Seperti Tetesan Air Hujan

Rabu, 11 November 2015




Gambar di sini 
 
           Masih terlihat garis-garis tetesan air hujan di jendela kamarku. Tampak di luar sana hujan baru saja mulai. Masih rintik-rintik dan terdengar seperti suara tik...tok....tik di atas genting. Berirama seperti ketukan dalam lagu. Begitu membuat hatiku turut merasakan irama rintik hujan sampai aku merasakan ada rasa perih di hati. Yudi. Anak kecil yang aku lihat di sanggar anak-anak yatim minggu lalu. Aku menegok kembali ke luar jendela, ada bayang-bayang Yudi di sana. Aku berdiri dan mendekat ke jendela ternyata tak ada Yudi di sana. Ah, hanya ilusi belaka. Beberapa hari ini aku masih saja terpikirkan akan anak itu, anak dengan tatapan kosong tanpa ekspresi hanya diam dan tangannya saja yang bergerak menggambarkan sesuatu yang membuatku terkesiap . Bukan sejenak tapi lama sekali, bahkan bulir –bulir air mata ini ikut menetes bersamaan aku melihat gambar yang dia buat.

            Waktu itu aku mendengar kalau ada longsor di daerah Argasunya yang mematikan beberopa orang. Tertimbun reruntuhan longsor yang tak memungkinkan untuk bisa meloloskan diri dari tanah yang bergerak turun dengan cepat. Bahkan untuk melarikan diri sajapun , banyak yang  tak sanggup. Kejadian yang begitu mendadak dan tiba-tiba membuat orang-orang terjerat dalam pusaran longsor sampai mereka harus tertimbun . Banyak anak-anak yang akhirnya harus menjadi yatim . Banyak air mata yang harus mereka teteskan untuk orang-orang yang mereka cintai yang menjadi kepala keluarga bagi mereka. Kini mereka hanya anak-anak dengan predikat yatim. Tak ada lagi yang orang yang bisa memberikan mereka makanan dan hidup , ada yang timpang . Semua hilang dengan reruntuhan lonsgor. Hanya tinggal sisa-sisa kesedihan dan lara yang tak  siap mereka ucapkan. Bahkan air mata merekapun sudah kering. Hanya ada luka yang ada di hati mereka, tapi seberapa luka mereka tak ada satupun yang tahu. hanya mereka yang tahu. Seberapa sakitkah mereka ditinggal oleh orang yang dikasihinya????

            Sampai aku berkenalan dengan Yudi di sanggar anak yatim. Ayahnya yang juga termasuk korban dari tragedi longsor. Aku tahu cerita ini begitu membuat trauma bagi Yudi. Dia diam dalam bisu. Tatapan nanar yang selalu menemani dirinya. Adakah luka yang besar yang harus dia tanggung???  Beberapa kali aku menatapnya. Beberapa kali aku melihat tatapan kosong dari matanya.
            “Kamu gambar apa?”tanyaku. Aku meihat gambarnya. Ada rasa perih di hatiku. Yudi menggambarkan peristiwa longsor yang menimpa ayahnya. Ada orang yang terlihat terkubur di sana.
            “Ini siapa?”
            “Bapak,”tukasnya lemah dan kepalanya menunduk dalam-dalam. Aku sentuh bahunya,ada isak perlahan darinya. Dia mencoba menahan tangisnya tapi tetap saja suara isakan itu terdengar di telingaku.  Kali lain Yudi menggambar kedua orangtuanya yang bergandengan tangan dan ada dia, adik-adiknya. Dan gambar bapaknya dia beri coretan di dadanya.
            “Mengapa dicoret?” tanyaku.
            “Bapak, sudah meninggal , dia sudah pergi. Aku tak punya bapak,”keluhnya. Kembali dia terisak perlahan. Aku mencoba menghiburnya. Tapi tanganku ditepisnya. Aku tersentak kaget.
            “Ada apa?” aku bertanya padanya, aku hanya ingin menghibur, aku hanya ingin agar dia tak menangis dan mencoba menguatkannya.  Yudi berdiri dan begitu saja pulang ke rumahnya . Beberapa anak yang lain menatapnya.
            “Yudi,”teriakku. Aku mengejarnya tapi panggilan aku tak digubrisnya.
            “Biarkan saja dulu. Mungkin dia butuh ruang  sendiri untuk merenung dan berbagi kesedihan dengan dirinya sendiri,”tukas mbak Asih. Aku mengganguk. Rasanya aku ingin merengkuhnya. Dia sudah kehilangan ayahnya , ayah yang ia cintai. Dia sudah kehilangan orang tempatnya bertumpu untuk kehidupan selanjunya. Yudi masih remaja. Ibunya tak bekerja. Bagaimana dengan hidupnya. Mungkin begitulah isi hatinya. Dia tak tahu apa yang harus dia perbuat. Aku selalu menemukan Yudi dengan kesedihannya saat belajar di sanggar anak yatim . Kadang aku harus meluruhkan air mata saat mataku bersitatap dengannya. Ingin aku peluk dirinya. Ada apa gerangan dengan dia??? Teman yang lain yang senasib dengannya, masih bisa melupakan sedikit saat berkumpul di sana tapi Yudi tak bisa. Pekakah hatinya????

            Sampai suatu saat , saat Yudi ada di ruang belajar. Tiba-tiba Yudi memperlihatkan hasil gambarnya dan menyeringai . Masih dengan tatapan kosong.
            “Bapakku sudah mati. Bapak tertimbun longsor. Terkurung dalam tanah. Dia gak bisa nafas. Gak bisa bangun., Dia terjepit. Pasti sakit.”jelasnya. Masih menggambar tentang peristiwa longsor. Ternyata Yudi tak bisa menghilangkan trauma kehilangan ayahnya, karena dia melihat sendiri kejadian itu. Yudi melihatnya sendiri. Ayahnya terkubur  tanah berton-ton . Yudi terdiam. Sepi . Tak ada satupun yang berbicara. Beberapa meneteskan air mata.
            “Aku juga, bapakku kena longsor,”tukas Dede.
            “Sama , aku juga.”tukas Leha
            “Aku juga.” Beberapa anak yang ayahnya terkena lonsgor, satu-sau menyebutkan kalau mereka juga menderita karena kehilangan ayah mereka. Dan di luar sana  rintik hujan mulai turun perlahan. Terdengar  suara ti...tok...tik yang membuat isakan menjadi mencekam . Aku hanya bisa menatap mereka dengan pandangan sedih dan tak tahu apa yang harus aku katakan. Masing-masing berbicara pada hati nuraninya. Bicara tentang kesedihan yang sulit untuk dilupakan.

            Sampai suatu hari aku melihat Yudi masih dengan tatapan kosong, tiba-tiba menghampiriku.
            “Aku gak suka hujan. Hujan membuat tanah longsor. Hujan sudah membuat bapak pergi dan tak akan pernah kembali. Bolehkan aku membenci hujan?” tanyanya. Aku menghela nafas. 
            “Kematian adalah takdir Allah. Gak boleh menyalahkan siapa-siapa bahkan hujan sekalipun. Mungkin buatmu hujan menjadi hal yang buruk, tapi bagi orang lain hujan adalah berkah.” Aku memegang bahunya kencang-kencang. Dan menatap manik matanya. Ada sedikit sinar walau kembali meredup. Aku mencoba menerangkan kalau hujan bisa menjadi berkah bagi petani, berkah bagi bendungan  yang mulai surut airnya. Berkah bagi bumi yang butuh pasokan air . Manusia butuh kesegaran yang diberikan oleh hujan.
            “Jangan menyalahkan siapa-siapa ya. Mungkin suatu saat kau akan mengerti, tapi percayalah semua ini takdir yang sudah dituliskan oleh sang Penguasa alam, Allah,”tukasku perlahan. Ada binar di matanya walau sedikit.. Aku rengkuh dirinya perlahan dalam dekapanku.
            “Aku rindu bapak,”tukasnya.
            “Selalu kirim doa buatnya,”tukasku. Masih dalam perlukanku, Yudi terisak, tapi aku yakin dia mulai mengerti. Aku percaya dia akan mengirim doa-doa untuk ayahnya. Saat dia menggambar lagi, dia menggambar anak  yang sedang berdoa d an berzikir . Aku melihatnya.
            “Ini aku mendoakan bapak, mengirim doa untuknya. Biar bapak baik-baik saja di sana dan diterima di sisiNya,”tukasnya sambil menatapku dengan manik matanya yang mulai terlihat  ada sinarnya, tak kosong seperti dulu lagi. Dia masih terluka. Yudi butuh kasih sayang. Biarlah kakak-kakak di sini bisa memberikan sedikit kasih sayang buat Yudi.


            “Sinta,”tegur bunda di belakangku. Aku begitu kaget sehingga terlonjak keras di depan jendela.
            “Aduh bunda, bikin kaget saja,”tukasku kesal.
            “Habis dari tadi bunda lihat kamu ngelamun saja di depan jendela.” Bunda menatapku , ada pertanyaan di matanya.
            “Anak itu?” aku mengangguk. Aku sudah menceritakan tentang Yudi pada bunda.
            “Mengapa anak itu?”
            “Dia baik-baik saja kok,dia sudah mau bercerita dan sudah bisa tersenyum kembali. Tapi entah mengapa aku melihat bayangan Yudi di jendela .Ada apa ya?”  Aku menatap kembali gerimis di luar sana. Aku masih ingat betapa Yudi sangat membenci hujan , kala itu. gerimis yang terus membesar butiran hujannya dan menjadi hujan yang lebat. Suara gemuruh begitu jelas di telingaku. Aku membayangakn dulu ayahnya Yudi tertimpa longsoran saat hujan deras . Kini hujan semakin deras. Tetesan hujan sudah tak terlihat lagi karena jendelaku sudah dipenuhi air hujan. Aku mengusap jendela, di luar tampak gelap. Ah, akankah ada lagi yang terjebak longsor dari tanah-tanah yang digali oleh penambang lagi???. Walau sudah dilarang tapi karena perut yang harus diisi, masih saja orang-orang menggali galian liar untuk bisa mendapakan sesuap nasi. Tak peduli hujan yang mengguyur deras. Ada perasaan takut di hatiku. Mudah-mudahan tak ada korban lagi . Hujan mulai bethenti, rintik –rintik hujan yang tertinggal .Tetesan air hujan masih tampak di jendelaku walau sekarang sudah jelas untuk melihat keluar. Suara ponselku terdengar. Mbak Asih.
            “Ada longsor lagi di penambangan. Ada yang jadi korban. Termasuk Yudi,”tukas mbak Asih. Aku terdiam tapi hanya sejenak. Mendengar Yudi juga menjadi korban, aku tak bisa berbicara lagi. hanya air mata yang mengalir perlahan.


            Aku melihat jasad Yudi dimasukan dalam liang kubur. Dia akan bertemu dengan ayahnya yang dia rindukan. Tapi mengapa Yudi ada di tempat penambangan di sana???? Aku tak mengerti. Yudi tahu kalau di sana bahaya tapi untuk apa dia di sana saat hujan lebat.
            “Dia ikut menambang,”tukas mbak Asih. Aku tak bisa lagi bicara. Kebutuhan hidupnya mengalahkan ketakutan Yudi akan hujan dan longsor. Ah, Yudi, kamu sudah berkumpul kembali dengan ayahmu. Kau bisa berpelukan di sana. Kau tak perlu mencoret dada ayahmu di gambarmu kali ini.Ayahmu sudah bersamamu lagi. Selamat jalan Yudi.....Seperti tetesan air hujan kau hidup....

0 komentar:

Posting Komentar