Gantung Diri

Sabtu, 27 Agustus 2016




Gambar dari sini
     
                 Suara dengungan  mesin berat yang berdengung keras di telingaku, saat aku melihat dengan kepalaku sendiri , semua lapak-lapak dihancur leburkan oleh mesin –mesin berat. Aku hanya berdiam diri terpaku , apa yang menjadi mata pencaharianku kini lenyap bersama suara-suara berdengung yang keluar dari mesin-mesin berat itu.
            “Kita tak bisa berbuat apa-apa lagi Mince,” tukas Desy dengan kepala menunduk, memang tidak bisa apa-apa lagi,  aku melihat hanya pasrah. Sudah berhari-hari kami harus berdemo, berpanas-panasan agar tempat lokalisasi ini tidak ditutup, tapi semua itu tak membuahkan hasil, mesin-mesin itu tetap berdengung dan menghancurkan lapak-lapak menjadi abu rata dengan tanah.
            “Apalagi yang bisa kita buat Desy, semua sudah habis dari kita. Kita harus bekerja apa lagi, satu-satunya penghasilan kita ya dari sini. Apa mereka tidak tahu, aku bekerja di sini menahan pilu, rasa sakit ,agar keluaragku bisa hidup dan menyekolahkan adik-adikku agar mereka tidak seperti diriku, sampah masarakat,”keluhku, suaraku tampak tak terdengar Desy, dia masih berteriak-teriak histeris pada petugas. Aku menggeretnya ke tepi.
            “Sudah, sudah Des, mau apa lagi ,kita gak bisa apa-apa,”tegurku.
            “Gimana sih kamu, emangnya kamu sekarang mau kerja apa, yang kamu bisa kan hanya pamer tubuhmu saja,”teriak Desy. Aku sedikit tersinggung dengan ucapannya tapi aku tahu Desy hanya emosi sesaat saja, pikirannya sedang kacau, apalagi dia butuh biaya besar untuk pengobatan ayahnya. Aku merangkul tubuh Desy yang meronta-ronta terus dan aku sudah mulai kelelahan untuk menenangkannya.
            “Des, jangan nangis, aku jadi sedih, diamlah dulu,”tukasku dan aku membawanya ke tepi dan kusodorkan air mineral padanya. Aku melihat dia sedikit tenang.

            Malam itu, aku terpekur lama dalam diam hanya ditemani dengan suara jangrik dari luar kontrakanku. Semua hancur rata dengan tanah, apa lagi yang aku bisa kerjakan untuk mendapatkan penghasilan, semua lenyap seketika. Aku membayangkan mak, adik-adikku akan menunggu uang kirimanku dan Mirna yang butuh uang untuk bayar uang semesterannya. Sore tadi, Mirna menelpunku untuk mengirimkan uang untukknya.  Aku buka lemari dan aku melihat uang simpananku yang semakin menipis, karena sudah hampir sebulan aku tak bekerja. Astaga, apa yang harus aku perbuat??? Berdoa??? Apa aku masih layak untuk berdoa pada Allah??? Aku sudah berkalang dosa, sudah terlanjur basah dengan dosa, untuk apa lagi aku harus berdoa padaNya???? . Keluargaku memang keluarga petani, ayahku menggarap sebidang tanah miliknya , tapi saat aku berusia 14 tahun ,abah harus menutup mata karena serangan jantung. Terpaksa mak harus banting tulang untuk bekerja di sawah, tapi apalah artinya tenaga perempuan yang harus bekerja sendirian di sawah, yang pada akhirnya sawahnya berpindah tangan pada juragan kaya di desaku. Akhirnya mak hanya bisa bekerja sebagai buruh tani saja. Selepas SMP, aku tak bisa melanjutkan sekolah dan membantu emak menjadi buruh tani. Upah dari buruh  tani tak seberapa, apalagi kalau musim paceklik , pendapatannya tidak seberapa, malah seringkali aku dan mak memilih tidak makan dan membiarkan adik-adikku yang makan.

            Sampai suatu saat aku diajak salah satu temanku Desy bekerja di kota. Aku membujuk mak untuk mengijinkan aku untuk pergi bersamanya, aku melihat kehidupan keluarga Desy mulai membaik setelah Desy bekerja di kota.
            “Mak, ijinkan Minah, pergi ke kota bersama Desy. Minah mau mengadu peruntungan di kota, siapa tahu bisa mengubah nasib keluarga kita,”tukasku menatap wajah mak penuh harap, tampak ada keraguan dari wajah mak.
            “Tapi, kamu perempaun Minah, lebih baik kau di sini saja , membantu mak.” Mak menatapku penuh harap agar aku tak berangkat tapi aku tak bergeming, niatku begitu kuat, aku harus bisa memberikan uang yang banyak untuk mak, agar adik-adiku bisa sekolah tinggi, seperti harapanku dulu ingin menjadi guru. Pandangan mak yang sedih, membuatku agak ragu meningalkan keluargaku tapi aku harus berbuat sesuatu untuk keluarga ,apapun itu.
            “Aku pergi dulu mak,” aku mencium tangan ibuku yang sudah penuh kerutan.
            “Kalian belajar yang benar, bantu dan jaga mak ya,”ujarku memeluk satu-satu adikku, mereka menangis bersamaan saat aku melangkahkan kakiku keluar rumah, aku berusaha untuk tak menoleh lagi. Selamat jalan, kampungku, aku akan datang kembali saat aku sukses kelak, sejuta harapan aku letakkan di kota agar hidup keluaragku berubah. Lebih tak kusangka lagi, aku dibawa Desy ke suatu tempat yang gelap dan remang-remang dan kalau malam hari terdengar hingar bingar suara musik.
            “Ini tempat apa Des?’ tanyaku.
            “Nanti kamu juga tahu,”tukas Desy, aku menurut saja, sampai suatu malam aku dijemput oleh pria dewasa yang gagah ke sebuah hotel dan di sanalah aku ditidurinya. Sakit di selangkanganku tak seberapa daripada rasa hancur hatiku, beginikah pekerjaan yang dijanjikan Desy??????
            “Coba Min, kamu pikirkan, kamu bisa apa dengan pendidikan hanya SMP? Gak ada, paling hanya pembantu. Gajinya seberapa??? Gak cukup, paling hanya bisa hidup buat diri sendiri, kita harus menghidupi keluarga kita. Inilah yang bisa kita lakukan Min,”tukas Desy seraya menatapku dengan tajam. Aku hanya tertunduk, rasanya harga diriku lenyap dengan hilangnya keperawananku, sungguh membuatku diriku muak saat itu. Mau kembali ke kampung, aku tak sanggup melihat mak, yang dulu melarangku pergi, akhirnya aku bertahan di sini dan mengubah namaku menjadi Mince.

            Aku cepat belajar dari pengalaman teman-teman di lokalisasi dan akhirnya aku menjadi primadona di sana, banyak uang yang bisa aku kumpulkan dari memuaskan nafsu binatang pria hidung belang. Uang yang kukirim ke kampung sudah cukup untuk menyekolahkan adik-adiku bahkan rumah  aku perbaiki dan menjadi pantas disebut dengan rumah. Tapi satu yang tak pernah aku lakukan,adalah pulang ke kampung walau saat lebaran tiba.  Berkali-kali di setiap menjelang lebaran, mak selalu membujukku untuk pulang tapi aku selalu memberikan alasan agar aku bisa menghindar untuk pulang. Aku tak sanggup melihat mak dan adik-adikku yang menganggap aku sebagai pahlawan mereka padahal kalau mereka tahu uang yang mereka nikmati adalah uang haram, sungguh aku tak mau itu terjadi, biarlah mereka tetap menganggapku pahlawan mereka.
            Mbak, kata mak, lebaran ini harus pulang, mak sudah bisa membeli sawah milik kita dulu,”tukas Dino dari teleponnya.
            “Gimana ya Din, mbak gak dapat cuti dari bos mbak, karena pekerjaan saat lebaran makin menumpuk, nanti saja mbak pulang kalau waktu mbak senggang,”tukasku.
            “Mbak ,selalu ngomong begitu, kasihan mak, mak sudah rindu dengan mbak,” ujarnya kembali. Aku terdiam lama sekali, tapi aku sendiri merasa malu untuk kembali ke kampung, rasanya diriku sangat kotor untuk menginjakan  kaki di kampung  kelahiranku. Sejak kecil, aku sudah diajarkan mengaji oleh abah dan banyak mendapat wejangan tentang agama dari abah, tapi saat ini aku bergelimangan dengan dosa, apa masih pantas aku pulang ?????
            “Dino, tolong mbak, ya, kamu sudah besar , bujuk mak agar mak mau mengerti kesibukan mbak,”tukasku, tak terdengar suara lagi ,hanya suara helaan nafas panjang Dino.
            “Ya, sudah mbak, jaga baik-baik mbak. Oh, ya mbak doain, Dino, bulan depan Dino mau ikutan tes masuk kepolisian, biar bisa masuk.”
            “Baik, mbak akan selalu mendokan kalian semua.” Aku tutup ponselku. Hampir sepuluh tahun aku tak pulang ke kampungku, aku rindu suasana rumah, rindu sekali, belaian mak di kepalaku.Andai mak tahu pekerjaanku, apa yang akan dikatakan mak?????? Sampai akhrinya walikota Surabaya akan menutup lokalisasai Dolly, yang menurutnya akan merusak moral bangsa dan menghancurkan anak-anak yang ada di sekitar gang Dolly. Aku hanya bisa pasrah, apa lagi yang harus aku perbuat ???.  Kini aku menatap Desy yang masih saja menangis di sampingku, aku juga tak tahu harus berbuat apa. Pulang ataukah aku harus mencari pekerjaan lain, tapi apa???? Aku tak punya keahlian.

            “Mbak, apa uang untuk semesteran sudah dikirim, soalnya batas terakhir lusa,”tukas Mirna di ujung telepon, aku termangu sesaat.
            “Iya, nanti mbak kirim,”tukasku cepat. Selepas aku mengirim uang untuk Mirna, aku melihat isi dompetku hanya untuk hidupku seminggu ke depan, aku belum bisa mencari jalan keluar yang baik. Aku merebahkan tubuhku di kasur, pikiranku kusut, benar-benar kusut. Terdengar suara gedoran di pintu kontrakanku.
            “Mince, cepetan bayar uang kontrakannya , elu sudah nunggak dua bulan, jangan pakai alasan gak punya duit,” tukas bu Iyan
            “Ibu, aku baru dipecat, tolong beri aku waktu lagi, pasti aku bayar,” tukasku cepat.
            “Janji-janji melulu, kapan bayarnya. Kalau sampai lusa tak bayar, kamu harus keluar dari kontrakanku, masih ada yang mau ngontrak kamar ini kok,” tukasnya garang. Kembali aku rebahan di dipanku, dan samar-samar ada yang membisikanku perlahan tapi begitu jelas di telingaku.
            “Bunuh diri saja, pasti selesai urusannya, gantung diri saja, gantung dirimu.” Terus suara itu mendengung di telingaku terus menerus , membuatku menutup telingaku.
            “Yo, cepat , bangkitlah, bunuh diri saja, selesai sudah.” Suara-suara itu memanggil-manggil terus menerus membuatku ingin berteriak dan aku sudah tak tahan lagi, aku berdiri di atas  kursi dan sudah kugantungkan kain di plafon.
            “Ayo, teruskan , teruskan, bunuh dirimu,” suara itu terus menerus merasuk ke dalam telingaku dan aku tak sadar sudah menarik kain dan aku tak ingat apa-apa lagi!!!!!!

3 komentar:

Dyah Prameswarie Says:
29 Agustus 2016 pukul 15.56
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Leyla Hana Says:
1 September 2016 pukul 15.16

Potret miris orang-orang yang tak punya harapan ya mbak..

Tira Soekardi Says:
2 September 2016 pukul 12.43

iya mbak Leyla dan banyak ada, cuma kita suka pura2 gak tahu.

Posting Komentar