0 Akhir Dari Sebuah Cerita

Sabtu, 30 November 2019


Gambar dari sini 
 

Tak aku sangka hari ini aku bertemu kembali dengan temanku Garin setelah sekian tahun tak pernah berjumpa . Setelah lulus kuliah tak pernah lagi bersua. Aku merantau ke kota Jakarta. Ah aku memandangnya sedikit iri. Garin tampak berbusana jas yang aku tahu berapa haga yang harus Garin keluarkan untuk jas itu.
            “Hai, sapaku,” sambil menjabat keras tangannya. Tangan Garin begitu kuat meremas tanganku. Rasa percaya dirinya tampak dari genggaman tangannya. Dari tampilannya aku tahu mungkin dia pasti jabatan tinggi di perusahaannya atau bisa jadi pemilik perusahaan.
            “Halo, Rangga ya,” tegurnya . Aku mengangguk kecil.
            “Sudah lama ya tak berjumpa. Kerja dimana?”
            “Itu di PT Agung Purnama,” tukasku cepat sambil menunjuk ke arah kantorku. Garin mengangguk .
            “Ok, kapan-kapan kita ketemuan ya. Hari ini aku sibuk. Bisa minta nomer teleponmu? “ Aku menganguk dan memberikan nomer ponselku. Aku berlalu dari hadapannya. Ririn mengejarku dan berjalan di sisiku.
            “Kamu kenal dengan pak Garin?”
            “Iya  dia teman kuliahku.” Aku memandang Ririn dengan pandangan heran . Mengapa dia menanyakan tentang Garin padaku.
            “Ganteng ya. Sudah ganteng , dia pemilik PT Global Angkasa.”  Aku hanya manggut-manggut saja. Ternyata dugaanku benar. Dari pakaian saja sudah bisa dilihat posisi seseorang di perusahaan. 

            Ponselku bergetar , tampak nomer yang tak aku kenal tampak di layar. Agak ragu untuk menerimanya.
            “Halo.”
            “Aku , Garin. Makan siang yuk. Aku tarktir ya. Di kafe depan kantor saja .” Aku mengiyakan saja. Toh tak ada salahnya bertemu dengan teman yang sudah lama tak ketemu. Sekalian silaturahmi. Aku ingat dulu sekali Garin adalah teman yang sangat sederhana. Dia dari kampung di gunung kidul. Hidupnya susah. Untuk kuliahpun dia bekerja serabutan. Pokoknya dia sosok pekerja keras. Walau Garin mendapat beasiswa tapi itu tak mencukupi, karena Garin perlu makan, bayar kosan. Apalagi hidup di kota Bandung yang memerlukan biaya yang tak sedikit. Ternyata sekarang dia bisa menjadi orang yang sukses. Pemilik perusahaan. Sungguh beruntung!!!! Aku??? Dari sejak kuliah hanya bisa menjadi karyawan. Karyawan kontrak. Setiap tahun harus berdebar-debar kalau-kalau saja tak diperpanjang kontraknya , masih harus berjuang mencari pekerjaan lainnnya.  Rumah BTN sederhana yang masih harus nyicil setiap bulannya. Hidupnya masih susah. Hampir setiap hari Rina, istrinya  mengeluh dengan harga-harag di pasar yang terus merangkak naik sedangkan gajinya tetap saja tak merangkak naik. Begitu juga dengan jabatannya. Kalau saja Rina tak membantunya mencari uang, mungkin uang gajinya tak cukup untuk hidup. Ah, mungkin sudah nasib hidupku seperti ini. Mengapa harus aku keluhkan,semua sudah punya takdirnya masing-masing.

            “Sudah lama? Maaf terlambat, masih banyak yang harus aku tandatangani.” Garin duduk di hadapanku.
            “Gak apa-apa. Jelaslah kamu direktur tugasnya pastilah banyak,”tukasku. Garin menyuruhku untuk memesan makanan. Aku melihat menu makan siang di kafe ini. Biasa makan di warteg belakang kantor, membuat aku bingung memlilih menu yang semuanya asing bagiku. Garin memberikan pesanan pada pelayan di sana. 
            “Betah kamu kerja di sana?” Ah, bagiku mau betah atau tidak tak aku pedulikan, yang penting aku bisa mendapatkan uang.  Garin menyuruhku untuk melamar saja di kantornya. Masih butuh tenaga komputer di sana. Aku hanya mengagguk saja. Tak lama Garin menceritakan semua hal tentang dirinya. Termasuk mengapa dia bisa menjadi pemilik PT Global Angkasa. Ternyata Garin menikah dengan anak pemilik PT Global Angkasa. Dan kini bisa menjadi miliknya seutuhnya.
            “Sungguh beruntung ya . Dapat anaknya juga dapat perusahaannya,” tukasku. Tapi aku melihat raut Garin berubah.
            “Kamu salah , Rangga. Apa yang dilihat , kadang tak sama apa yang dirasakan.” Garin terdiam lama.Aku menunggunya berbicara lagi. Lama Garin diam, sebelum dia melanjutkan ceritanya. Ternyata Garin mendekati Dina istrinya sekarang, juga punya maksud tertentu, agar dia bisa menajdi bagian dari perusahaan besar ayahnya. Aku sedikit terkejut , karena tak menyangka sikap Garin seperti itu.
            “Kamu terkejut ya?” aku tersenyum. Garin tak mau hidup susah lagi. Sudah cukup selama hidupnya dia harus mengais rejeki dengan pkerejaan kasar. Dia ingin mengubah hiudpnya tapi lewat jalan pintas.
            “Tapi tak semulus seperti yang aku harapakan,”selanya. Ternyata memang hidupnya berubah . Semua yang dulu ia tak miliki, sekarang bisa dia genggam . Tapi untuk itu ternyata diperlukan pengorbaan yang cukup besar. Pengorbana perasaan. Mertuanya tak mau kalau orang lain tahu dia punya besan orang miskin dari gunung kidul. Akibatnya sejak menikah Garin memutuskan silahturahmi dengan keluarga besarnya.
            “Jadi ,kamu tak pernah menengok atau apalah pada keluargamu?” tanyaku heran. Garin menggeleng lemah. Tampak air mata mengenangi bola matanya. Garin memalingkan wajahnya untuk menutpi air matanya. Aku terdiam lama.  Setelah lama terdiam, Garin melanjutkan lagi ceritanya. Bukan itu saja Garin harus menuruti semau perintah dari ayah mertuanya untuk menjalankan perusahaannya. Termasuk tak pernah membayar pajak seratus persen. Garin disuruh untuk kongkalikong dengan pegawai pajak  agar perusahaannya bisa bebas tak mebayar pajak seluruhnya. Aku terhenyak. Ini bukan sifat Garin. Dulu dia amat jujur dan santun. Semua bisa berubah .
            “Kenapa?”tanyaku heran.
            “Entahlah. Mungkin aku ingin cepat merubah nasibku. Tapi mungkin ini jalan yang salah. Tapi ini sudah telat aku berbalik arah.” Garin kembali terdiam lama.
            “Dan kamu tahu Rang. Sekarang aku lagi punya masalah besar. Karena aku sudah ketahuan tak bayar pajak dan ketahuan menyuap pegawai pajak.  Dan  aku sudah suap lagi ternyata kasus tetap dilanjutkan. Aku takut sekali,” tukasnya lemah.
            “Tinggal tunggu waktu. Aku bakal di penjara.”
            “Oh, aku tak tahu Garin. Aku baru tahu.” Bagaimana aku tahu. Mana sempat aku membaca koran. Aku sudah sibuk untuk mencari uang agar dapurku ngebul. Garin memegangi kepalanya. Aku tak tahu apa yang harus aku katakan.
            “Aku turut prihatin.” Hanya itu yang bisa aku ucapkan padanya. Cerita siang ini banyak mengubah cara pandang aku pada hidup ini. Semua yang terlihat indah di mata kita belum tentu sama seperti yang kita bayangkan. Intinya kita harus bersyukur dengan apa yang sudah kita punya.

            Sudah seminggu setelah pertemuan dengan Garin, aku mendengar cerita dari Ririn kalau Garin ditangkap KPK tadi malam. Aku terduduk lemas. Akhirnya Garin harus  berakhir di jeruji besi. Aku menceritakan tentang Garin pada Rina. Rina terdiam lama .
            “Kita memang tak hidup mewah. Tapi kita patut bersyukur. Kita gak pernah kekurangan. Belum tentu apa yang kita lihat bagus, bagus untuk hidup kita,”tukasku. Rina mengangguk menyeujui perkataanku. Cerita Garin membuat aku tersadar, untuk selalu hidup sesuai dengan tuntunan Allah Bukan hanya mengejar duniawi tapi kehidupan kelak juga harus kita kejar. Aku bersyukur dengan hidupku, jauh lebih bersyukur daripada sebelumnya.

0 Badai Pasti Berlalu

Sabtu, 23 November 2019



Gambar dari sini



Merindu bersama selalu ada dalam hatiku

Badai pasti berlalu

Jangan takut untuk menghadapi hari esok

Jangan terlena dengan dukamu

Bukalah hatimu

Aku rindu bersama lagi, berkumpul untuk bercanda



Tak akan sirna indahnya esok

Jika kita mau melangkah ke depan

Bekunya dinding hati akan mencair melihat mentari

Yang akan menyapa setiap pagi dengan asa baru

Jangan takut untuk bersama lagi

Asa terakhir hanya ada di keluarga



Mari tuntaskan rindu ini

Dengan bersama menikmati senja di pantai

Melihat warna langit yang berubah

Sampai kita yakin masih ada esok untuk harapan yang pasti

Nanti tak akan terasa lagi pahitnya hidup

Hanya suka saat bersama keluargamu



Cirebon, 24 November 2019




0 Saingan Kok Tulalit

Jumat, 15 November 2019


Gambar dari sini 
 

Pulang sekolah aku melihat banyak gerombolan orang sedang mengerumuni sesuatu di pos kamling kampungku. Ada apa ya, apa ada pembagian sembako gratis lagi? Biasanya kalau yang gratisan sih penduduk pasti mau repot-repot antre , coba buat urusan bayar membayar sulitnya minta ampun dengan banyak alasan lagi. Aku pastilah penasaran, siapa yang gak tahu anak perempuan yang gokil habis yang aku ini, si Mirna!
            “Minggir babe-babe, nyak-nyak , om-om , anak-anak, gue mau lewat,” aku menyeruak kerumunan sambil dorong kiri dan kanan. Beberapa orang menatapku sebal tapi aku sih cuek saja, emang aku pikirin tuh orang yang melotot. Kasihan kan??? Matanya dah melotot masih ditambah harus kena semprot , makanya aku lebih baik diam saja.
            “Eh, dasar elu Mirna, lagak lu kagak sopan-sopan amat sih ama orang tua,” gerutu orang yang ada di sampingku. Kulihat babe Rozak melotot , ih seram banget tuh mata , sepertinya mau keluar dari bola matanya.
            “Awas babe matanya tuh bisa-bisa keluar semua, entar kagak ada matanya,” aku menyahut sambil terus mendesak ke depan dan di sana terpampang jelas pengumunan dengan tulisan yang besar AUDISI PENYANYI  DANGDUT  TINGKAT  KAMPUNG KOPI LUHUR.  Ya, ampun ternyata pengumuman audisi dikirain apa?
            “Babe Rozak, babe mundur lagi aja, masa dah tua ikutan audisi penyanyi dangdut bisa-bisa semua orang pingsan di tempat,” aku mendorong babe Rozak keluar
            “Apa-apaan elu tuh, gue hanya mau lihat saja ,” teriak babe masih ngotot mau lihat pengumuman.

            Kabar audisi penyanyi semakin santer di kampungku, apalagi hadiahnya menggiurkan termasuk tetanggaku si Desi yang super centil. Dia menyatakan dirinya akan ikutan audisi secara suaranya kayak Ike Nurjanah. 
            “Eh, lu jangan mimpi Desi, gue saja suka sebel dengar suara cempreng lu di kamar mandi, bikin gua mau muntah,” ejekku , aku paling sebel dengan tetanggaku satu ini , menurutku terlalu lebay!
            “Ya masih mending gua ada suaranya, lah elu mana ada yang mau dengar suara elu, paling-paling kambing bandot gue tuh yang mau dengar,” ejek Desi tak mau kalah.
            “Enak aja elu ngomong, walau gue gak pernah nyanyi di rumah tapi suara gue bagus ,” aku tak mau kalah dengan si centil itu.
            “Ok, kalau elu merasa suara elu bagus ya ikutan audisinya, saingan dengan gue, siapa diantara kita yang memang suaranya paling bagus,” tantang Desi.
            “Ok, siapa takut!” aku mantap . Dasar bodoh menerima tantangan Desi, kapan aku pernah nyanyi walau kata guru seniku sih suaraku lumayan bagus saat tes nyanyi. Tapi nasi  sudah menjadi bubur tantangan tak boleh dihindari apalagi menyangkut si centil itu. Norak banget kalau aku sampai kalah dengan suara cempreng si centil!

            Persaingan aku dan Desi semakin ketat walau audisi belum dimulai tapi persaingan sudah tampak. Tadinya aku santai saja, tapi ternyata Desi tak mau kalah denganku, dengar-dengar dia ikut les vokal, mati aku! Wauh, bisa-bisa aku kalah telak dengannya. Aku mulai rajin melatih vokal dan meminta bantuan bu Dara guru kesenianku di sekolah. Alhasil setiap pulang sekolah aku berlatih keras agar tak kalah dengan Desi. Kabar aku mulai latihan vokal juga akhirnya terdengar sampai sejagad kampungku. Desi tentunya gak mau kalah , persaingan makin memanas , saat Desi mulai mengambil hati warga kampung untuk menvote banyak suara untuknya dan selembar uang sepuluh ribu diterima warga yang mau memberikan suaranya untuk Desi.
            “Gila ya elu, itu namanya persaingan gak sehat, elu macam politikus saja,” aku sudah mulai kesal dengan ulahnya yang tak mau bersaing sehat.
            “Biar saja mau-mau gue , yang penting gue harus menang,” tukasnya sambil memperlihatkan wajah yang tampak menyebalkan bagiku. Darimana aku punya duit untuk menyuruh warga memberikan suara buatku? Tapi aku tak habis akal aku mulai memasang selebaran dengan profil apikku yang dibuatkan oleh Dasri sohibku di sekolah. Aku beserta pengikutku mulai menyebarkan selebaran ke warga, menempelkan nya di setiap jalan . Hari ini aku puas profilku terpampang banyak di jalan –jalan. Rasain Des, elu masih mau saingan ama gue.
            “Eh, ini ya yang mau audisi dangdut,” beberapa warga sudah mulai mengenalku dan mulai menyapaku.  Wah , aku mulai gede rasa, serasa artis terkenal karena aku mulai banyak yang menyapa. Desi tampak sebal melihatku, aku balik mencibirnya!
            Audisi tinggal tiga hari lagi, latihan vokal dengan bu Dara semakin intensif , dan aku semakin berdebar saja menghadapi audisi dangdut ini walau hanya tingkat kampung saja.
            “Mir, sudah bagus suaramu tinggal gerakan kamu masih kaku kayak robot saja,” celetuk bu Dara.
            “Lah, ibu kan tahu sendiri , gue gak biasa joged gini,” jelasku,tapi aku harus berani karena penampilan juga akan dinilai. Nih, yang lebih sulit melatih aku memakai hak tinggi, berkali-kali jatuh bangun tapi akhirnya akupun bisa melakukannya.
            “Nah, satu lagi kamu harus bisa mengambil hati juri bukan hanya dengan suaramu saja tapi dengan sikap yang  santunmu,” jelas bu Dara . Aku hanya bisa menganggukan kepalaku. Pulang dari latihan vokal aku melihat Desi keluar dari rumah pak Samsidi salah satu juri audisi. Mau apa lagi si centil itu mengunjugi salah satu juri, kali-kali mau nyogok? Siapa tahu? Aku mendekati si centil yang tampak tergesa –gesa. Aku menarik tangannya setelah dapat kukejar.
            “Eh, licik ya elu pasti mau nyogok juri kan?” tuduhku padanya.
            “ Enak aja, lu asal nuduh aja, gue ke pak Samsidi disuruh nyokap gue nganterin pesenan kue,” katanya sambil bergegas pergi. Aku masih hendak bicara tapi si centil malah berlari sekencang mungkin untuk menghindari aku. Dasar , si lebay!.  Waduh, bahaya kalau si centil sudah bisa nyogok juri, bisa-bisa aku kalah .  Aku juga perlu mendatangi juri walau bukan untuk nyogok tapi buat silahturahmi, agar mereka bisa lebih mengenal proilku, kan ada pepatah yang mengatakan kalau tak kenal maka tak sayang benar kan?
            “Dasar sama aja elu juga nyogok juri!”teriak Desi marah padaku. Aku tidak merasa nyogok ya tenang saja menimpali tuduhan Desi.
            “Elu sendiri kan yang bilang gak boleh sembarang nuduh orang, gue cuma silahturahmi , ngerti elu,”jelasku sambil ngeloyor pergi. Dalam hati sih, rasain pasti mentalnya sudah jatuh terlebih dahulu sebelum bertanding.

            Akhirnya pertandingan dimulai, panggung sudah terpasang semenjak kemarin dan para sponsor memajang spanduk mereka di sisi panggung. Meja juri ada di bagian sisi kiri panggung dan sisi kanan terdapat perangkat sound sistim. Pagi sekali aku sudah mempersiapkan segala sesuatu tapi aku melihat Desi pergi diam-diam sambil bolak-balik melirik ke kiri dan kanan. Wah, ini patut aku curigai, aku harus mengikutinya tapi gimana ini, bajuku ini gak memungkinkan aku bisa mengejar Desi. Kulihat Desi hampir tak kelihatan, segera aku angkat bajuku dan kukejar  Desi. Tampak Desi menghampiri ke tiga juri yang sudah bersiap di meja juri.  Dasar licik, awas lu Desi! Kulihat Desi membagikan amplop pada ke tiga juri tersebut.
            “Lihat apaan elu ,Mir?” tanya babe Rozak. Aku menunjuk ke arah Desi . babe Rozak juga melihat kelakuan Desi yang menyogok juri.
            “Wah, ini kagak bener, kenapa elu gak bertindak Mir,” protes babe Rozak dan  babe hendak mendekati juri tapi aku tarik.
            “Jangan babe, ini sudah hari H –nya nanti kalau dipersoalkan malah jadi ribut, nanti kalau acara dibatalkan kasihan yang sudah mau tampil,” selaku sambil balik lagi ke rumah untuk memperbaiki baju dan make –upku.

            Satu persatu peserta audisi dipanggil termasuk si centil Mungkin karena merasa dirinya sudah bisa mempengaruhi para juri, si centil tampak percaya diri. Lagu terpesona keluar dari mulutnya, kututup telingaku, suara cemprengnya menyakitkan telingaku. Pendukungnya mulai bertepuk tangan , wah, suara jelek saja banyak pendukungnya padahal aku suka sekali dengan penampilan Maya dari RT sebelah, suaranya merdu tapi sedikit pendukungnya. Saat aku dipanggil , rasanya tubuhku gemetar semua, semua teori yang diberikan bu Dara , rasanya hilang semua dari kepalaku. Lagu Cinta Satu Malam terluncur dari mulutku, entah enak didengar atau tidak tapi aku melihat para juri yang tekun mendengarkan suaraku. Wajah mereka tidak tampak mengernyitkan dahinya tanda tak suka tapi kulihat kepalanya mulai bergoyang mengikuti irama lagu. Tanpa pikir panjang aku mulai berjoged dan mengajak babe Rozak untuk ke depan menemaniku berjoged. Penonton semua bersorak dan berteriak melihat babe Rozak berjoged dengan hotnya. Selesai sudah , aku turun dari panggung tampak Desi memperlihatkan kekesalannya.  Para juri bertepuk tangan sambil berdiri, aku terngaga sejenak dan kegembiraan muncul di benakku, mudah-mudahan aku bisa mengalahkan si centil!
            Menunggu pengumuman sungguh tak mengenakan, ada perasaan berdebar dan satu lagi aku yang sebetulnya gak begitu suka persaingan gak sehat dengan si centil. Pak Samsidi sebagai ketua juri naik panggung untuk mengumumkan hasil penjurian yang digabung dengan suara dari penonton.
            “Babe-babe, nyak-nyak , anak-anak dan peserta sekalian , saya ketua panitia akan mengumumkan hasil dari audisi dangdut tahun ini,” semua menatap pak Samsidi tak sabar, siapa yang mendapatkan juaranya.
            “Maya,” aku sudah duga sebelumnya memang Maya pantas mendapatkan juaranya, sampai pemenang harapan tak ada nama si centil maupun namaku. Aku melihat si centil sudah mulai muram wajahnya dan menanyakan pendukungnya apakah benar mereka pilih dirinya?
            “Desi dan Mirna,” panggilan untuk maju ke panggung. Aku menatap heran semua juara sudah dipanggil tapi kenapa masih ada yang dipanggil lagi. Pak Samsidi mengulang kembali panggilannya. Aku dan Desi perlahan naik panggung. Pak Samsidi mengatakan pada setiap perlombaan persaingan itu pasti ada tapi lebih terhormat kalau persaingan dilakukan dengan cara yang benar bukan dengan menyuap atau menyogok juri. Aku menatap Desi yang menunduk karena merasa dia telah menyuap para juri dan pemberi suara buatnya, sedangkan aku tak menyogok tapi mengapa aku juga dipanggil? Aku jadi berdebar-debar, apa aku juga akan mendapatkan malu hari ini, entahlah!Muka Desi tampak  memerah  saat penonton menyorakinya, aku merasa iba padanya dan kurangkul bahunya. Desi menatapku dan kembali menunduk.
            “Mirna, kamu juara favorit penonton,” jelas pak Samsidi, aku terpana sesaat dan sesudahnya aku meloncat kegirangan. “Hore!” aku berteriak histeris
            “ Makanya Des, kalau mau saingan dengan gue  elu jangan tulalit, pakai nih,” aku menunjuk jariku ke dahiku. Desi hanya tersenyum kecut dan kurangkul bahunya untuk menghibur hatinya.
            “Betul, saingan kok tulalit sih,” para juri kompak berseru, saingan tuh yang terhormat!”
            “Aku janji akan bersaing sehat lain kali, gak mau tulalit lagi,” sela Desi menyalami para juri yang akhirnya mengembalikan uang pemberian Desi. Patut diacungi jempol untuk para juri yang anti suap walau hanya dalam lingkungan kampung kecil!