
Udara
pagi di desa Paniis masih menyelimuti. Kabut masih membayangi desa itu.
Matahari belum berani muncul tapi Kardi sudah berangkat ke sawahnya. Sebelumnya
segelas kopi hangat sudah disediakan istrinya. Sesapan pertama dan selanjutnya
memberikan kehangatan pada tubuh Kardi.
“Kang, hari ini aku mau bantu kang
Ardi panen padi, lumayan uangnya buat bayar uang sekolah anak-anak,”tukas Ina
istrinya. Kardi hanya mengangguk , diam membiarkan istrinya membantunya bekerja
karena kebutuhan anak sekolah makin meningkat. Kardi ingin anak-anaknya lebih
pintar dari dirinya. Kardi bangkit dari duduknya dan berpamitan pergi ke sawah
dan kebunnya.
“Angkat heula pak1,”tukas
Asep dan Ika mencium tangan bapaknya. Kardi mengelus kedua kepala anaknya.
“Tah, belajar yang rajin.” Kedua
anaknya mengangguk dan berangkat ke sekolah. Mereka harus berjalan sekitar
setengah jam untuk sampai ke sekolah mereka. Sementara itu Kardi bersiap untuk
pergi ke sawah. Istrinya membawakan rantang untuk makan siangnya.
“Hati-hati akang.” Kardi berangkat
dan menyusuri kampung Paniis. Sesampainya dekat sawahnya , dia melihat lagi
beberapa orang yang masuk ke hutan . Sangat mencurigakan karena dia tak
mengenal orang-orang itu. Kardi memperkirakan mereka berasal dari luar Paniis.
Hutan itu adalah hutan lindung yang menajdi atnggung jawab kecamatan .
Masarakat tahu kalau hutan itu dilindungi dan pohon tersebut tidak boleh
ditebang karena hutan itu sebagai penyerap air , sebagai pertahanan hutan. Tapi
sudah beberapa kali Kardi melihat beberapa orang masuk ke dalam hutan dan mereka sangat
mencurigakan. Kardi berniat siang nanti ingin melihat apa yang dilakukan mereka
di dalam hutan.
Kardi memperhatikan banyak orang
yang menebang pohon dengan gergaji mesin. Dalam waktu sekejap, pohon-pohon itu berjatuhan
. Masing-masing pohon dipotong menjadi gelondongan yang lebih kecil
.Gelondongan kayu ditumpuk di suatu tempat yang luas. Ini perlu dilaporkan pada
pak camat, pikir Kardi. Kardi diam-diam beranjak dari persembunyian, tapi Kardi
tak melihat ada seseorang yang melihatnya keluar dari persembunyiannya.Kardi
kembali ke sawahnya. Sementara itu Bahrun yang melihat Kardi keluar dari
persembunyian mencari Dulpadi .
“Dul, kita perlu hati-hati dengan
Kardi, barusan aku lihat dia melihat kegiatan kita di sini,”tukas Bahrun .
Dulpadi terdiam. Satu lagi yang harus dia pikirkan,karena menurut bosnya
kegiatan ini jangan sampai diketahui oleh warga karena ini ilegal. Dulpadi dan
Bahrun memang warga setempat yang direkrut untuk melindungi kegiatan ini, tentunya
dengan imbalan yang besar.
“Gimana Dul kamu tahu sendiri kang
Kardi orang yang jujur dan saklek,”tukas Bahrun.
“Jangan lupa kamu harus amati kang
Kardi mulai dari sekarang, biar kita tahu langkah apa yang bisa kita lakukan.”
Bahrun mengangguk setuju.
“Hai, hati-hati,”teriak Bahrun saat
ada kayu yang terjatuh di sisinya. Suara-suara mesin masih terdengar keras.
Baharun harus berteriak saat bicara dengan Dulpadi.
“Mungkin mulai besok kita hentikan
dulu sementara waktu sambil kamu amati kang Kardi.” Mereka berdua mulai kembali
kerja dan sekali-kali meneriakan perintah pada pekerja.
Pagi itu sebelum ke sawah Kardi mampir sebentar ke kecamatan di
Pesawahan . Dia ingin bertemu dengan pak camat . Menunggu lama untuk bisa
bertemu dengan pak camat bukan hal baru. Alasan sibuk masih di lapangan selalu
mampir bagi warga yang perlu urusan dengan pak camat. Hampir siang baru tampak
pak camat datang. Begitulah , setiap pimpinan merasa tak perlu datang lebih
pagi , padahal banyak yang ingin bertemu dengannya. Gampang tinggal memberi alasan masih di lapangan atau
kesibukan yang bisa menjadi alasan jitu dan klise.
“Siang pak,”tukas Kardi. Pak camat
hanya memandang sekilas. Dia menyuruh sekretarisnya untuk menanyakan maksud
kedatangan Kardi. Kardi melaporkan apa yang dia lihat di hutan lindung kemarin. Saat pak camat tak percaya dengan
apa yang Kardi lihat, Kardi meyakinkan kalau dia melihat dengan mata kepalanya
sendiri.
“Kamu berani bertanggung jawab
dengan apa yang kamu lihat,”:tukas pak camat.
“Leres pak2, “tukas Kardi
mantap. Pak camat menjanjikan esok dia dan aparatnya akan memeriksa ke hutan.
Kardi merasa lega, orang-orang itu harus diberi pelajaran agar hutan di
kampungnya tak musnah.Kardi sangat tahu kaalu hutan hilang akan terjadi bencana
pada kampungnya. Tapi kenyataan yang Kardi lihat sendiri membuatnya dia
dianggap membuat laporan palsu. Kardi tak habis pikir padahal dia benar-benar
melihat kegiatan penenbangan pohon dengan mata kepalanya sendiri bukan kata
orang lain. Saat itu ketika Kardi bersama aparat kecamatan datang ke dalam
hutan tak ada satupun orang di sana bahkan gelondongan kayu yang ada di sanapun
sudah tak ada. Kardi merasa heran.
“Mana katamu ada penebangan liar. Tak ada kegiatan
apapun di hutan,” tukas polisi yang dibawa ke sana juga.
“Leres pak, aku melihatnya sendiri .
Di sini , banyak alat-alat berat.” Kardi memandangi sekali lagi, tak ada
satupun alat berat yang tampak di hadapanya, tapi sisa-sisa kayu kecil masih
tampak tertinggal dan tunggul bawah kayu yang tersisa masih ada.
“Pak, ini kan bekas pemotongan kayu
,”tukas Kardi memperlihakan tunggul bawah kayu.Setiap mata melihat apa yang
ditunjuk oleh Kardi tapi mereka seperti tidak peduli dengan bukti kecil yang
ditunjuk Kardi
“Bukti seperti itu tak bisa
menangkap pelaku,”tukas pak Polisi. Pak polisi akhirnya menghentikan
pemeriksaan. Kardi sangat kecewa, apalagi dia dianggap memberi laporan palsu
segala.
“Kang, tadi banyak orang bilang
akang memberi laporan palsu ke pak camat. Benar kang?” Kardi menceritakan pada
istrinya kalau yang dia laporkan benar adanya .
“Tapi kunaon3 , orang-orang
teh bisa beranggapan seperti itu kang?” Istrinya menuangkan kembali air putih
pada gelas suaminya. Kardi tampak mengehela nafas berat, dia merasa ada
keganjilan dalam kasus ini, seperti ada yang ditutupinya.
“Apa mungkin aparat juga berkomplot
kang,”tukas istrinya lagi. Kardi terhenyak saat istrinya mengatakan itu, tak
ada pikirannya sampai seperti yng dipikirkan istrinya. Mungkin ada
benarnya apa yang dikatakan oleh istrinya.
Terbukti saat ada pemriksaan mereka sudah siap sedia dengan cara mengosongkan
area sehingga saat pemeriksaan tak ada bukti sama sekali.
“Kang?” Pertanyaan istrinya tak
terlewatkan saja, Kardi segera keluar dar rumahnya Istrinya hanya duduk terdiam , dia tahu ada yang tak beres dari
cerita suaminya. Kardi menuju rumah pak Karta sesepuh di desa Paniis. Kardi
menceritakan apa yang dilihatnya dan dia tak memberikan laporan palsu seperti
apa yang dikatakan banyak orang.
“Kardi, aku juga diberitahu aparat
dari kecamatan.”
“Bapak percayanya dengan siapa?”
Kardi menatap penuh harap pada pak Karta, karena kalau sesepuh di desa ini
percaya dengannya, dia merasa aman karena masih ada yang percaya dengan
dirinya. Tapi sebaliknya kalau pak Karta tak percaya dengan dirinya, hancurlah
dirinya. Lama tak ada suara diantara mereka berdua,masing-masing sibuk dengan
pikirannya sendiri.
“Abdi teh teu terang atuh. Mau
nyarios apa atuh4 ,” tukas pak Karta skeptis. Kardi memandang kecewa
pada pak Karta yang dia harapkan percaya pada dirinya. Kardi pulang dengan
langkah gontai.Banyak hal yang berkecamuk dalam pikirannya dan dia tahu akan
ada hal yang besar terjadi pada dirinya tapi entah apa , dia tak tahu.
Sore itu sepulang dari sawah,
rumahnya begitu ramai dikerubungi orang . Ada perasaan tak enak di hatinya.
Kardi menyeruak dari kerumunan orang-orang. Di dalam rumahnya sudah ada dua polisi, aparat kecamatan dan pakKarta.
“Aya naon ieu teh5,”
tanya Kardi. Kardi melihat istrinya merangkul kedua anaknya sambil menangis.
“Bapak ditangkap karena memberikan
laporan palsu,”tukas salah satu polisi. Kardi terpana sejenak dan ini yang
benar-benar ia takutkan terjadi juga. Kardi
menatap istrinya dengan perasaan yang ia sendiri tak bisa mengungakapkan
dengan jelas. Seharusnya dia tak perlu
mengungkapkan kebenaran kalau ini yang harus terjadi pada dirinya. Lihat,
bagaimana sekarang anak dan istrinya. Bagaimana mereka kalau dirinya tak
ada????? Bagaimana dengan sawah dan kebunnya. Ina tak pantas mengerjakan
sendiri, dia harus ada bersamanya.Kardi menahan air matanya agar tak keluar.
Kardi pasrah digelandang polisi. Terdengar suara jeritan istri dan
anak-anaknya.
“Titip barudak jeung teh Ina6,”
tukas Kardi saat melewati adik bungsunya. Tak dipungkiri lagi Kardi merasa ada
kejanggalan . Mengapa dia disebut memberikan laporan palsu????? Dan Kardi merasa heran karena dia bukan
digelandang ke kantor polisi tapi ke sebuah gudang yang gelap. Kardi dikunci di
gudang gelap itu. Kardi terbangun karena perutnya terasa lapar. Dia tak tahu
apa hari sudah siang atau masih malam karena gudang itu tak ada jendela dan penerangan.
Hanya ada sedikit sinar dari bawah pintu, itupun hanya sedikit. Kardi berusaha
melepaskan ikatan di kaki dan tangannya, tapi ikatannya begitu kuat. Seberapa
kuat Kardi berusaha melepaskannya, ikatan itu tetap melekat di kaki dan
tangannya. Kardi berusaha bergerak menuju ke dekat pintu dengan menggeserkan
pantatnya ke lantai. Setelah dekat pintu , Kardi mulai menggedor-gedor pintu
dengan kakinya yang terikat. Dia berharap ada orang yang mendengarkan. Sepi.
“Bagus, mau kabur ,”teriak Bahrun.
Kardi disepak dengan kakinya dan didorong ke belakang. Rasa sakit terasa
menjalar di sekujur tubuh Kardi. Belum puas Dulpadi menginjak-injak tubuh Kardi.
Kardi hanya melenguh dan menahan rasa sakit . Rintihannya tak membuat kedua
orang itu menghentikan perlakuannya pada Kardi.
“Stop,”teriak seseorang yang muncul
dihadapan Kardi. Pak Camat dan Pak Karta. Kardi meringis kesakitan dan menatap
tak percaya yang berdiri di hadapannya. Dua orang yang seharusnya melindungi
dirinya sebagai warga yang teraniyaya tapi mereka justru yang menganiyaya
warganya.
“Kardi, Kardi, makanya jangan sok
mau tahu urusan orang. Kamu akan tahu akibatnya. Kamu harus lenyap dari muka
bumi ini, kecuali....,” Karta terdiam lama menggantung perkataannya.
“Kecuali apa,”tukas Kardi lemah.
Tubuhnya dipegang oleh Bahrun. Pak camat meninju perut Kardi berkali-kali.
Rintihan Kardi tak membuatnya melepaskan tinjunya.
“Sakit . Itulah akibatnya kalau mau
tahu urusan orang. Nah , Kardi kamu bisa pulang kembali ke rumah dengan syarat kamu tak ribut soal penebangan
kayu di hutan . Beres kan???? Kalau tidak , jiwamu dan keluargamu tak selamat.”
Kardi terdiam dalam kesakitannya. Kalau saja dia harus mati, dia ihklas tapi
kalau ini menyangkut keluarganya, Kardi tak punya pilihan lain . Kardi
mengangguk lemah.
“Nah, begitu. Apa susahnya. Ingat
sekali saja kau berkicau, keluargamu tak akan selamat,”ancam pak camat. Kardi
memandang benci pada kedua orang yang seharusnya melindungi alam di kampungnya.
Mereka sudah tergiur uang yang banyak. Betapa uang bisa merubah seseorang
menjadi pribadi yang kejam. Kardi dilepaskan dengan tubuh lebam di sekujur
tubuhnya.
Kepulangan Kardi membuat warga
penasaran, tapi Kardi tak bicara sepatah katapun. Sampai lukanya sudah
sembuhpun Kardi tetap bungkam bahkan pada istrinya sendiri. Diam itulah dunia
Kardi sekarang. Bekerja dalam diam, hanya diam temannya sekarang. Diam bagi
Kardi sebuah bentuk protes dirinya pada keadaan yang tak berpihak pada dirinya
sendiri. Banyak warga yang mengatakan kalau Kardi sudah gila. Banyak spekulasi
warga pada kediaman Kardi. Ada yang bilang kalau diamnya Kardi karena luka yang
dideritanya, ada lagi yang bilang karena trauma ditangkap polisi. Banyak orang
yang berspekulasi tentang Kardi tapi Kardi tetap dalam diamnya yang panjang.
“Kang, ngomong atuh, biar Ina teh
tahu apa yang ada dalam pikiran akang,”tukas istrinya . Ina sedih melihat
keadaan suaminya setelah ditangkap polisi. Dia percaya suaminya tidak bohong,
tapi ada sesuatu yang disembunyikan suaminya padanya. Kardi hanya menatap tajam
pada istrinya seperti berkata untuk tak bertanya lagi padanya.
“Sudah kalau kita mau selamat, kita
harus diam Ina,”tukas suaminya. Ina tahu ada yang tak benar tapi dia harus
patuh pada suaminya untuk diam. Diam!!!! Itulah cara Kardi protes. Walau dia
harus dianggap gila oleh warga. Kardi
tetap dalam diamnya. Diam itu emas. Kardi tetap diam. Diam dalam sunyi.......
1
Angkat heula pak = berangkat dulu pak
2
Leres pak = betul pak
3
kunaon = mengapa
4
Abdi teh teu terang atuh. Mau nyarios apa atuh = Saya gak tahu. mau bilang apa
5
Aya naon ieu teh = ada apa nih
6
Titip barudak jeung teh Ina =titip anak-anak dan kakak Ina
4 komentar:
18 November 2017 pukul 23.08
weww jago nulis cerpen nih mbak Tira :) senangnya bisa sedikit-sedikit belajar bahasa Sunda he he he .. kumaha damang ceu hihihi
19 November 2017 pukul 11.17
damang mbak ericka
28 November 2017 pukul 10.46
Kasian pak kardi. Jahat ih orang2 itu. Aparat desa juga malah ikut ga bener. Sebel!
28 November 2017 pukul 12.38
iya mbak artha, begitulah kenyataan yg ada
Posting Komentar