Di Balik Lukisan Wanita

Jumat, 05 Agustus 2016




 Gambar dari sini

             Menjelang sore saat langit terlihat menjingga kami sampai di rumah neneknya Gilang, kebetulan aku dan teman-teman diajak berlibur ke desa neneknya di daerah Garut. Kaki sudah terasa pegal karena semenjak turun dari angkot, kami masih harus berjalan kaki, karena tak ada kendaraan lagi masuk ke desa Mekarsari, hanya jalan setapak.
            “Gil, dah dekat belum?” Silvia menanyakan pada Gilang sambil mengusap peluhnya, aku menoleh pada Gilang menunggu jawabannya. Gilang hanya tersenyum saja. Aku juga sudah mulai lelah dan perutku sudah bernyanyi semenjak tadi karena siang tadi hanya semangkok baso yang masuk ke dalam perutku. Sedikit terhibur dengan pemandangan alam yang hijau yang masih banyak sawah , ladang dan dari kejauhan tampak gunung Guntur yang berdiri gagah dengan awan yang mulai menutupi puncaknya . Warna langit semakin menggelap tapi perjalanan belum sampai titik akhir.
            “Gil , kapan nyampenya ?” aku mulai mengeluh karena aku tak biasa berjalan kaki dengan jarak sejauh ini, sehingga mulai terasa pegal di kakiku.
            “Tenang sebentar lagi, sabar, kalau kalian mengeluh terus akan terasa lama ,” Gilang menyahuti keluh kesah kami semua. Akhirnya kami semua tutup mulut karena percuma mengeluhpun tak membuat kami sampai dengan cepat. Gilang menunjuk rumah besar di tepi bukit ,kalau itu rumah neneknya. Rumah besar itu tampak menghitam dalam kegelapan hanya sinar-sinar kecil yang berasal dari lampu rumah yang berkerlap-kerlip, aku mulai melangkahkan kakiku besar-besa agar cepat tiba di sana.
            “Hati-hati Nancy, hari sudah gelap , nanti kamu kesandung,” Gilang mulai menasehati, benar saja tak lama kemudian aku terjerembab. Gilang membangunanku dan mulai menuntunku jalan. Untung Sapto membawa senter sehigga kami dapat melihat jalan walau remang-remang. Akhirnya rumah besar ini sudah tampak di depan mata kami, ada kelegaan tersendiri di hati ini. Saat pintu terbuka tampak sosok perempuan tua tinggi besar dengan sorot mata yang ramah.
            “Yuk, masuk pasti kalian sudah lelah ya, oma sudah buatkan makanan buat kalian makan,” ajaknya. Aku sudah menelan air liurku saat mendengar kata makan, yang pasti yang lainpun pasti sudah kelaparan.  Malam itu aku tertidur pulas sekali dan saat terbangun sinar matahari sudah masuk ke dalam kamarku yang kutempati bersama Sylvia. Aku bangun dengan sedikit merenggangkan badanku dan terdengar suara kretek di pinggangku, tapi rasa pegal masih terasa di seluruh tubuhku. Aku mulai menyibakan gorden jendela dan kulihat Sylvia juga mulai terbangun.

            Saat sarapan aku melihat di sana ada lukisan besar seorang wanita indo , cantik seperti keturunan ningrat. Waktu kutanyakan, oma bilang itu foto ibunya, pantas saja kecantikan wajah di lukisan itu turun pada wajah oma, masih terlihat tanda-tanda kecantikan wajahnya. Semua melihat foto wanita itu yang menurut oma bernama Sarah turunan  Belanda. Aku terkesima saat aku melihat wanita itu mengedipkan matanya padaku , aku berulang kali mengucek mataku takut kalau aku hanya melihat halusinasi, tapi wanita itu sekarang terlihat mengedipkan matanya lagi.
            “Syl, kamu lihat gak lukisan wanita itu bergerak,” aku melihat Sylvia menggelengkan kepala sambil menatapku heran. Begitu juga dengan yang lain , mereka tak melihat ada gerakan pada lukisan itu.
            “Mungkin kamu kurang tidur malam hari kemarin,” Gilang menghiburku, tapi saat ada panggilan makan dari omanya Gilang, aku kembali menatap lukisan itu, benar saja mata itu mengedip padaku. Astaga, apa penglihatanku benar adanya????. Malam itu , aku kembali terlelap karena sepanjang siang mengelilingi desa melihat aktivitas penduduk dengan alamnya. Aku mulai mengantuk dan terlelap dalam tidurku yang lelap. Entah mengapa aku seperti disuruh untuk datang ke ruang tengah, di sana aku memperhatikan wajah wanita itu yang menurut Gilang bernama Sarah. Tiba-tiba Sarah berbicara padaku dengan logat ke belanda-belandaan. Aku terkejut, apa yang kulihat apa benar adanya , masa ada lukisan bisa bicara????.
            “Tolong aku, aku percaya kamu bisa menolongku!” jelasnya sambil menatap mataku, aku melihat ada kesedihan yang mendalam dalam bola matanya.
            “Pergilah kamu ke belakang bukit , dan temukan ada sebuah pohon yang kuberi tanda silang dan di bawah pohon itu kusimpan tulisanku untuk seseorang yang kucintai,” tukasnya .
            “Aku percaya kamu akan membantuku,” sahutnya lagi sambil memperinci jalan menuju ke belakang bukit. Entah mengapa , aku dikagetkan oleh tangan Sylvia yang menyentakku. Aku heran, mengapa aku masih ada di kamar tidur , padahal jelas aku baru saja berbicara dengan Sarah.
            “Minumlah dulu Nan, kamu tadi teriak-teriak, mungkin kamu mimpi gak enak malam ini,” Sylvia menyodorkan air putih padaku, tapi sungguh jelas terlihat Sarah berbicara padaku , padahal itu hanya sebuah mimpi. Sampai pagipun aku tak mampu memejamkan mataku.

            Pagi itu saat sarapan, aku melihat lagi Sarah mengedipkan matanya padaku, aku memandang teman-teman yang lain, sepertinya mereka tak melihat Sarah yang bisa bergerak. Aku menceritakan mimpiku , tapi semua hanya mengatakan bunganya tidur.
            “Mungkin kamu masih terobsesi kemarin kalau kamu melihat matanya mengedip,” ujar Didi. Aku mulai marah, mengapa mereka tidak percaya denganku, padahal jelas aku melihat Sarah memberiku tanda dan kemarin malam  Sarah menyuruhku ke balik bukit, tapi aku tidak merasa seperti mimpi.
            “Kamu mimpi Nancy, aku melihatmu menjerit-jerit,” ejek Sylvia. Aku hanya bisa pasrah saja , toh aku tak bisa memaksakan mereka untuk percaya. Hatiku semakin gundah , saat sudah hampir tiga hari aku selalu bertemu dengan Sarah dan Sarah memintaku untuk pergi ke balik bukit. Sylvia tetap mengatakan kalau aku hanya mimpi dan untuk diabaikan saja. Aku melihat  bayang-bayang wajah Sarah  selalu mengikuti kemana aku pergi, sungguh membuatku tak bisa bernafas lega.
            “Nan, dari kemarin aku lihat kamu seperti orang bingung?” tanya Gilang yang menghampiriku bersama Sapto.
            “Aku gak mengerti Gil, ibunya oma selalu menyuruhku untuk pergi ke balik bukit, aku disuruh mencari buku yang ditanamnya di bawah pohon yang dia beri tanda di batangnya,” ujarku . Gilang dan Sapto masih terdiam.
            “Lang, kamu juga gak percaya denganku, aku ingin sekali ke balik bukit seperti yang diinginkan Sarah.” Aku mengatakan dengan mantap tapi sebenarnya aku juga merasa ngeri ke sana. Kalau satupun tidak ada yang percaya, apa boleh buat aku akan mencari tahu sendiri.
            “Aku ikut denganmu.”
            “Benar? , trims ya,” tulus aku mengucapkan terimakasihku untuknya. Sapto akhirnya bersedia ikut denganku.

            Keinginanku untuk pergi ke balik bukit membuat teman-temanku yang lain tak setuju, mereka bilang terlalu bahaya, apalagi orang jarang pergi ke balik bukit ini.
            “Tempat di sana seram neng, lebih baik urungkan niat kalian ke sana, “jelas mbok Parti pembantu oma.
            “Dengar itu Nan, lebih baik gak usah, mungkin itu hanya halusinasi kamu saja,” Sylvia mulai membujukku untuk tak datang ke sana. Aku bukan tipe orang yang mudah ditakut-takuti, jadi tak mengapa , yang pasti Gilang akan menemaniku. Esok pagi , aku, Sapto dan Gilang bergegas  mendaki bukit untuk menuju bagian belakang bukit. Menuju ke sana , melewati belakang rumah oma, di sana tampak dua makam Sarah dan suaminya. Aku mulai terganggu karena ilalang yang tinggi dan sering melukai tangan dan kakiku. Hampir sejam aku menaiki bukit , nafasku sudah mulai habis.
            “Apa benar jalannya kemari Nan?” tanya Sapto sambil mengamati sekelilingnya, karena sama sekali tidak ada jalan setapak sehingga kami harus memotong sendiri ilalang yang menutupi jalan kami.
            “Aku rasa benar, persis seperti Sarah ceritakan padaku.” Aku juga mulai mengamati setelah mencapai puncak bukit.
            “Nah, ini pohon beringin ini tanda kalau sudah sampai puncak, menurut Sarah,” aku mulai mengelilingi pohon beringin dan aku hampir yakin kalau sebentar lagi akan tiba pada pohon yang bertanda silang. Tak lama kemudian aku mendengar teriakan Gilang.
            “Nancy, sini lihat pohon dengan tanda silang!’ teriaknya yang membuatku bergegas menuju arah suara. Aku menyuruh Sapto dan Gilang untuk menggali tanah di bawah pohon yang ada tanda silangnya. Sementara mereka menggali, aku melihat-lihat sekelilingku sampai aku dikagetkan karena di hadapanku sudah berdiri Sarah. Tubuhku terasa gemetar dan aku mulai ketakutan.
            “Tolong, baca buku diaryku dan kabulkan permohonanku, agar aku bisa tenang di sana,” jelasnya. Belum sempat aku menjawabnya , kudengar Gilang menyuruhku, melihat apa yang diketemukan di bawah pohon. “Buku Diary” Astaga, jadi ini benar adanya, bukan bualan semata!!!! Aku merebut buku diary dan mulai membacanya dan aku mulai terhanyut dan air mataku turun satu persatu membasahi pipiku. Aku menyodorkan buku diary itu pada Gilang .

            Semua terbongkar rahasia cinta Sarah dengan pemuda lokal, sebelum Sarah dipaksa menikah dengan ayanhnya Sarah. Cinta Sarah tak pernah berubah pada pemuda yang bernama Joko walau Sarah sudah menikah dengan pilihan orang tuanya. Cinta sejatinya dibawa mati.
            “Oma, kalau Joko itu siapa dan dimana tinggalnya?” tanay Gilang yang mulai penasaran.
            ‘Joko ,seorang  petani , dia menikahi perempuan desa ini juga  , anaknya tinggal satu yang ada di desa ini, yang lain merantau ke kota,” cerita oma. Menurut diary ini, Sarah ingin kalau dia meninggal dimakamkan dekat dengan makamnya Joko, tapi apa itu mungkin???? Oma hanya menggelengkan kepala, oma masih tampak syok tak menyangka ibunya punya cinta lain di hatinya. Gilang mengusulkan untuk bernegosiasai dengan anaknya Joko , agar makam Sarah bisa dipindahkan dekat makam Joko atau sebaliknya. Gilang mengajak mbok Parti untuk mendatangi keluarga Joko sambil memperlihakan diary milik Sarah, mudah-mudahan keluarga mereka mau mengabulkan permintaan Sarah. Walau kelihatannya ini ide gila, aku yakin setelah impian Sarah terwujud, aku yakin dia akan tenang di alam kuburnya.

            Aku mencium oma untuk bepamitan, sudah haampir sepuluh hari kami berlibur di sini. Tak terasa waktu cepat berlalu, liburan kali ini membawa kenangan tersendiri bagiku menyatukan cinta Sarah dan Joko yang lama terpisah , walau hanya mendekatkan makam mereka.Satu permintaan Sarah yang dapat dikabulkan. Waktu aku pamitan dengan oma, aku melihat lagi lukisan Sarah, aku melihat Sarah tersenyum manis padaku.  Mungkin orang bilang itu halusinasi, tapi aku yakin Sarah tersenyum karena lega bisa berdampingan lagi dengan Joko. Aku membalasnya senyumnya dan saat aku membalikan tubuhku, aku memperhatikan Gilang yang menatapku tajam.
            “Kamu senyum dengan siapa Nancy?”  Aku hanya mengangkat bahuku dan tersenyum manis untuk Gilang temanku.

6 komentar:

Indah Nuria Savitri Says:
8 Agustus 2016 pukul 15.44

aaah...jadi menuruti permintaan terakhirnya Sarah ya :)

Rizki Putra Says:
9 Agustus 2016 pukul 00.21

merinding juga bacanya, untung temen2nya nancy mau ikut ngebantu yaaa hehehe. tapi kenapa ga gilang aja ya yg disuruh si sarah.

Tira Soekardi Says:
9 Agustus 2016 pukul 13.24

iya mbak Indah

Tira Soekardi Says:
9 Agustus 2016 pukul 13.26

kalau terjadi beneran tambah merinding ya mas Rizki

Son Agia Says:
10 Agustus 2016 pukul 10.00

Ceritanya bener-bener bagus. Saya sempet kebawa suasana pas baca ini. Sempet ngeri juga sih pas di awal-awal, soalnya saya baca pas tengah malem.

Mantap, mbak.

Tira Soekardi Says:
10 Agustus 2016 pukul 13.40

ha,ha, artinay aku berhasil bikin takut ya Son Agia

Posting Komentar