Janji Inah

Rabu, 29 November 2017



Gambar dari sini 
 

        Masih terngiang saat aku mendapat telepon dari Marni kalau mak jatuh dari pohon kelapa dan nyawanya sudah tak dapat ditolong lagi. Aku bergegas pulang ke kampung tapi hanya jasad mak yang kutemui terbujur di amben rumahku. Aku melihat Marni dan Darto menangis di tubuh mak, pandanganku kabur dan aku tak ingat apa-apa lagi. Kini aku hanya bisa terpekur di makam mak. Sudah hampir tiga hari aku berada di kampung dan hampir tiap hari aku mengunjugi makam mak.
            “Mak, mengapa mak cepat pergi, aku masih punya banyak hutang pada mak? Bagaimana dengan Marni dan Darto , siapa yang akan menjaga mereka. Kami tak punya siapa-siapa lagi.mak, aku malu pada diriku, aku belum bisa memenuhi janjiku sendiri membahagiakan mak, mak masih harus bekerja keras untuk adik-adik, seharusnya aku yang menanggung mereka, mak maafkan aku ,”mataku mulai tetutup kabut air mata, sedikit demi sedikit tetesan air mata membasahi tanah , meresap membawa kesedihan yang masih bersarang di hati. Andai saja aku bisa mencukupi kehidupan keluarga ini, mak tak perlu mati sia-sia karena terjatuh dari pohon kelapa untuk mengambil nira. Aku menelungkupkan kepalaku , aku masih ingin dekat dengan mak, mak segalanya bagiku, mak yang selalu mendoakanku, memberiku semangat. Mak, mengapa mak begitu cepat pergi?????? Isakan tangisku berbaur dengan  angin yang tertiup menyatukan kesedihan .
            “Teh Inah, sudah  teh, mak sudah tenang ,mungkin ini sudah takdir mak, kita hanya bisa mendoakan saja. Teh, aku mau kerja saja. “tukas Darto yang aku sendiri tak tahu sudah berapa lama dia ada di belakangku. Aku menyusut air mataku dan menatap Darto yang tampak lebih dewasa dari umurnya. Kesusahana yang menempanya menjadi dewasa, dia banyak membantu mak membuat gula aren . Peluh selalu menemani hari-harinya, keringat mengucur dari tubuhnya , hanya untuk keluarganya bisa makan. Aku terharu melihat tanggung jawab adikku pada keluraga ini. Andai saja aku bisa mencari pekerjaan yang bisa membuat mereka tak perlu kerja keras lagi, mereka akan menjadi anak-anak yang bisa melewati masa –masa sekolah dan tak perlu susah payah bekerja. Aku malu.
            “Nanti saja itu dibicarakan Dar, aku masih ingin besama mak. Kapan kamu masuk sekolah lagi. Sudah tiga hari kamu tak masuk sekolah,”tegurku. Darto tampak ragu-ragu tapi dia mengurungkan bicara saat aku menatapnya tajam Dia berlalu dari hadapanku, entah hendak kemana.

            “Pokoknya aku gak setuju, kalian harus sekolah, biar hidup kalian gak terus-terusan susah, biar teteh yang bekerja, kalian hanya tinggal belajar saja,”tukasku saat Darto kembali ingin bekerja dan putus sekolah. Aku tak mungkin membiarkan adik-adikku putus sekolah, bukan hanya karena agar mereka punya penghidupan yang layak, tapi aku sudah janji pada mak, kalau aku akan menyekolahkan adik-adiku sampai sarjana.  Sebetulnya aku juga menyangsikan ,karena berapa sih pendapatan seorang buruh satu bulannya dipotong dengan biaya hidup. Sisanya baru aku kirimkan ke kampung. Darto terlihat menunduk dan Marni mulai terisak. Aku menarik mereka dalam pelukanku, aku tak kuat harus menahann tangisku , adik-adiku harus merasakan kegetiran hidup di usianya yang masih muda. Aku mengelus kepala Marni , biar aku akan mengantikan posisi mak buat mereka. Mak aku janji, mereka harus sekolah yang tinggi. Mak, aku janji padamu, aku janji. Mataku terpejam , membayangkan mak yang selalu menenangkan hatiku saaat aku gundah, menghapus air mataku saat aku menangis . Ingin aku merasakan kembali kasihmu saat-saat ini dimana pundakku terasa berat untuk membawa semua beban di pundakku .
            “Percayalah sama teteh ya, teteh pasti bisa membuat kalian bersekolah sampai selesai,” tukasku perlahan.
            “Tapi aku masih boleh , bantu-bantu mang Dirja untuk membuat nira teh?” tanya Darto. Aku mengangguk dan menatap wajah Darto yang semakin menghitam dan tubuhnya sudah tampak kekar. Kelak dia akan menjadi pemuda yang gagah .
            “Asal jangan ganggu pelajaran. Marni kamu bagian dapur ya, kalian saling membantu, soalnya teteh gak mungkin setiap bulan pulang, biar ngirit uang,” tukasku sambil kupeluk lagi mereka dan aku menguatkan mereka untuk berjuang agar mereka kelak berhasil.

            Persitiwa itu sudah hampir sepuluh tahun yang lalu , rasanya semua tanggung jawabku untuk adik-adikku selesai sudah. Mereka sudah mencapai apa yang mereka impikan. Aku mendampingi saat Darto dan Marni diwisuda. Rasa lelah dan penat hilang saat aku melihat adik-adikku berdiri dengan toganya. Air mata mengalir menutupi hampir semua bola mataku, dan tumpah karena ruang mataku sudah tak mampu menampung lagi air mataku yang semakin kencang mengalir. Di hadapan pusaraku aku berlutut , beban kini yang harus kupikul tiba-tiba hilang begitu saja. Rasa lelah yang mendera yang menemani hari –demi hari dan malam-malam sepi , semuanya hilang terhapuskan dengan cerita bahagia. Aku bahagia bisa menghantarkan adik-adikku bisa bersekolah tinggi.
            “Mak,aku datang untuk memberikan janjiku padamu. Darto dan Marni sudah menjadi sarjana, mak.Kalau saja mak masih ada mungkin mak bisa melihat betapa gagah dan cantiknya mereka memakai toga.” Bunga –bunga kutaburkan di atas pusara mak,  angin seperti ikut menyanyikan rasa gembira di hati. Sudah kupenuhi janjiku pada mak. Ingin aku kembali dalam pelukan mak, untuk sekedar menyandarkan kepalaku sebentar saja, ingin kubaringkan kepalaku pada dadanya untuk sekedar berserita tentang suka dukanya aku bergelut dengan kerasnya dunia. Tanganku bergetar saat aku mulai menyentuh nisan makam mak, dingin . Semua andai sudah aku ucapkan untukmu mak, hanya doaku selalu untukmu. Mak boleh berbangga hati melihat anak-anak mak yang sudah bisa keluar dari kemelut hidup dan mendapatkan hidup yang lebih mapan.

            Masih hangat kuingat setelah kematian mak, aku kembali  bekerja sebagai buruh . Otakku harus berpikir keras agar aku bisa mewujudkan janjiku pada mak, mau pindah kerja tentu tak mungkin. Apalah artinya seorang yang hanya memlikii ijasah SMA, paling ya seperti diriku bekerja sebagai buruh di pabrik tekstil. Aku mulai berjualan sore setelah pulang kerja.Kepandaian aku memasak aku manfaatkan untuk membuat warung tenda sederhana. Ayam goreng bumbu serundeng , resepnya aku dapatkan dari resep yang pernah mak ajarkan padaku.   Setiap hari aku  lakoni dua pekerjaan yang hampir membuatku hanya bisa beristirahat sebentar tapi tekadku sudah bulat adik-adikku harus berhasil. Tak disangka  warung tendaku laris dari hanya lima kilo ayam aku jual, sepuluh kilo terus dan aku mulai meperkerjakan karyawan untuk membantuku. Setelah Darto kuliah di Bandung, dia juga membantuku setelah pulang kuliah. Berkat kegigihankulah aku juga bisa membuat beberapa  cabang warung tenda di kota Bandung. Saat omset penjualan sudah  mulai banyak, aku berhenti bekerja dan mulai konsentrasi dengan warung tenda  ayam gorengku. Rasa yang gurih dan bumbu yang meresap, membuat pelanggan banyak yang berdatangan kembali. Jatuh bangun aku membangun usaha makanan ini, walau sempat aku patah semangat  , saat aku diajak kerjasama untuk membuat restoran. Hampir uang sebesar limapuluh juta raib diambil rekanan. Kini aku harus lebih berhati-hati untuk tidak selalu mempercayai orang lain.

            “Teh, sudah sore, angin sudah mulai membesar, pulang yuk,”tegur Marni yang menemaniku ke kampung. Sekarang aku sudah memiliki rumah di Bandung yang aku tinggalin bersama  Marni yang sudah bekerja di kantor  sedangkan Darto bekerja di Surabaya. Aku menoleh padanya dan mengulas senyumku .
            “Sebentar lagi Mar, aku masih rindu dengan mak. Masih ingin aku berlama-lama di sini. Kasihan mak, mak gak bisa menikmati hidup . Andai saja mak masih hidup paling tidak mak bisa merasakan hidup yang lebih enak dibanding dulu,”:keluhku.
            “Teh, jangan mengeluh begitu, mak sudah bahagia di sana . Aku yakin, mak tak pernah merasa kecewa, malah mak bangga terutama sama teteh, bisa menyekolahkan aku dan kang Darto. “ Aku menoleh pada Marni. Alangkah cantiknya dia setelah menjadi wanita, dengan potongan rambutnya yang dipotong pendek, pasti banyak pria yang ingin mendekatinya.
            “Masih ada janji teteh lagi yang belum terlaksana Mar,”tukasku.
            “Apa itu teh?”
            “Melihat kalian menikah, teteh akan bahagia begitu juga mak, rasanya semua keringat teteh tak akan sia-sia. Teteh yakin mak setuju dengan janji teteh kali ini.” Marni menatapku tajam dan tiba-tiba memelukku erat dan menangis di pelukanku.
            “Seharusnya Marni yang berjanji pada mak, untuk mencarikan jodoh untuk teteh. Selama ini teteh kerja keras untuk kami dan teteh tak pernah merasakan namanya pacaran atau sekedar mengenal pria. Semua waktu teteh hanya untuk kerja. Sekarang waktunya teteh memikirkan hidup teteh . Teteh harus bahagia, teteh sudah banyak berkorban.” Marni mempererat pelukannya padaku.
            “Maafkan Marni teh,”tukasnya. Aku mengelus kepala Marni seperti dahulu. Betapa aku menyayangi adik-adikku melebih aku menyayangi diriku.Kebahagiaan mereka adalah kebahagiaanku juga.  Aku mengangkat tubuh Marni berdiri dan mengajaknya untuk pulang . Kusentuh kembali nisan mak dan aku melihat mak dari kejauhan tersenyum padaku.
            “Terimakasih nak, mak bangga padamu,” suara mak seperti terdengar samar-samar di telingaku. Mak melambaikan tanganya padaku, aku membalasnya.
            “Teteh melambaikan tangan sama siapa?” Marni heran melihatku. Aku tersenyum dan menggandengnya untuk meninggalkan kuburan mak.
            “Tadi mak melambaikan tangan padaku,”: tukasku perlahan.  Marni menoleh ke belakang Aku bahagia sudah  menepati janjiku pada mak. Mak, janji Inah sudah terkabulkan.....


0 komentar:

Posting Komentar