Dunia Kecil Kardi

Jumat, 17 November 2017



Gambar dari sini 
 

Udara pagi di desa Paniis masih menyelimuti. Kabut masih membayangi desa itu. Matahari belum berani muncul tapi Kardi sudah berangkat ke sawahnya. Sebelumnya segelas kopi hangat sudah disediakan istrinya. Sesapan pertama dan selanjutnya memberikan kehangatan pada tubuh Kardi.
            “Kang, hari ini aku mau bantu kang Ardi panen padi, lumayan uangnya buat bayar uang sekolah anak-anak,”tukas Ina istrinya. Kardi hanya mengangguk , diam membiarkan istrinya membantunya bekerja karena kebutuhan anak sekolah makin meningkat. Kardi ingin anak-anaknya lebih pintar dari dirinya. Kardi bangkit dari duduknya dan berpamitan pergi ke sawah dan kebunnya.
            “Angkat heula pak1,”tukas Asep dan Ika mencium tangan bapaknya. Kardi mengelus kedua kepala anaknya.
            “Tah, belajar yang rajin.” Kedua anaknya mengangguk dan berangkat ke sekolah. Mereka harus berjalan sekitar setengah jam untuk sampai ke sekolah mereka. Sementara itu Kardi bersiap untuk pergi ke sawah. Istrinya membawakan rantang untuk makan siangnya.
            “Hati-hati akang.” Kardi berangkat dan menyusuri kampung Paniis. Sesampainya dekat sawahnya , dia melihat lagi beberapa orang yang masuk ke hutan . Sangat mencurigakan karena dia tak mengenal orang-orang itu. Kardi memperkirakan mereka berasal dari luar Paniis. Hutan itu adalah hutan lindung yang menajdi atnggung jawab kecamatan . Masarakat tahu kalau hutan itu dilindungi dan pohon tersebut tidak boleh ditebang karena hutan itu sebagai penyerap air , sebagai pertahanan hutan. Tapi sudah beberapa kali Kardi melihat beberapa orang masuk  ke dalam hutan dan mereka sangat mencurigakan. Kardi berniat siang nanti ingin melihat apa yang dilakukan mereka di dalam hutan.

            Kardi memperhatikan banyak orang yang menebang pohon dengan gergaji mesin. Dalam waktu sekejap, pohon-pohon itu berjatuhan . Masing-masing pohon dipotong menjadi gelondongan yang lebih kecil .Gelondongan kayu ditumpuk di suatu tempat yang luas. Ini perlu dilaporkan pada pak camat, pikir Kardi. Kardi diam-diam beranjak dari persembunyian, tapi Kardi tak melihat ada seseorang yang melihatnya keluar dari persembunyiannya.Kardi kembali ke sawahnya. Sementara itu Bahrun yang melihat Kardi keluar dari persembunyian mencari Dulpadi .
            “Dul, kita perlu hati-hati dengan Kardi, barusan aku lihat dia melihat kegiatan kita di sini,”tukas Bahrun . Dulpadi terdiam. Satu lagi yang harus dia pikirkan,karena menurut bosnya kegiatan ini jangan sampai diketahui oleh warga karena ini ilegal. Dulpadi dan Bahrun memang warga setempat yang direkrut untuk melindungi kegiatan ini, tentunya dengan imbalan yang  besar.
            “Gimana Dul kamu tahu sendiri kang Kardi orang yang jujur dan saklek,”tukas Bahrun.
            “Jangan lupa kamu harus amati kang Kardi mulai dari sekarang, biar kita tahu langkah apa yang bisa kita lakukan.” Bahrun mengangguk setuju.
            “Hai, hati-hati,”teriak Bahrun saat ada kayu yang terjatuh di sisinya. Suara-suara mesin masih terdengar keras. Baharun harus berteriak saat bicara dengan Dulpadi.
            “Mungkin mulai besok kita hentikan dulu sementara waktu sambil kamu amati kang Kardi.” Mereka berdua mulai kembali kerja dan sekali-kali meneriakan perintah pada pekerja.

            Pagi itu sebelum ke sawah  Kardi mampir sebentar ke kecamatan di Pesawahan . Dia ingin bertemu dengan pak camat . Menunggu lama untuk bisa bertemu dengan pak camat bukan hal baru. Alasan sibuk masih di lapangan selalu mampir bagi warga yang perlu urusan dengan pak camat. Hampir siang baru tampak pak camat datang. Begitulah , setiap pimpinan merasa tak perlu datang lebih pagi , padahal banyak yang ingin bertemu dengannya. Gampang tinggal  memberi alasan masih di lapangan atau kesibukan yang bisa menjadi alasan jitu dan klise.
            “Siang pak,”tukas Kardi. Pak camat hanya memandang sekilas. Dia menyuruh sekretarisnya untuk menanyakan maksud kedatangan Kardi. Kardi melaporkan apa yang dia lihat di hutan lindung  kemarin. Saat pak camat tak percaya dengan apa yang Kardi lihat, Kardi meyakinkan kalau dia melihat dengan mata kepalanya sendiri.
            “Kamu berani bertanggung jawab dengan apa yang kamu lihat,”:tukas pak camat.
            “Leres pak2, “tukas Kardi mantap. Pak camat menjanjikan esok dia dan aparatnya akan memeriksa ke hutan. Kardi merasa lega, orang-orang itu harus diberi pelajaran agar hutan di kampungnya tak musnah.Kardi sangat tahu kaalu hutan hilang akan terjadi bencana pada kampungnya. Tapi kenyataan yang Kardi lihat sendiri membuatnya dia dianggap membuat laporan palsu. Kardi tak habis pikir padahal dia benar-benar melihat kegiatan penenbangan pohon dengan mata kepalanya sendiri bukan kata orang lain. Saat itu ketika Kardi bersama aparat kecamatan datang ke dalam hutan tak ada satupun orang di sana bahkan gelondongan kayu yang ada di sanapun sudah tak ada. Kardi merasa heran.
            “Mana  katamu ada penebangan liar. Tak ada kegiatan apapun di hutan,” tukas polisi yang dibawa ke sana juga.
            “Leres pak, aku melihatnya sendiri . Di sini , banyak alat-alat berat.” Kardi memandangi sekali lagi, tak ada satupun alat berat yang tampak di hadapanya, tapi sisa-sisa kayu kecil masih tampak tertinggal dan tunggul bawah kayu yang tersisa masih ada.
            “Pak, ini kan bekas pemotongan kayu ,”tukas Kardi memperlihakan tunggul bawah kayu.Setiap mata melihat apa yang ditunjuk oleh Kardi tapi mereka seperti tidak peduli dengan bukti kecil yang ditunjuk Kardi
            “Bukti seperti itu tak bisa menangkap pelaku,”tukas pak Polisi. Pak polisi akhirnya menghentikan pemeriksaan. Kardi sangat kecewa, apalagi dia dianggap memberi laporan palsu segala.

            “Kang, tadi banyak orang bilang akang memberi laporan palsu ke pak camat. Benar kang?” Kardi menceritakan pada istrinya kalau yang dia laporkan benar adanya .
            “Tapi kunaon3 , orang-orang teh bisa beranggapan seperti itu kang?” Istrinya menuangkan kembali air putih pada gelas suaminya. Kardi tampak mengehela nafas berat, dia merasa ada keganjilan dalam kasus ini, seperti ada yang ditutupinya.
            “Apa mungkin aparat juga berkomplot kang,”tukas istrinya lagi. Kardi terhenyak saat istrinya mengatakan itu, tak ada pikirannya sampai seperti yng dipikirkan istrinya. Mungkin ada benarnya  apa yang dikatakan oleh istrinya. Terbukti saat ada pemriksaan mereka sudah siap sedia dengan cara mengosongkan area sehingga saat pemeriksaan tak ada bukti sama sekali.
            “Kang?” Pertanyaan istrinya tak terlewatkan saja, Kardi segera keluar dar rumahnya Istrinya hanya duduk  terdiam , dia tahu ada yang tak beres dari cerita suaminya. Kardi menuju rumah pak Karta sesepuh di desa Paniis. Kardi menceritakan apa yang dilihatnya dan dia tak memberikan laporan palsu seperti apa yang dikatakan banyak orang.
            “Kardi, aku juga diberitahu aparat dari kecamatan.”
            “Bapak percayanya dengan siapa?” Kardi menatap penuh harap pada pak Karta, karena kalau sesepuh di desa ini percaya dengannya, dia merasa aman karena masih ada yang percaya dengan dirinya. Tapi sebaliknya kalau pak Karta tak percaya dengan dirinya, hancurlah dirinya. Lama tak ada suara diantara mereka berdua,masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
            “Abdi teh teu terang atuh. Mau nyarios apa atuh4 ,” tukas pak Karta skeptis. Kardi memandang kecewa pada pak Karta yang dia harapkan percaya pada dirinya. Kardi pulang dengan langkah gontai.Banyak hal yang berkecamuk dalam pikirannya dan dia tahu akan ada hal yang besar terjadi pada dirinya tapi entah apa , dia tak tahu.

            Sore itu sepulang dari sawah, rumahnya begitu ramai dikerubungi orang . Ada perasaan tak enak di hatinya. Kardi menyeruak dari kerumunan orang-orang. Di dalam rumahnya sudah ada dua  polisi, aparat kecamatan dan pakKarta.
            “Aya naon ieu teh5,” tanya Kardi. Kardi melihat istrinya merangkul kedua anaknya sambil menangis.
            “Bapak ditangkap karena memberikan laporan palsu,”tukas salah satu polisi. Kardi terpana sejenak dan ini yang benar-benar ia takutkan terjadi juga. Kardi  menatap istrinya dengan perasaan yang ia sendiri tak bisa mengungakapkan dengan jelas. Seharusnya dia  tak perlu mengungkapkan kebenaran kalau ini yang harus terjadi pada dirinya. Lihat, bagaimana sekarang anak dan istrinya. Bagaimana mereka kalau dirinya tak ada????? Bagaimana dengan sawah dan kebunnya. Ina tak pantas mengerjakan sendiri, dia harus ada bersamanya.Kardi menahan air matanya agar tak keluar. Kardi pasrah digelandang polisi. Terdengar suara jeritan istri dan anak-anaknya.
            “Titip barudak jeung teh Ina6,” tukas Kardi saat melewati adik bungsunya. Tak dipungkiri lagi Kardi merasa ada kejanggalan . Mengapa dia disebut memberikan laporan palsu?????  Dan Kardi merasa heran karena dia bukan digelandang ke kantor polisi tapi ke sebuah gudang yang gelap. Kardi dikunci di gudang gelap itu. Kardi terbangun karena perutnya terasa lapar. Dia tak tahu apa hari sudah siang atau masih malam karena  gudang itu tak ada jendela dan penerangan. Hanya ada sedikit sinar dari bawah pintu, itupun hanya sedikit. Kardi berusaha melepaskan ikatan di kaki dan tangannya, tapi ikatannya begitu kuat. Seberapa kuat Kardi berusaha melepaskannya, ikatan itu tetap melekat di kaki dan tangannya. Kardi berusaha bergerak menuju ke dekat pintu dengan menggeserkan pantatnya ke lantai. Setelah dekat pintu , Kardi mulai menggedor-gedor pintu dengan kakinya yang terikat. Dia berharap ada orang yang mendengarkan. Sepi.
            “Bagus, mau kabur ,”teriak Bahrun. Kardi disepak dengan kakinya dan didorong ke belakang. Rasa sakit terasa menjalar di sekujur tubuh Kardi. Belum puas Dulpadi menginjak-injak tubuh Kardi. Kardi hanya melenguh dan menahan rasa sakit . Rintihannya tak membuat kedua orang itu menghentikan perlakuannya pada Kardi.
            “Stop,”teriak seseorang yang muncul dihadapan Kardi. Pak Camat dan Pak Karta. Kardi meringis kesakitan dan menatap tak percaya yang berdiri di hadapannya. Dua orang yang seharusnya melindungi dirinya sebagai warga yang teraniyaya tapi mereka justru yang menganiyaya warganya.
            “Kardi, Kardi, makanya jangan sok mau tahu urusan orang. Kamu akan tahu akibatnya. Kamu harus lenyap dari muka bumi ini, kecuali....,” Karta terdiam lama menggantung perkataannya.
            “Kecuali apa,”tukas Kardi lemah. Tubuhnya dipegang oleh Bahrun. Pak camat meninju perut Kardi berkali-kali. Rintihan Kardi tak membuatnya melepaskan tinjunya.
            “Sakit . Itulah akibatnya kalau mau tahu urusan orang. Nah , Kardi kamu bisa pulang kembali ke rumah  dengan syarat kamu tak ribut soal penebangan kayu di hutan . Beres kan???? Kalau tidak , jiwamu dan keluargamu tak selamat.” Kardi terdiam dalam kesakitannya. Kalau saja dia harus mati, dia ihklas tapi kalau ini menyangkut keluarganya, Kardi tak punya pilihan lain . Kardi mengangguk lemah.
            “Nah, begitu. Apa susahnya. Ingat sekali saja kau berkicau, keluargamu tak akan selamat,”ancam pak camat. Kardi memandang benci pada kedua orang yang seharusnya melindungi alam di kampungnya. Mereka sudah tergiur uang yang banyak. Betapa uang bisa merubah seseorang menjadi pribadi yang kejam. Kardi dilepaskan dengan tubuh lebam di sekujur tubuhnya.

            Kepulangan Kardi membuat warga penasaran, tapi Kardi tak bicara sepatah katapun. Sampai lukanya sudah sembuhpun Kardi tetap bungkam bahkan pada istrinya sendiri. Diam itulah dunia Kardi sekarang. Bekerja dalam diam, hanya diam temannya sekarang. Diam bagi Kardi sebuah bentuk protes dirinya pada keadaan yang tak berpihak pada dirinya sendiri. Banyak warga yang mengatakan kalau Kardi sudah gila. Banyak spekulasi warga pada kediaman Kardi. Ada yang bilang kalau diamnya Kardi karena luka yang dideritanya, ada lagi yang bilang karena trauma ditangkap polisi. Banyak orang yang berspekulasi tentang Kardi tapi Kardi tetap dalam diamnya yang panjang.
            “Kang, ngomong atuh, biar Ina teh tahu apa yang ada dalam pikiran akang,”tukas istrinya . Ina sedih melihat keadaan suaminya setelah ditangkap polisi. Dia percaya suaminya tidak bohong, tapi ada sesuatu yang disembunyikan suaminya padanya. Kardi hanya menatap tajam pada istrinya seperti berkata untuk tak bertanya lagi padanya.
            “Sudah kalau kita mau selamat, kita harus diam Ina,”tukas suaminya. Ina tahu ada yang tak benar tapi dia harus patuh pada suaminya untuk diam. Diam!!!! Itulah cara Kardi protes. Walau dia harus dianggap gila oleh warga.  Kardi tetap dalam diamnya. Diam itu emas. Kardi tetap diam. Diam dalam sunyi.......

1 Angkat heula pak = berangkat dulu pak
2 Leres pak = betul pak
3 kunaon = mengapa
4 Abdi teh teu terang atuh. Mau nyarios apa atuh = Saya gak tahu. mau bilang apa
5 Aya naon ieu teh = ada apa nih
6 Titip barudak jeung teh Ina =titip anak-anak dan kakak Ina

4 komentar:

Ericka Abdullah Says:
18 November 2017 pukul 23.08

weww jago nulis cerpen nih mbak Tira :) senangnya bisa sedikit-sedikit belajar bahasa Sunda he he he .. kumaha damang ceu hihihi

Tira Soekardi Says:
19 November 2017 pukul 11.17

damang mbak ericka

Artha Says:
28 November 2017 pukul 10.46

Kasian pak kardi. Jahat ih orang2 itu. Aparat desa juga malah ikut ga bener. Sebel!

Tira Soekardi Says:
28 November 2017 pukul 12.38

iya mbak artha, begitulah kenyataan yg ada

Posting Komentar