Ketika Badai Berlalu

Jumat, 30 Oktober 2015

Gambar dari sini


           Pagi itu aku sedang mempersiapkan sarapan pagi untuk keluarga kecilku. Pagi ini entah agak berdebar  karena Yudi anak sulungku hari ini akan menerima pengumuman apakah dia lulus atau tidak ujian SMAnya. Selain itu aku juga mengkhawatirkan beberapa muridku yang juga akan menerima pengumuman hari ini.
            “Mam, pasti anak kita lulus,”tukas suamiku. Aku mengangguk setuju
            “Aku kawatir dengan muridku,”tegasku. Suamiku memandangku mengerti akan kekawatiranku. Dia hanya mengelus bahuku.
            “Ya, kita doakan saja.”  Suamiku mengeluarkan motornya dari garasi. Anak-anakku juga sudah bersiap pergi ke sekolah.
            “Loh , pah, kok pakai motor? “tanyaku. Biasanya dia mengunakan mobil kantornya.
            “Harus ke tambak jadi enak naik motor , biar  jalannya gak terlalu jauh.”  Kedua anakku pamitan dan aku wanti-wanti untuk hati-hati di jalan. Banyak pengendara motor atau mobil yang tak taat berlalu lintas sehingga cenderung kita sendiri yang harus berhati-hati. Berhati-hati saja seringkali nyaris tertabrak kendaraan apalagi tak berhati-hati. Sekarang dengan bertambahnya jumlah penduduk semakin banyak orang yang berkedaraan motor atau mobil. Apalagi motor. Sekarang untuk mengkredit motor sangat dipermudah sekali.  Tapi banyaknya kendaraan bermotor tak diimbangi dengan pengetahuan dan kesadaran berlalu lintas. Apalagi motor. Motor sering kali seenaknya saja. Tanpa pernah lihat rambu-rambu sering menerjang . Apalagi banyak orang tua yang membiarkan anak-anaknya mengendarai motor tanpa dibekali dengan pengetahuan mengemudi dan SIM. Bisa dilihat banyak pengendara motor tanpa helm. Bahkan kalau ada operasi banyak yang tak mempunyai SIM dan kadang masih di bawah umur sudah diperbolehkan naik motor. Gak Percaya??? Coba lihat di sekolah menengah pertama , banyak sekali anak-anak SMP yang membawa motor. Dari sekolahpun tak ada larangan membawa motor seakan cuek dengan kenyataan kalau siswanya belum boleh naik motor. Guru-gurunya menganggap itu tanggung jawab orangtuanya. Kadang miris melihatnya. Untungnya anakku tak pernah punya keinginan untuk naik motor seperti teman yang lain.
            “Aku pergi dulu,”tukas suamiku mengejutkanku.
            “Hati-hati, kalau bisa jangan pulang sore-sore ya. Yudi hari ini pengumuman kelulusan.” Suamiku menyetujui usulku. Aku memandang punggung suamiku yang mulai menjauh. Tak ada sesuatu yang membuatku takut kecuali hasil pengumuan ujian siswaku. Tapi aku salah. Ada kejadian yang membuat aku tak mampu berkata lagi dan membuatku lemas tak berdaya.Semua di luar prediksiku dan aku tak punya firasat apapun.

            Siang itu aku terhenyak karena ada sekitar 3 siswaku yang tak lulus UAN. Ada sedikit resah di hati. Mereka benar-benar jujur  dan harus kalah dengan anak-anak lainnya yang punya kunci jawaban. Betapa air mataku harus menetes . Sungguh suatu dilema saat aku mengajarkan kejujuran tetapi di sisi lain banyak orang tua dan bahkan guru sekalipun membiarkan semua ketidakjujuran tampak nyata di mata mereka. Sungguh ironis!!! Pesan singkat dari Yudi kalau dia lulus tak membuatku riang karena aku masih memikirkan siswaku. Pikiran kalut dan aku tak konsentrasi. Sampai rumahpun aku masih memikirkan siswaku. Sampai aku tak terlalu memperhatikan kalau saat ini seharusnya suamiku sudah pulang. Tapi sesaat suara ponselku bebunyi.
            “Ma, aku kecelakaan. Cepat ke rumahs akit ya,”suara suamiku jelas terdengar. Ada apa lagi???? Aku bergegas ke rumah sakit. Aku melihat suamiku tergeletak di ruang gawat darurat sedang dalam pertolongan pertama. Dokter jaga memberitahu aku kalau suamiku harus malam ini di operasi pertama dulu untuk menutup luka terbuka di bagian kakinya. Dan dua patahan tulang di kaki kirinya. Satu di tulang keringnya dan satu lagi di tulang pahanya. Membayangkan saja aku sudah ngeri sekali. Mengapa bisa kecelakaan. Setahu aku suamiku bukan pengendara motor yang ugal-uaglan dan selalu tertib berlalulintas. Malam itu operasi pertama dilakukan. Dokter menjelaskan posisi patah tulangnya dari hasil rontgen . Dokter menyerahkan semuanya pada keluarga. Apa mau ditangani secara medis atau ke  tempat yang lain. Waktu itu aku bingung sekali. Tapi menurut adikku yang dokter lebih baik secara medis walau dari segi biaya cukup besar. Pemasanagn pen ini membutuhkan biaya yang cukup bikin hatiku melengos.

            Pagi hari sesaat suamiku sudah mulai enakan. Barulah dia bercerita, apalagi saat itu juga ada polisi yang juga menanyakan kronologis kejadian sebenarnya. Jadi saat suamiku menyusul mobil di depannya ada motor dari arah berlawanan akan belok ke arah seberang yang searah dengan suamiku tapi tidak menyalakan tanda lampu ke kanan. Itu yang membuat suamiku kaget karena motor itu tiba-tiba saja berbelok. Agar tak menabrak motor di depannya suamiku membanting stir ke kiri dan terpental ke jalan. Nah, inilah yang aku takutkan !!! Ketika orang lain yang salah karena tak tertib aturan lalulintas dan yang kena getahnya adalah orang yang tak salah. Apalagi aku juga merasa kesal, karena pengendara motor yang tak tertib itu tak mengalami apa-apa. Jelas saja , karena suamiku yang menghindar. Kalau gak, mungkin sudah terjadi tabrakan maut .
“Apa kasusnya mau dilanjutkan?” tanya salah satu polisi.
“Gak usah. Biar saja.” Polisinya sedikit kaget , mengapa suamiku tak melanjutkan kasus karena polisi juga tahu kalau suamiku di posisi yang benar. Mungkin karena takut orang yang lalai itu belum datang menengok suamiku. Mengapa dia seperti itu??? Kadang aku bertanya dalam hati. Salah, tak berani datang untuk paling tidak melihat keadaan suamiku.Tapi tak apalah aku tak mempermasalahkan. Bahkan kalau tak membantu biayapun aku tak peduli. Pikiranku lebih baik aku konsentrasikan pada kesembuhan suamiku daripada harus memikirkan banyak hal di luar itu.  Dan sampai dua minggu dari kecelakaan orang yang lalai itu gak ada itikad baik datang untuk minta maaf atau apalah sebagai tanggung jawabnya.  Baru minggu ke tiga dia datang dikawal dengan banyak saudaranya datang untuk minat maaf. Minta maaf???? Setelah semua kesalahannya membuat suamiku terluka dengan biaya yang tak sedikit???? Bahkan datangpun terlambat ,sudah tiga minggu dan sudah dua kali suamiku operasi. Kemana batang hidungnya??? Tak tampak sama sekali. Tapi aku tahu aku bukan pendendam . Aku tahu orang itu dari keluarga seperti apa. Kalau aku menuntut mereka bertanggung jawab toh tak akan bisa menutupi biaya yang harus aku tanggung . Memenjarakannya??? Mungkin sama saja aku memutus rejeki orang untuk bisa hidup. Siapa yang  akan memberi nafkah anak dan istrinya kelak????
“Aku pak Gatot, pnegendara motor yang belok tanpa lampu.” Semua diam membisu. Sekali-kali tampak pak Gatot gelisah. Gestur tubuhnya memperlihatkan rasa bersalahnya.
            “Terimakasih, tak melanjutkan ke jalur hukum,”tukasnya  dengan kepala menunduk.
            “Gak, apa-apa. Doain saja lekas sembuh.”tukas suamiku. Ah, sulitnya orang untuk tertib dalam mengendarai kendaraan agar bisa aman di jalan. Kesalahan seseorang bisa menimpa orang lain yang taat dengan aturan. Jadi apa susahnya untuk bisa berkendaraan tertib  dan taat dengan aturan berlalu lintas. Semua tertib, semua akan aman di jalan. Masih susah ya dilakukan???? Sungguh hati ini masih merasakan akibat dari kelalaian orang lain. Masih terasa kesal. Tapi untuk apalagi disesalkan semua sudah terjadi.
            “Ikhlaskan saja mam,”tukas suamiku.
“Iya.”  Aku mengangguk setuju. Biarlah ini mungkin juga teguran bagi keluargaku. Teguran untuk lebih berserah diri, untuk menjadi lebih baik lagi hidupnya. Biarlah semua diserahkan pada Allah. Semua cobaan itu ada hikmahnya. Aku percaya itu.


            Butuh banyak pengorbanan dan kesabaran. Penyembuhan yang butuh waktu. Mengapa???  Karena untuk bisa berjalan setelah dipasang pen itu tidak mudah. Untuk mengurangi rasa sakit, untuk belajar jalan dilakukan sendiri. Agar  bisa merasakan sejauh mana kekuatan diri sendiri, karena kalau menggunakan terapis, kadang terlalu memaksa setiap hari harus punya kemajuan . Dan itu malah membuat stres. Akhirnya diberikan pengarahan oleh dokter bedahnya agar  suamiku  bisa melatih kakinya sedikit demi sedikit secara mandiri.  Walau agak lama lambat laun mulai bisa berjalan sedikit demi sedikit. Kemudian dibantu dengan tongkat kecil yang sebelumnya menggunakan kruk. Akhirnya bisa berjalan normal kembali. Padahal banyak orang memperdiksi jalannya akan pincang. Alhamdulilah semua bisa berjalan dengan lancar atas berkah dari Allah. Oarng yang lalai juga datang dan sekali lagi mengucapakan kata maaf.  
            “Sudah kami maafkan,”tukasku cepat.
            “Terimakasih. Bapak selalu mendoakan agar cepat bisa pulih seperti sedia kala. Sekali lagi maaf dan terimakasih mau memaafkan,”tukasnya lagi. Banyak kata maaf yang dia ucapkan. Kadang  kita baru menyesal setelah semuanya terjadi. Untungnya aku dan suamiku bukan tipe orang yang menuntut orang walau tahu orang itu punya salah. Mungkin oang lain bisa menuntut pak Gatot  untuk menggantikan biaya rumah sakit atau memenjarakannya. Aku dan suamiu tak melakukan dua hal itu. Tak memenjarakannya atau menuntut biaya rumah sakit. Walau banyak orang di sekelilingku mengomel karena pak Gatot tersebut juga tak memberikan uang sepserpun sebagai tanda tanggung jawabnya pada suamiku. Biarlah menurutku apa yang ditanam akan dituai juga. Biarlah Allah yang akan menetukannya..

            Akhirnya aku lebih strik lagi pada anak-anakku dalam hal mematuhi aturan lalu lintas. Apalagi anak sulungku sudah membawa motor karena usianya sudah 17 tahun dan sudah memiliki SIM. Karena bukan hanya kesalahan sendiri yang bisa menyebabkan kecelakaan, bisa jadi kesalahan orang lain yang bisa mencelakain diri sendiri. Sudah ada bukti nyata. Apa susahnya taat aturan lalu lintas. Taat artinya akan memberikan rasa aman bagi diri sendiri dan orang lain.

7 komentar:

Unknown Says:
9 November 2015 pukul 10.14

Suka sekali sama tulisanya, semoga sukses kompetisinya.

Salam kenal :)

Unknown Says:
9 November 2015 pukul 10.14

Suka sekali sama tulisanya, semoga sukses kompetisinya.

Salam kenal :)

Tira Soekardi Says:
9 November 2015 pukul 13.24

makasih mbak Inggit, salam kenal kembali

Ria Bilqis Says:
9 November 2015 pukul 15.05

Keren tulisan nya, saya belum bisa sepanjang ini kalo menulis..

Tira Soekardi Says:
10 November 2015 pukul 12.13

makasih mbak Ria, saya juga belajar secara otodidak

Mang Lembu Says:
14 November 2015 pukul 18.56

semoga badai yang telah berlalu itu tak akan pernah kembali.
semoga kontesnya menang yah

Tira Soekardi Says:
15 November 2015 pukul 12.11

iya mang Lembu, makasih

Posting Komentar