk bisa mengarungi bahtera penikahannya. Dia hidup dalam sangkar emas. Tak ada cinta. Dan ibuku juga tak peduli dengan ayahku. Entah ayahku ada di mana bahkan saat tahu kalau ayah punya istri lagi, ibuku juga tak ambil peduli. Hatinya sudah mati!!!! Dan aku tahu ibu tak ingin itu terjadi pada diriku. Dia ingin aku bisa merasakan kebahagiaan dalam pernikahanku kelak.
            “Makasih bu.” Aku memeluknya lagi. Kini aku semakin dekat dengan ibuku. Setelah pulang kerja aku selalu duduk bersama ibuku untuk banyak bercerita tentang banyak hal. Seolah-olah ingin mengganti waktu yang banyak hilang sebelumnya. Ah, bahagia sedang menyapaku kini.

            Tapi ternyata seperti kilat yang menyambar , nenek dan ayah tak setuju dengan pilihanku. Ayahku memilihkan aku dengan pengusaha anak temannya. Katanya dia bakal jadi pengusaha sukses kelak yang menjamin hidupku akan bahagia. Aku diam seribu bahasa. Tak sanggup aku harus merasaakn hidup seperti ibuku.
            “Pokoknya aku gak setuju. Biarlah Sonia memilih pasangan sendiri. Ibu mau Sonia seperti diriku?” ibuku marah pada nenek.
            “Bukannya kamu bahagia?”
            “Bahagia?? Ibu lihat aku bahagia??? Ibu gak tahu gimana hatiku remuk dan berharap semua akan baik-baik saja tapi lihat suamiku punya istri lagi. Apa aku bahagia?” tanya ibuku bertubi-tubi pada nenek. Nenek tercengang . Tak disangkanya selama ini ibuku memendam banyak penderitaan Hanya saja ibuku tak mau memperlihatkannya. Ibuku tak ingin menyakiti perasaan nenek. Tapi sekarang ibuku tak mau peristiwanya terulang lagi padaku. Ibuku tak ingin.
            “Biarkanlah Sonia bahagia, bu. Aku tak ingin Sonia mengalami apa yang aku alami bu. Tolong bu. Jangan paksa Sonia,”tangis ibuku memohon pada nenek. Nenek terdiam dan aku melihatnya meneteskan air mata perlahan. Entah apa yang ada di benaknya kini.  Nenek luluh hatinya, tapi tidak dengan ayah,. Dia tetap ingin aku menikah dengan anak temannya.Saat dia bicara padaku aku seperti bicara dengan orang asing. Sungguh lucu. Masih punya ikatan tali darah tapi layaknya orang lain. Bisa-bisanya ia memaksakan kehendaknya padaku. Selama ini dia kemana saja??? Apa dia ada saat aku sakit??? Apa dia ada saat aku sedih??? Apa dia ada saat aku ingin merasakann pelukan ayah???   Tak ada sama sekali.

            Tiba-tiba saja rumahku seperti bara yang semakin panas. Perdebatan antara ibu dan ayah semakin runcing. Aku hanya bisa menonton mereka berdebat. Kadang rasa sedih menimpa dinding hatiku. Tapi ini sudah biasa. Sudah biasa sendiri tanpa mereka. Sudah biasa tak dianggap anak oleh mereka. Kini saat aku menentukan pilihan untuk hidupku, tiba-tiba saja mereka berebut bertengkar untuk hidupku. Lucu sekali. Mereka tampak seperti badut!!!!!.  Ah, sampai kapan ini berakhir???/ Kalau saja boleh aku minta, aku ingin hidupku noraml seperti layaknya orang lain. Tidak seperti ini. Kalau saja boleh tapi apa daya semua itu hanya impian.
            “Pokoknya Sonia harus dengan Pram,”teriak ayah.
            “Gak dia sudah punya pilhannya, kalau tak setuju. Biar Sonia memilih pilihannya,”tukas ibu marah. Aku memandang kedua orangtuaku. Mereka tampak seperti orang lain yang tak saling mencintai. Dua orang yang asing satu sama lain. Aku tak sudi hidup seperti mereka.
            “Boleh , Sonia pilih pacarnya tapi aku tak akan memberikan warisan padanya.”ayah marah. Tiab-tiba ayah menatapku tajam. Aku mengehela nafas dan mulai bicara  padanya.
            “Ayah, aku punya pilihan sendiri. Kalaupun aku tak mendapatkan warisanku, aku tak peduli. Selama ini aku selalu sendiri. Untungnyaa ada mbok Jar yang menyayangiku.Aku tak peduli dengan harta ayah. Aku hanya ingin kasih dari kalian berdua untukku. Selama ini aku tak pernah mendapatkannya. Aku lihat mas Sony bisa memberikan kasih untukku. Aku berharap aku bisa bahagia dengannya. Aku tak ingin seperti kalian,”tukasku  peralahan. Aku pandangi mereka. Mereka terdiam lama . Entahh apa yang ada dalam benak mereka. Aku berjalan perlahan meninggalkan mereka. Kalau saja aku boleh meminta  aku ingin mendapatkan kasih sayang dari mereka, ayah ibuku. Kalau saja boleh aku miminta cintailah aku.....


16 Katak-Katakpun Ikut Bernyanyi

Jumat, 13 November 2015



Gambar dari sini

          Malam selalu sunyi di kediamanku. Perumahan baru yang hanya dihuni beberapa kepala keluarga. Masih banyak sawah di belakang perumahan. Saat malam tiba sunyi selalu menemani tidurku. Kadang sunyi membuat suasana hati tak menentu. Apalagi saat duka menyapa , kesunyian membuat hati semakin merindu adanya sedikit saja bunyi yang akan menemaniku malam ini agar tidurku lelap. Tapi itu hanya asa belaka...

            Kini di saat hujan mulai turun di bulan November, aku mulai berseri-seri .Tak akan ada lagi sunyi yang akan menemaniku . Katak-katak di luar sana begitu bergembira saat hujan turun. Nyanyiannya begitu nyaring terdengar. Hatiku turut bergembira bersamanya. Kadang aku singkap jendela kamarku. Tampak katak-katak itu berlompat-lompatan di atas air yang tergenang. Begitu ceria. Aku ikut tertawa, ikut merasakan kegembiraan yang disebarkan oleh katak-katak itu. Jangan pergi hujan, temani aku. Aku masih ingin melihat katak-katak itu bernyanyi sepanjang malam. Biar menemaniku tidur.



https://keinatralala.wordpress.com/2015/11/06/keina-tralala-second-birthday-giveaway/

0 Seperti Tetesan Air Hujan

Rabu, 11 November 2015




Gambar di sini 
 
           Masih terlihat garis-garis tetesan air hujan di jendela kamarku. Tampak di luar sana hujan baru saja mulai. Masih rintik-rintik dan terdengar seperti suara tik...tok....tik di atas genting. Berirama seperti ketukan dalam lagu. Begitu membuat hatiku turut merasakan irama rintik hujan sampai aku merasakan ada rasa perih di hati. Yudi. Anak kecil yang aku lihat di sanggar anak-anak yatim minggu lalu. Aku menegok kembali ke luar jendela, ada bayang-bayang Yudi di sana. Aku berdiri dan mendekat ke jendela ternyata tak ada Yudi di sana. Ah, hanya ilusi belaka. Beberapa hari ini aku masih saja terpikirkan akan anak itu, anak dengan tatapan kosong tanpa ekspresi hanya diam dan tangannya saja yang bergerak menggambarkan sesuatu yang membuatku terkesiap . Bukan sejenak tapi lama sekali, bahkan bulir –bulir air mata ini ikut menetes bersamaan aku melihat gambar yang dia buat.

            Waktu itu aku mendengar kalau ada longsor di daerah Argasunya yang mematikan beberopa orang. Tertimbun reruntuhan longsor yang tak memungkinkan untuk bisa meloloskan diri dari tanah yang bergerak turun dengan cepat. Bahkan untuk melarikan diri sajapun , banyak yang  tak sanggup. Kejadian yang begitu mendadak dan tiba-tiba membuat orang-orang terjerat dalam pusaran longsor sampai mereka harus tertimbun . Banyak anak-anak yang akhirnya harus menjadi yatim . Banyak air mata yang harus mereka teteskan untuk orang-orang yang mereka cintai yang menjadi kepala keluarga bagi mereka. Kini mereka hanya anak-anak dengan predikat yatim. Tak ada lagi yang orang yang bisa memberikan mereka makanan dan hidup , ada yang timpang . Semua hilang dengan reruntuhan lonsgor. Hanya tinggal sisa-sisa kesedihan dan lara yang tak  siap mereka ucapkan. Bahkan air mata merekapun sudah kering. Hanya ada luka yang ada di hati mereka, tapi seberapa luka mereka tak ada satupun yang tahu. hanya mereka yang tahu. Seberapa sakitkah mereka ditinggal oleh orang yang dikasihinya????

            Sampai aku berkenalan dengan Yudi di sanggar anak yatim. Ayahnya yang juga termasuk korban dari tragedi longsor. Aku tahu cerita ini begitu membuat trauma bagi Yudi. Dia diam dalam bisu. Tatapan nanar yang selalu menemani dirinya. Adakah luka yang besar yang harus dia tanggung???  Beberapa kali aku menatapnya. Beberapa kali aku melihat tatapan kosong dari matanya.
            “Kamu gambar apa?”tanyaku. Aku meihat gambarnya. Ada rasa perih di hatiku. Yudi menggambarkan peristiwa longsor yang menimpa ayahnya. Ada orang yang terlihat terkubur di sana.
            “Ini siapa?”
            “Bapak,”tukasnya lemah dan kepalanya menunduk dalam-dalam. Aku sentuh bahunya,ada isak perlahan darinya. Dia mencoba menahan tangisnya tapi tetap saja suara isakan itu terdengar di telingaku.  Kali lain Yudi menggambar kedua orangtuanya yang bergandengan tangan dan ada dia, adik-adiknya. Dan gambar bapaknya dia beri coretan di dadanya.
            “Mengapa dicoret?” tanyaku.
            “Bapak, sudah meninggal , dia sudah pergi. Aku tak punya bapak,”keluhnya. Kembali dia terisak perlahan. Aku mencoba menghiburnya. Tapi tanganku ditepisnya. Aku tersentak kaget.
            “Ada apa?” aku bertanya padanya, aku hanya ingin menghibur, aku hanya ingin agar dia tak menangis dan mencoba menguatkannya.  Yudi berdiri dan begitu saja pulang ke rumahnya . Beberapa anak yang lain menatapnya.
            “Yudi,”teriakku. Aku mengejarnya tapi panggilan aku tak digubrisnya.
            “Biarkan saja dulu. Mungkin dia butuh ruang  sendiri untuk merenung dan berbagi kesedihan dengan dirinya sendiri,”tukas mbak Asih. Aku mengganguk. Rasanya aku ingin merengkuhnya. Dia sudah kehilangan ayahnya , ayah yang ia cintai. Dia sudah kehilangan orang tempatnya bertumpu untuk kehidupan selanjunya. Yudi masih remaja. Ibunya tak bekerja. Bagaimana dengan hidupnya. Mungkin begitulah isi hatinya. Dia tak tahu apa yang harus dia perbuat. Aku selalu menemukan Yudi dengan kesedihannya saat belajar di sanggar anak yatim . Kadang aku harus meluruhkan air mata saat mataku bersitatap dengannya. Ingin aku peluk dirinya. Ada apa gerangan dengan dia??? Teman yang lain yang senasib dengannya, masih bisa melupakan sedikit saat berkumpul di sana tapi Yudi tak bisa. Pekakah hatinya????

            Sampai suatu saat , saat Yudi ada di ruang belajar. Tiba-tiba Yudi memperlihatkan hasil gambarnya dan menyeringai . Masih dengan tatapan kosong.
            “Bapakku sudah mati. Bapak tertimbun longsor. Terkurung dalam tanah. Dia gak bisa nafas. Gak bisa bangun., Dia terjepit. Pasti sakit.”jelasnya. Masih menggambar tentang peristiwa longsor. Ternyata Yudi tak bisa menghilangkan trauma kehilangan ayahnya, karena dia melihat sendiri kejadian itu. Yudi melihatnya sendiri. Ayahnya terkubur  tanah berton-ton . Yudi terdiam. Sepi . Tak ada satupun yang berbicara. Beberapa meneteskan air mata.
            “Aku juga, bapakku kena longsor,”tukas Dede.
            “Sama , aku juga.”tukas Leha
            “Aku juga.” Beberapa anak yang ayahnya terkena lonsgor, satu-sau menyebutkan kalau mereka juga menderita karena kehilangan ayah mereka. Dan di luar sana  rintik hujan mulai turun perlahan. Terdengar  suara ti...tok...tik yang membuat isakan menjadi mencekam . Aku hanya bisa menatap mereka dengan pandangan sedih dan tak tahu apa yang harus aku katakan. Masing-masing berbicara pada hati nuraninya. Bicara tentang kesedihan yang sulit untuk dilupakan.

            Sampai suatu hari aku melihat Yudi masih dengan tatapan kosong, tiba-tiba menghampiriku.
            “Aku gak suka hujan. Hujan membuat tanah longsor. Hujan sudah membuat bapak pergi dan tak akan pernah kembali. Bolehkan aku membenci hujan?” tanyanya. Aku menghela nafas. 
            “Kematian adalah takdir Allah. Gak boleh menyalahkan siapa-siapa bahkan hujan sekalipun. Mungkin buatmu hujan menjadi hal yang buruk, tapi bagi orang lain hujan adalah berkah.” Aku memegang bahunya kencang-kencang. Dan menatap manik matanya. Ada sedikit sinar walau kembali meredup. Aku mencoba menerangkan kalau hujan bisa menjadi berkah bagi petani, berkah bagi bendungan  yang mulai surut airnya. Berkah bagi bumi yang butuh pasokan air . Manusia butuh kesegaran yang diberikan oleh hujan.
            “Jangan menyalahkan siapa-siapa ya. Mungkin suatu saat kau akan mengerti, tapi percayalah semua ini takdir yang sudah dituliskan oleh sang Penguasa alam, Allah,”tukasku perlahan. Ada binar di matanya walau sedikit.. Aku rengkuh dirinya perlahan dalam dekapanku.
            “Aku rindu bapak,”tukasnya.
            “Selalu kirim doa buatnya,”tukasku. Masih dalam perlukanku, Yudi terisak, tapi aku yakin dia mulai mengerti. Aku percaya dia akan mengirim doa-doa untuk ayahnya. Saat dia menggambar lagi, dia menggambar anak  yang sedang berdoa d an berzikir . Aku melihatnya.
            “Ini aku mendoakan bapak, mengirim doa untuknya. Biar bapak baik-baik saja di sana dan diterima di sisiNya,”tukasnya sambil menatapku dengan manik matanya yang mulai terlihat  ada sinarnya, tak kosong seperti dulu lagi. Dia masih terluka. Yudi butuh kasih sayang. Biarlah kakak-kakak di sini bisa memberikan sedikit kasih sayang buat Yudi.


            “Sinta,”tegur bunda di belakangku. Aku begitu kaget sehingga terlonjak keras di depan jendela.
            “Aduh bunda, bikin kaget saja,”tukasku kesal.
            “Habis dari tadi bunda lihat kamu ngelamun saja di depan jendela.” Bunda menatapku , ada pertanyaan di matanya.
            “Anak itu?” aku mengangguk. Aku sudah menceritakan tentang Yudi pada bunda.
            “Mengapa anak itu?”
            “Dia baik-baik saja kok,dia sudah mau bercerita dan sudah bisa tersenyum kembali. Tapi entah mengapa aku melihat bayangan Yudi di jendela .Ada apa ya?”  Aku menatap kembali gerimis di luar sana. Aku masih ingat betapa Yudi sangat membenci hujan , kala itu. gerimis yang terus membesar butiran hujannya dan menjadi hujan yang lebat. Suara gemuruh begitu jelas di telingaku. Aku membayangakn dulu ayahnya Yudi tertimpa longsoran saat hujan deras . Kini hujan semakin deras. Tetesan hujan sudah tak terlihat lagi karena jendelaku sudah dipenuhi air hujan. Aku mengusap jendela, di luar tampak gelap. Ah, akankah ada lagi yang terjebak longsor dari tanah-tanah yang digali oleh penambang lagi???. Walau sudah dilarang tapi karena perut yang harus diisi, masih saja orang-orang menggali galian liar untuk bisa mendapakan sesuap nasi. Tak peduli hujan yang mengguyur deras. Ada perasaan takut di hatiku. Mudah-mudahan tak ada korban lagi . Hujan mulai bethenti, rintik –rintik hujan yang tertinggal .Tetesan air hujan masih tampak di jendelaku walau sekarang sudah jelas untuk melihat keluar. Suara ponselku terdengar. Mbak Asih.
            “Ada longsor lagi di penambangan. Ada yang jadi korban. Termasuk Yudi,”tukas mbak Asih. Aku terdiam tapi hanya sejenak. Mendengar Yudi juga menjadi korban, aku tak bisa berbicara lagi. hanya air mata yang mengalir perlahan.


            Aku melihat jasad Yudi dimasukan dalam liang kubur. Dia akan bertemu dengan ayahnya yang dia rindukan. Tapi mengapa Yudi ada di tempat penambangan di sana???? Aku tak mengerti. Yudi tahu kalau di sana bahaya tapi untuk apa dia di sana saat hujan lebat.
            “Dia ikut menambang,”tukas mbak Asih. Aku tak bisa lagi bicara. Kebutuhan hidupnya mengalahkan ketakutan Yudi akan hujan dan longsor. Ah, Yudi, kamu sudah berkumpul kembali dengan ayahmu. Kau bisa berpelukan di sana. Kau tak perlu mencoret dada ayahmu di gambarmu kali ini.Ayahmu sudah bersamamu lagi. Selamat jalan Yudi.....Seperti tetesan air hujan kau hidup....