Di Antara Kebimbangan

Senin, 04 Maret 2019


Gambar dari sini 
 

Aku terpekur dalam sunyi yang panjang , berkas berkas berita acara kasus pencucian uang di kantor pajak sudah lengkap. Aku mulai mempelajari tapi tak satupun bisa masuk ke dalam pikiranku. Sebentar-bentar aku harus menarik nafas panjangku untuk mengurangi kegelisahan hatiku, tapi semuanya sia-sia belaka.
            “Rat, kalau kamu letih, istirahat dulu,”  mas Baskoro menyentuh bahuku lembut. Dia seniorku di kantor pengadilan tinggi kota Bandung. Aku hanya menatapnya sekilas dan kembali  menatap berkas-berkas ynag kupegang. Apa semua ini perbuatan ayahku? Atau ada dalang di balik korupsi di kantor pajak setempat?  Mas Baskoro datang dengan secangkir teh hangat untukku.
            “Makasih, mas,” aku menyeruput teh hangat , terasa hangat memenuhi rongga dadaku , dari tadi aku masih bergelut dengan hatiku, apakah aku sanggup berhadapan dengan ayah saat persidangan nanti???? Apa aku harus menyerahkan kasus ini kepada temanku yang lain? Astaga aku tak sanggup memikirkan dan membayangkan ayah harus berhadapan dengan jaksa penuntut yang tak lain anaknya sendiri.  Masih jelas di depan mataku malam itu ayah dijemput KPK setelah ada bukti rekaman dan foto saat ayah kepergok bersama pengusaha property di sebuah hotel dan barang bukti cek dan uang tunai sebanyak ratusan juta dalam dus . Ibu meratap dan menangis terus saat ayah di bawa oleh KPK, aku hanya mampu  tercenung lama dan sibuk menghentikan tangis ibu.Berita-berita di koran dan media televisi begitu bombastis memberitakan tertangkap tangan pegawai pajak yang menerima uang suap.  Sebetulnya aku tak sanggup menanggung malu yang begitu berat, apalagi aku termasuk jaksa penuntut yang terkenal tegas dan selalu teruji bisa memasukkan para koruputor ke dalam penjara tanpa ampun. Bayang-bayang ayah selalu berkelebat dalam pikiranku, apa yang dicari ayah selama ini???? Aku dan  mas Danang sudah beranjak dewasa dan sudah tak tergantung lagi hidup pada ayah, untuk apa lagi ayah mengambil uang yang bukan miliknya? Masih saja aku pertanyakan hal itu dalam hati kecilku, sampai sekarangpun aku masih belum mengerti mengapa ayah sampai nekad berbuat seperti ini?
            “Yuk pulang Rat, sudah sore, “  mas Baskoro mengajakku pulang. Aku segera melangkahkan kakiku di sisinya dalam diam . Aku tak punya hasrat untuk sedikit berbincang dengan mas  Baskoro, semua masih memenuhi beban pikiranku.

            Malam itu terdengar ketukan di kamarku, Ibu duduk di sebelahku .Untuk beberapa lama keheningan diantara aku dan Ibu, tak ada yang sanggup memulai percakapan .
            “Rat, jadi sudah pasti kamu yang akan jadi jaksa penuntut kasus ayahmu?” tanya ibu perlahan. Kupeluk ibu erat-erat , hanya isak yang terdengar dalam kebisuan panjang.
            “Aku bingung bu, aku harus bagaimana?” kueratkan pelukanku pada ibu, rasanya ingin aku kembali lagi saat masih kecil, ketika aku sedih  pasti aku selalu minta dipangku dan dipeluk ibu.
            “Mengapa ayah mampu melakukan semua ini bu, untuk apa, apa kita kekurangan???
            “Kan tidak bu, kita sudah cukup bu, apa lagi yang dicari ayah bu?”
            “Aku bingung, aku diantara dua pilihan yang sulit bu, aku harus bagaimana bu?” usapan tangan ibu di kepalaku sedikit mengurangi rasa resah di hati. Ibu terdiam lama dan dia mengatakan kalau aku harus berbuat dengan kata hatiku yang paling dalam , apapun resiko yang harus aku hadapi. Kutatap lama mata ibu, aku mencari sesuatu di bola matanya, tak ada seuatu yang disembunyikan dalam matanya.
            “Bu, apa ibu akan sanggup menerima saat ayah harus di penjara?” perlahan aku mengangkat tubuhku dari pelukan ibu. Kutatap lama matanya, ada kepasrahan dalam matanya. Ibu mengaangguk walau air matanya terjatuh dalam isak yang tak terdengar. Aku tahu ibu juga berperang dalam batinnya. Dulu ibu mengajarkan aku untuk berani berbuat untuk kebenaran, sekarang waktunya aku membuktikan nasihat ibu.
            “Nak, kuatkan hatimu, ibu akan terus mendampingimu, jangan lupa berdoa minta petunjukNya,” kembali kupeluk ibu lebih erat dari semula, semoga aku kuat . Aduh ,lakon apa lagi yang harus kumainkan?


            Pagi itu aku sudah siap berangkat ke kantor, kulihat mobil mas  Danang kakakku datang dan dia terburu-buru masuk ke dalam rumah.
            “Ratih, hentikan kamu mau memasukkan ayah ke penjara, pikir Ratih ,pikir seribu kali dulu, sebelum kamu mengambil keputusan ini!”teriak mas Danang. Aku tatap matanya, ada amarah di matanya, aku tahu jika ayah masuk penjara maka reputasi mas Danang sebagai pengusaha sukses bisa hancur.
            “Tapi, aku harus bagaimana lagi mas, aku tak mungkin meloloskan ayah, semua bukti menunjukan kalau ayah memang menerima uang itu. “ Gemetar aku berbicara dengan mas Danang, alangkah dia tak mengerti bagaimana kalau mas Danang ada dalam posisinya, itu tidak mudah!!!!! Mas Danang memberikan alternatif agar aku bisa menyelamatkan ayah, semua itu mas Danang bicarakan dengan emosi .
            “Sudah, jangan berteriak begitu Danang , biar Ratih yang mengambil keputusan itu,” ibu menengahi .
            “Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu Ratih, apa kamu tidak malu kalau ayah masuk penjara?”
            “Ya , malu tapi aku harus bisa profesional mas,” kataku sambil melangkah meninggalkan mas Danang yang masih marah besar.


            Pagi itu sebelum sidang dimulai, aku sempatkan menjenguk ayah di selnya.Aku terkesima melihat wajah tirus ayah, hati kecilku menangis , kalau sebentar lagi aku akan memasukkan ayahku sendiri ke dalam jeruji penjara.
            “Pagi yah, ayah sehat ?” aku memeluknya. Ayah terdiam lama dan kurasakan ada air matanya yang menetes di bahuku. Rasanya hati ini benar-benar sakit , ingin kuberlari entah kemana asalkan aku tak harus ada di hadapan ayah.
            “Ayah, maafkan aku,aku...aku...,” aku tak sanggup lagi meneruskan kata-kataku , hanya isak yang keluar dari mulutku.Mas  Baskoro menarikku dan menyuruhku untuk bersiap-siap karena sidang akan dimulai.  Ruang sidang tampak lenggang hanya awak media televisi dan wartawan yang hadir dan aku melihat ibu duduk di baris terdepan . Aku harus kuat, aku tidak boleh menangis saat sidang. Tanganku digenggam  mas Baskoro, aku melihatnya menganggukan kepalanya padaku untuk menguatkan hatiku.
            “Ratih, aku yakin kamu bisa, kuatkan sayang,” kata-kata mas Baskoro tadi meringankan langkahku masuk ke dalam ruang sidang. Aku menganggukan kepalaku kepada hakim dan mulai duduk di mejaku. Sungguh sidang selama hampir tiga jam begitu alot , begitu banyak perdebatan yang muncul,tanpa tedeng aling-aling aku mulai mendesak dengan banyak bukti yang aku dapatkan. Sebentar-bentar aku melirik ayah, yang tampak diam dan hanya sekali-kali berkata iya atau tidak. Jeda istirahat sebelum hakim memutuskan hukuman bagi ayah, aku belari ke ruang belakang dan menangis perlahan.
            “Ratih, tak apa, ayah memang salah, biar ayah menanggungnya di penjara, hanya ayah titip ibumu nak,” aku menoleh , kulihat ayah menatapku lama dan air matanya tergenang di pelupuknya, aku menubruknya dan memeluknya lama sekali, sampai terdengar lagi kalau sidang akan dimulai lagi. Aku segera membersihkan air mataku dan kembali ke ruang sidang.  Penjara sepuluh tahun lebih ringan lima tahun karena prilaku yang baik , sopan dan sebelumnya tidak pernah bermasalah dengan hukum.


            Dilema itu berlalu , hatiku sudah bicara kebenaran walau itu sangat menyakitkan melihat ayah harus terkurung dalam penjara. Setiap saat aku selalu menengok ayah dan memberikan ayah kesibukan . Kebahagiaan aku terpancar saat ayah begitu banyak dipercaya di penjara untuk membantu napi-napi lainnya . Banyak kegitan yang diikuti ayah di penjara bahkan ayah mengambil kuliah kelas jauh yang diadakan di Lembaga Permasyarakatan . Sekarang aku bisa tersenyum puas, ternyata segala sesuatu yang dilakukan untuk kebenaran tidak selalu pahit akhirnya.

0 komentar:

Posting Komentar