2 Bentangan Sawah Nan Hijau

Senin, 25 Maret 2019


Semusim rindu akan alam yang hijau
Setelah banyak kesibukan
Memandangnya hijau
Seperti membuah hati damai
Indah dengan makna
Mengikat hatimu dengan pesona alam

Bentangan sawah nan hijau dari kejauhan
Dari sela-sela pohon yang menjulang
Berjuta kata akan terucap
Betapa indahnya kau saat pagi dalam kabut
Di setiap hembusan angin
Hanya ada alam dan aku

Petak-petak sawah menyapu daratan
Mengantarkan aku dalam renungan panjang
Sungguh alam memberikan pesona tersendiri
Menyentuh hati yang paling dalam
Keteduhan, keasrian
Hanya di sini di tempat ini

Cirebon, 26 Maret 2019
Di Dieng, dengan alam yang hijau

6 Cinta Anak-Anak Buat Pak tua

Senin, 18 Maret 2019


Sumber gambar dari sini  
 

Sore itu aku kembali mengunjungi pak tua. Itu sebutan baginya dari anak-anak kecil yang jadi anak asuhnya. Mungkin karena sudah tua , makanya lebih dikenal dengan sebutan pak tua. Waktu aku menanyakan nama aslinya , pak tua itu hanya menjawab, apa nama itu penting. Aku masih ingat perkenalan pertamaku dengan pak tua. Itupun secara tidak sengaja. Waktu aku pulang kampus , ban motorku kempes. Saat itu sudah malam dan kulihat tidak ada tukang tambal satupun. Akhirnya aku dorong motorku dengan susah payah menuju rumah sambil mencari tukang tambal ban.  Masihh lama aku berjalan, badanku tersa lelah sekali.
“Neng, motornya mogok?,” tanya bapak tua menghampiriku. Aku agak curiga dan takut karena penampilannya yang kumal dan lusuh. Mungkin pak tua itu melihat keraguanku.
“Jangan takut neng, “ kata bapak tua itu lagi. Aku memandangnya sekali lagi tapi kulihat matanya tulus.
“Iya, pak bannya kempes,” kataku lagi. Pak tua itu mendorong motorku ke sebuah rumah kecil dari bilik di balik jalan besar yang tadi kulalui. Pak Tua itu bilang kalau rumah bilik kecil itu miliknya. Aku mengamati rumah kecil dan saat pak tua itu memperbaiki banku yang bocor, dari rumah bilik itu keluar anak-anak yang masih kecil, memandangku dengan tatapan heran.
“Siapa anak-anak itu pak, anak bapak?,” tanyaku heran, karena dilihat usia bapak tua itu gak mungkin masih punya anak-anak kecil, atau cucunya.
“Oh, itu anak-anak asuh saya,: katanya lagi. Sambil membetulkan banku yang bocor , pak tua itu mulai bercerita. Pak Tua itu ternyata berhati mulia, anak-anak yang ditemui di jalan dan tidak diketahui siapa orangtuanya diajak tinggal bersamanya . Dan pak tua juga menyekolahkan mereka. Jadi anak-anak itu gantian mengamen, kalau yang sekolah pagi, mereka ngamen siang hari dan yang sekolah siang mereka mengamen pagi hari. Segala pekerjaan halal yang bisa mereka lakukan, mereka lakukan. Uangnya dikumpulkan untuk keperluan mereka bersama. Tak terasa  pak tua itu berhasil membetulkan banku yang kempes dan aku berpamitan pulang dan menanyakan apa aku boleh sering berkunjung ke tempatnya.
“Dengan senang hati, kalau neng mau sering berkunjung kemari,”kata pak tua. Aku melangkahkan kakiku dengan sejuta rasa bagi pak tua yang sudah mau mengasuh anak-anak yang sudah kehilangan orangtuanya padahal mereka bukan darah dagingnya sendiri, luar biasa.

Akhirnya aku sering berkunjung dengan pak tua ini dan bergaul dengan anak-anak asuhnya. Kadang aku bawakan mereka makanan dan bercerita dan sekali-kali aku mengajarkan mereka pelajaran yang mereka belum mengerti. Persahabatan terjalin antara aku, anak-anak dan pak tua.
“Kak Ara, gimana rasanya enak gak sih kalau punya orangtua?,” tanya Isah perlahan sambil menatapku penuh keingintahuan. Aku terdiam lama , tak mampu untuk menjawabnya
“Isah, kamu sudah punya pak tua , beliau sayang dengan kalian, itulah orang tua yang tak pernah kenal lelah mencintai anaknya,” kataku. Isah hanya mengangguk dan aku memeluknya erat sekali. Sungguh dunia tidak adil, betapa masih banyak anak yang harus kehilangan orang yang dicintainya.

Sore itu aku pulang dari memberi les di rumah Fitra, aku melihat banyak orang menngerumuni sesuatu entah apa. Waktu  ada orang yang lewati aku bertanya padanya.
“Pak, ada apa di sana?,” tanyaku.
‘Oh, ada tabrak lari mbak, kasihan korbanya bapak-bapak tua,” katanya sambil berlalu. Tiba-tiba aku ingin melihatnya, biasanya kalau ada tabrakan aku paling gak suka untuk melihat korban kecelakaan , tapi entah ada perasaan ingin melihat siapa korban tabrak lari tersebut.  Waktu aku berusaha menguak kerumunan dan sampai di depan, aku terpaku ,karena yang kulihat terbujur kaku dengan banyak luka dan darah adalah pak tua yang kukenal.
“Pak, pak, bangun, jangan tinggalkan anak-anak,” aku mulai berteriak –teriak memanggil-manggil pak tua.
“Sabar, mbak, ini keluarganya?,” tanya seseorang. Aku mengangguk.

Pagi itu semua tampak suram, di rumah bilik kecil itu, anak-anak menatap sedih pak tua yang sudah terbujur kaku di dipannya. Aku meneteskan air mataku, betapa kulihat  anak-anak itu sangat sayang pada pak tua. Mereka merebahkan kepala mereka di tubuh kaku pak tua. Sulit untuk menyuruh mereka beranjak dai tubuh pak tua. Dari pagi mereka belum sarapan. Aku dibantu dengan temanku mengurus  pemakamanan pak tua. Waktu akan menuliskan nama di batu nisannya, hanya kutuliskan Pak Tua dengan sejuta cinta untuk anak-anak.  Detik –detik tubuh rentanya diturunkan ke liang lahat, aku tak kuasa untuk tidak menangis. Tangisan haru untuk pak tua yang punya ketulusan cinta untuk anak-anak yang bukan darah dagingnya sendiri. Kutatap sekali lagi nisannya sebelum aku meninggalkan makam itu. Cinta yang sederhana dan tulus yang dimiliki pak tua membuatku merasa bahwa aku belum punya sejuta cinta yang dimiliki oleh pak tua. Cinta yang sederhana.....

2 Memandang Dalam Kesunyian

Senin, 11 Maret 2019


Iringi langkah saat aku melihat pohon yang melindungi telaga yang sunyi
Memanduku untuk terus menghampirinya
Tersirat dalam benakku ada apakah di sana
Di kejauhan air yang tenang
Dalam temaram pagi
Dengan cuitan burung –burung
Terasa seperti nyanyian indah di pagi hari
Beginilah aku memandangmu
Hanya dengan hati yang penuh cinta
Tak berpura-pura lagi
Di sana , di air yang tenang keindahanmu nyata
Nyata di pelupuk mataku
Menggambarkan alam yang sempurna
Akankah keindahan ini selalu ada
Selalu akan bisa aku pandang terus menerus
Sampai hati ini damai, damai, damai
Dalam kesunyian yang nyata
Dalam kekaguman yang nyata
Hanya ada satu keindahan dalam pandangan mataku
Indah dalm sunyi
Sendiri tapi nyata indahnya
Ingin aku peluk
Ingin aku rindukan untuk datang kembali
Memeluk keindahanmu

Cirebon, 12 Maret 2019
Masih di sudut Telaga Warna , Dieng

0 Di Antara Kebimbangan

Senin, 04 Maret 2019


Gambar dari sini 
 

Aku terpekur dalam sunyi yang panjang , berkas berkas berita acara kasus pencucian uang di kantor pajak sudah lengkap. Aku mulai mempelajari tapi tak satupun bisa masuk ke dalam pikiranku. Sebentar-bentar aku harus menarik nafas panjangku untuk mengurangi kegelisahan hatiku, tapi semuanya sia-sia belaka.
            “Rat, kalau kamu letih, istirahat dulu,”  mas Baskoro menyentuh bahuku lembut. Dia seniorku di kantor pengadilan tinggi kota Bandung. Aku hanya menatapnya sekilas dan kembali  menatap berkas-berkas ynag kupegang. Apa semua ini perbuatan ayahku? Atau ada dalang di balik korupsi di kantor pajak setempat?  Mas Baskoro datang dengan secangkir teh hangat untukku.
            “Makasih, mas,” aku menyeruput teh hangat , terasa hangat memenuhi rongga dadaku , dari tadi aku masih bergelut dengan hatiku, apakah aku sanggup berhadapan dengan ayah saat persidangan nanti???? Apa aku harus menyerahkan kasus ini kepada temanku yang lain? Astaga aku tak sanggup memikirkan dan membayangkan ayah harus berhadapan dengan jaksa penuntut yang tak lain anaknya sendiri.  Masih jelas di depan mataku malam itu ayah dijemput KPK setelah ada bukti rekaman dan foto saat ayah kepergok bersama pengusaha property di sebuah hotel dan barang bukti cek dan uang tunai sebanyak ratusan juta dalam dus . Ibu meratap dan menangis terus saat ayah di bawa oleh KPK, aku hanya mampu  tercenung lama dan sibuk menghentikan tangis ibu.Berita-berita di koran dan media televisi begitu bombastis memberitakan tertangkap tangan pegawai pajak yang menerima uang suap.  Sebetulnya aku tak sanggup menanggung malu yang begitu berat, apalagi aku termasuk jaksa penuntut yang terkenal tegas dan selalu teruji bisa memasukkan para koruputor ke dalam penjara tanpa ampun. Bayang-bayang ayah selalu berkelebat dalam pikiranku, apa yang dicari ayah selama ini???? Aku dan  mas Danang sudah beranjak dewasa dan sudah tak tergantung lagi hidup pada ayah, untuk apa lagi ayah mengambil uang yang bukan miliknya? Masih saja aku pertanyakan hal itu dalam hati kecilku, sampai sekarangpun aku masih belum mengerti mengapa ayah sampai nekad berbuat seperti ini?
            “Yuk pulang Rat, sudah sore, “  mas Baskoro mengajakku pulang. Aku segera melangkahkan kakiku di sisinya dalam diam . Aku tak punya hasrat untuk sedikit berbincang dengan mas  Baskoro, semua masih memenuhi beban pikiranku.

            Malam itu terdengar ketukan di kamarku, Ibu duduk di sebelahku .Untuk beberapa lama keheningan diantara aku dan Ibu, tak ada yang sanggup memulai percakapan .
            “Rat, jadi sudah pasti kamu yang akan jadi jaksa penuntut kasus ayahmu?” tanya ibu perlahan. Kupeluk ibu erat-erat , hanya isak yang terdengar dalam kebisuan panjang.
            “Aku bingung bu, aku harus bagaimana?” kueratkan pelukanku pada ibu, rasanya ingin aku kembali lagi saat masih kecil, ketika aku sedih  pasti aku selalu minta dipangku dan dipeluk ibu.
            “Mengapa ayah mampu melakukan semua ini bu, untuk apa, apa kita kekurangan???
            “Kan tidak bu, kita sudah cukup bu, apa lagi yang dicari ayah bu?”
            “Aku bingung, aku diantara dua pilihan yang sulit bu, aku harus bagaimana bu?” usapan tangan ibu di kepalaku sedikit mengurangi rasa resah di hati. Ibu terdiam lama dan dia mengatakan kalau aku harus berbuat dengan kata hatiku yang paling dalam , apapun resiko yang harus aku hadapi. Kutatap lama mata ibu, aku mencari sesuatu di bola matanya, tak ada seuatu yang disembunyikan dalam matanya.
            “Bu, apa ibu akan sanggup menerima saat ayah harus di penjara?” perlahan aku mengangkat tubuhku dari pelukan ibu. Kutatap lama matanya, ada kepasrahan dalam matanya. Ibu mengaangguk walau air matanya terjatuh dalam isak yang tak terdengar. Aku tahu ibu juga berperang dalam batinnya. Dulu ibu mengajarkan aku untuk berani berbuat untuk kebenaran, sekarang waktunya aku membuktikan nasihat ibu.
            “Nak, kuatkan hatimu, ibu akan terus mendampingimu, jangan lupa berdoa minta petunjukNya,” kembali kupeluk ibu lebih erat dari semula, semoga aku kuat . Aduh ,lakon apa lagi yang harus kumainkan?


            Pagi itu aku sudah siap berangkat ke kantor, kulihat mobil mas  Danang kakakku datang dan dia terburu-buru masuk ke dalam rumah.
            “Ratih, hentikan kamu mau memasukkan ayah ke penjara, pikir Ratih ,pikir seribu kali dulu, sebelum kamu mengambil keputusan ini!”teriak mas Danang. Aku tatap matanya, ada amarah di matanya, aku tahu jika ayah masuk penjara maka reputasi mas Danang sebagai pengusaha sukses bisa hancur.
            “Tapi, aku harus bagaimana lagi mas, aku tak mungkin meloloskan ayah, semua bukti menunjukan kalau ayah memang menerima uang itu. “ Gemetar aku berbicara dengan mas Danang, alangkah dia tak mengerti bagaimana kalau mas Danang ada dalam posisinya, itu tidak mudah!!!!! Mas Danang memberikan alternatif agar aku bisa menyelamatkan ayah, semua itu mas Danang bicarakan dengan emosi .
            “Sudah, jangan berteriak begitu Danang , biar Ratih yang mengambil keputusan itu,” ibu menengahi .
            “Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu Ratih, apa kamu tidak malu kalau ayah masuk penjara?”
            “Ya , malu tapi aku harus bisa profesional mas,” kataku sambil melangkah meninggalkan mas Danang yang masih marah besar.


            Pagi itu sebelum sidang dimulai, aku sempatkan menjenguk ayah di selnya.Aku terkesima melihat wajah tirus ayah, hati kecilku menangis , kalau sebentar lagi aku akan memasukkan ayahku sendiri ke dalam jeruji penjara.
            “Pagi yah, ayah sehat ?” aku memeluknya. Ayah terdiam lama dan kurasakan ada air matanya yang menetes di bahuku. Rasanya hati ini benar-benar sakit , ingin kuberlari entah kemana asalkan aku tak harus ada di hadapan ayah.
            “Ayah, maafkan aku,aku...aku...,” aku tak sanggup lagi meneruskan kata-kataku , hanya isak yang keluar dari mulutku.Mas  Baskoro menarikku dan menyuruhku untuk bersiap-siap karena sidang akan dimulai.  Ruang sidang tampak lenggang hanya awak media televisi dan wartawan yang hadir dan aku melihat ibu duduk di baris terdepan . Aku harus kuat, aku tidak boleh menangis saat sidang. Tanganku digenggam  mas Baskoro, aku melihatnya menganggukan kepalanya padaku untuk menguatkan hatiku.
            “Ratih, aku yakin kamu bisa, kuatkan sayang,” kata-kata mas Baskoro tadi meringankan langkahku masuk ke dalam ruang sidang. Aku menganggukan kepalaku kepada hakim dan mulai duduk di mejaku. Sungguh sidang selama hampir tiga jam begitu alot , begitu banyak perdebatan yang muncul,tanpa tedeng aling-aling aku mulai mendesak dengan banyak bukti yang aku dapatkan. Sebentar-bentar aku melirik ayah, yang tampak diam dan hanya sekali-kali berkata iya atau tidak. Jeda istirahat sebelum hakim memutuskan hukuman bagi ayah, aku belari ke ruang belakang dan menangis perlahan.
            “Ratih, tak apa, ayah memang salah, biar ayah menanggungnya di penjara, hanya ayah titip ibumu nak,” aku menoleh , kulihat ayah menatapku lama dan air matanya tergenang di pelupuknya, aku menubruknya dan memeluknya lama sekali, sampai terdengar lagi kalau sidang akan dimulai lagi. Aku segera membersihkan air mataku dan kembali ke ruang sidang.  Penjara sepuluh tahun lebih ringan lima tahun karena prilaku yang baik , sopan dan sebelumnya tidak pernah bermasalah dengan hukum.


            Dilema itu berlalu , hatiku sudah bicara kebenaran walau itu sangat menyakitkan melihat ayah harus terkurung dalam penjara. Setiap saat aku selalu menengok ayah dan memberikan ayah kesibukan . Kebahagiaan aku terpancar saat ayah begitu banyak dipercaya di penjara untuk membantu napi-napi lainnya . Banyak kegitan yang diikuti ayah di penjara bahkan ayah mengambil kuliah kelas jauh yang diadakan di Lembaga Permasyarakatan . Sekarang aku bisa tersenyum puas, ternyata segala sesuatu yang dilakukan untuk kebenaran tidak selalu pahit akhirnya.