Dalam Senyapnya Malam

Senin, 03 Desember 2018


Gambar dari sini 
 

Aku langkahkan kaki sepanjang pematang sawah, mentari tepat di atas kepala saatnya aku mengantarkan makan siang untuk kang Arif. 
            “Bade kamana teh1?” tanya bi Arum.
            “Biasa bi, nganteurkeun ieu2 ,” aku menunjukkan rantang makan siang kang Arif. Dari kejauhan kang Arif sudah melambaikan tangannya, kang Arif selalu tepat beristirahat saat solat duhur tiba, tak pernah lupa, setelah itu dia akan makan makan siangnya. Melihat kang Arif makan dengan lahap, membuatku tersenyum. Aku memandangnya perlahan , kang Arif adalah suami yang bertanggung jawab , itu sudah pasti, lahan sawah yang kecil ini dikelolanya dengan baik  dan ternak dombanyajuga  untuk memenuhi kebutuhan aku dan anak-anakku. Walau sedikit dan tidak berlimpah kang Arif selalu mensyukuri nikmat yang diberikan Allah padanya. Dulu aku tak pernah mengeluh, walau hasil yang didapat tak begitu banyak, karena kebahagiaan bukan hanya dilihat dari materi, sampai kang Sapto tetanggaku yang berangkat ke Jakarta untuk bekeja di sana. Belum genap satu tahun, kang Sapto sudah bisa membangun rumah untuk anak istrinya .Ada sedikit rasa iri dalam hatiku.
            “Mengapa melamun saja ?” kang Arif menatapku tajam, aku menghela nafas.
            “Kang, gak kepengen seperti kang Sapto bekerja di Jakarta?. Lihat dia sudah bisa bangun rumah dan membelikan baju dan perhiasan buat keluarganya, belum lagi uang .” aku sedikit malu mengutarakannya pada kang Arif, aku takut tersinggung. Aku melihat kang Arif menghela nafas sebelum kang Arif mengatakan sesuatu padaku.
            “Bersyukurlah terhadap apa yang sudah kita terima,Imah, mungkin tidak bisa mewah seperti kang Sapto, tapi selama ini kita tak pernah kekurangan, lagipula, tanah ini harus ada yang garap, siapa lagi kalau bukan kita sebagai warga desa ini,” tukas kang Arif. Aku terdiam lama, sebetulnya masih ingin aku membujuk kang Arif untuk mau bekerja di kota, masalah sawah juga bisa menyuruh orang  lain . Dan ini sudah kali ketiga aku membujuknya tapi kang Arif tak pernah tertarik pergi ke kota Jakarta.

            Aku tak pernah membujuk kang Arif  lagi karena aku sudah tahu pendiriannya , teguh tetap akan menggarap sawah dan ternak dombanya. Memang ternak dombanya semakin banyak dan sudah ada beberapa pelanggan yang akan membeli domba dari hasil ternak kang Arif. Aku melihat kang Arif tak pernah tergoda dengan kehidupan kang Sapto, kang Arif selalu menyuruhku untuk tetap bersyukur . Siang itu , pulang dari sawah, aku melihat rumah kang Sapto begitu ramai dikerumuni warga.
            “Ada apa?”.
            “Polisi mau nangkap kang Sapto, katanya sekarang  buron,” kata salah satu w arga .  Kang Sapto ternyata mendapatkan uang bukan dengan cara yang halal, dia ikut kawanan perampok di Jakarta.  Malam hari di kesunyian malam, aku merasakan  malu pada diriku , yang dulu iri terhadap kehidupan orang lain dan tak mensyukuri hidupku. Kini aku sadar  untuk selalu mensyukuri hidupku yang akan membawa berkah tersendiri.

1= mau kemana kak?
2=mau mengantarkan ini.

2 komentar:

Bang Day Says:
14 Desember 2018 pukul 01.22

Seperti kata pepatah yah, rumput tetangga selalu lebih hijau

Tira Soekardi Says:
14 Desember 2018 pukul 11.17

betul mas day

Posting Komentar