Cinta Anak-Anak Buat Pak tua

Senin, 18 Maret 2019


Sumber gambar dari sini  
 

Sore itu aku kembali mengunjungi pak tua. Itu sebutan baginya dari anak-anak kecil yang jadi anak asuhnya. Mungkin karena sudah tua , makanya lebih dikenal dengan sebutan pak tua. Waktu aku menanyakan nama aslinya , pak tua itu hanya menjawab, apa nama itu penting. Aku masih ingat perkenalan pertamaku dengan pak tua. Itupun secara tidak sengaja. Waktu aku pulang kampus , ban motorku kempes. Saat itu sudah malam dan kulihat tidak ada tukang tambal satupun. Akhirnya aku dorong motorku dengan susah payah menuju rumah sambil mencari tukang tambal ban.  Masihh lama aku berjalan, badanku tersa lelah sekali.
“Neng, motornya mogok?,” tanya bapak tua menghampiriku. Aku agak curiga dan takut karena penampilannya yang kumal dan lusuh. Mungkin pak tua itu melihat keraguanku.
“Jangan takut neng, “ kata bapak tua itu lagi. Aku memandangnya sekali lagi tapi kulihat matanya tulus.
“Iya, pak bannya kempes,” kataku lagi. Pak tua itu mendorong motorku ke sebuah rumah kecil dari bilik di balik jalan besar yang tadi kulalui. Pak Tua itu bilang kalau rumah bilik kecil itu miliknya. Aku mengamati rumah kecil dan saat pak tua itu memperbaiki banku yang bocor, dari rumah bilik itu keluar anak-anak yang masih kecil, memandangku dengan tatapan heran.
“Siapa anak-anak itu pak, anak bapak?,” tanyaku heran, karena dilihat usia bapak tua itu gak mungkin masih punya anak-anak kecil, atau cucunya.
“Oh, itu anak-anak asuh saya,: katanya lagi. Sambil membetulkan banku yang bocor , pak tua itu mulai bercerita. Pak Tua itu ternyata berhati mulia, anak-anak yang ditemui di jalan dan tidak diketahui siapa orangtuanya diajak tinggal bersamanya . Dan pak tua juga menyekolahkan mereka. Jadi anak-anak itu gantian mengamen, kalau yang sekolah pagi, mereka ngamen siang hari dan yang sekolah siang mereka mengamen pagi hari. Segala pekerjaan halal yang bisa mereka lakukan, mereka lakukan. Uangnya dikumpulkan untuk keperluan mereka bersama. Tak terasa  pak tua itu berhasil membetulkan banku yang kempes dan aku berpamitan pulang dan menanyakan apa aku boleh sering berkunjung ke tempatnya.
“Dengan senang hati, kalau neng mau sering berkunjung kemari,”kata pak tua. Aku melangkahkan kakiku dengan sejuta rasa bagi pak tua yang sudah mau mengasuh anak-anak yang sudah kehilangan orangtuanya padahal mereka bukan darah dagingnya sendiri, luar biasa.

Akhirnya aku sering berkunjung dengan pak tua ini dan bergaul dengan anak-anak asuhnya. Kadang aku bawakan mereka makanan dan bercerita dan sekali-kali aku mengajarkan mereka pelajaran yang mereka belum mengerti. Persahabatan terjalin antara aku, anak-anak dan pak tua.
“Kak Ara, gimana rasanya enak gak sih kalau punya orangtua?,” tanya Isah perlahan sambil menatapku penuh keingintahuan. Aku terdiam lama , tak mampu untuk menjawabnya
“Isah, kamu sudah punya pak tua , beliau sayang dengan kalian, itulah orang tua yang tak pernah kenal lelah mencintai anaknya,” kataku. Isah hanya mengangguk dan aku memeluknya erat sekali. Sungguh dunia tidak adil, betapa masih banyak anak yang harus kehilangan orang yang dicintainya.

Sore itu aku pulang dari memberi les di rumah Fitra, aku melihat banyak orang menngerumuni sesuatu entah apa. Waktu  ada orang yang lewati aku bertanya padanya.
“Pak, ada apa di sana?,” tanyaku.
‘Oh, ada tabrak lari mbak, kasihan korbanya bapak-bapak tua,” katanya sambil berlalu. Tiba-tiba aku ingin melihatnya, biasanya kalau ada tabrakan aku paling gak suka untuk melihat korban kecelakaan , tapi entah ada perasaan ingin melihat siapa korban tabrak lari tersebut.  Waktu aku berusaha menguak kerumunan dan sampai di depan, aku terpaku ,karena yang kulihat terbujur kaku dengan banyak luka dan darah adalah pak tua yang kukenal.
“Pak, pak, bangun, jangan tinggalkan anak-anak,” aku mulai berteriak –teriak memanggil-manggil pak tua.
“Sabar, mbak, ini keluarganya?,” tanya seseorang. Aku mengangguk.

Pagi itu semua tampak suram, di rumah bilik kecil itu, anak-anak menatap sedih pak tua yang sudah terbujur kaku di dipannya. Aku meneteskan air mataku, betapa kulihat  anak-anak itu sangat sayang pada pak tua. Mereka merebahkan kepala mereka di tubuh kaku pak tua. Sulit untuk menyuruh mereka beranjak dai tubuh pak tua. Dari pagi mereka belum sarapan. Aku dibantu dengan temanku mengurus  pemakamanan pak tua. Waktu akan menuliskan nama di batu nisannya, hanya kutuliskan Pak Tua dengan sejuta cinta untuk anak-anak.  Detik –detik tubuh rentanya diturunkan ke liang lahat, aku tak kuasa untuk tidak menangis. Tangisan haru untuk pak tua yang punya ketulusan cinta untuk anak-anak yang bukan darah dagingnya sendiri. Kutatap sekali lagi nisannya sebelum aku meninggalkan makam itu. Cinta yang sederhana dan tulus yang dimiliki pak tua membuatku merasa bahwa aku belum punya sejuta cinta yang dimiliki oleh pak tua. Cinta yang sederhana.....

6 komentar:

Ahmad Dzikrullah Says:
18 Maret 2019 pukul 16.40

ceritanya bikin sedihh dan menginspirasi sekali ..

Tira Soekardi Says:
19 Maret 2019 pukul 12.18

iya mas ahmad, hebat pak tua dalam keterbatasannya mampu mempunyai anak asuh

Bondan Murdani Soleh Says:
22 Maret 2019 pukul 04.07

T_T. Sedih ya.
Btw
Namanya panjang. Apakah tulisan di nisannya cukup?

Tira Soekardi Says:
22 Maret 2019 pukul 12.47

itu bisa diakali mas bondan

kutukamus Says:
23 Maret 2019 pukul 05.42

Suka dengan moral ceritanya, Bu Tira :)

Tira Soekardi Says:
24 Maret 2019 pukul 12.21

kutukamus, makasih

Posting Komentar