Aku
termangu saat aku menyadari Rara tak ada lagi. Bingkisan Natal ini masih aku pegang . Hatiku berdebar
kencang , nafasku memburu . Aku tak pandai untuk menutupi perasaanku. Perasaan
kecewa. Mengapa Rara harus pergi????? Aku hanya ingin bersahabat dengannya.
“Maaf Tora, Rara memutuskan untuk
tinggal di neneknya di Belanda,”tukas ibunya.
“Oh, begitu ya. Aku pulang dulu.”
Aku melangkahkan kakiku perlahan dengan sejuta rasa yang membuat hatiku perih.
Sangat perih. Berapa tahun kita berteman???? Kau pergi tanpa kata, tanpa pernah
mengucapkan selamat tinggal padaku. Apa salahku Ra???? Sampai-sampai kamu
melarang ibumu untuk memberikan alamatmu di sana. Aku bingung Ra, salah aku
apa???? Tolong jawab sekali saja, agar aku tahu kesalahanku. Agar aku bisa
memperbaiki diriku. Pasti akan aku ijinkan kau pergi???? Tapi kini aku hanya
menyimpan perih di hati. Luka yang menganga ,berdarah. Engkau pintar menorehkan
luka Ra, padahal aku tahu dulu engkau tak begitu Ra. Tapi sekarang mengapa kau
begitu padaku??? Apa salahku Ra??? Tak habis-habisnya aku menyesali kepergian
Rara. Rara teman kecilku, teman yang selalu ada untukku.
Aku
selalu ingat Rara. Dia teman kecilku. Teman bermainku. Kalau tak aku
yang main ke rumah Rara, pasti Rara yang main ke rumahku. Sampai aku menginjak
remaja. Pertemanan berlanjut terjalin . Aku selalu merasa nyaman dengannya.
Rara itu apa adanya. Dia selalu jujur padaku.
“Lihat Ra, bisa gak kamu ngalahin
aku nangkap belut,”tukasku sambil menunjuk belut-belut yang banyak di sawah
milik pak RT.
“Bisa, apa susahnya.” Dan setelah
hitungan ketiga, aku dan Rara mulai berlomba menangkap belut. Tak peduli tubuh
kami kotor semua , hanya tawa yang terdengar di sawah. Berhenti setelah yang
empunya marah karena kami merusak sebagian tanaman padinya. Kami berlari dengan
sekantung belut di tangan. Kami tertawa bersama. Itu hanya salah satu kenangan
aku bersama Rara. Setiap lebaran datang Rara akan datang ke rumahku. Dan saat
natal tiba aku yang datang mengunjunginya. Itulah aku dan Rara. Persahabatan kami
begitu akrab dan lintas perbedaan yang selalu menyatukan dalam kasih
sayang.
“Pokoknya kita gak boleh berpisah,”begitu
katanya padaku. Aku hanya mengangguk setuju. Ah, selalu bahagia bersamanya.
Desember selalu megingatkan aku
dengan Rara. Ini sudah Desember ketiga Rara pergi tak pernah kembali. Aku
selalu menunggunya datang tiap bulan Desember. Ingin sekali Rara datang untuk
merayakan natal bersama keluarganya. Tapi ini sudah tahun ketiga dia tak datang.
Aku menyingkap jendela. Aku pandangi jendela kamar Rara pagi ini. Aku ingin
Rara ada di sana untuk datang padaku. Ah, Rara mengapa kamu putuskan
persahabatan kita, mengapa Ra???? Tiba-tiba aku melihat bayang-bayang Rara di
jendela kamarnya. Aku tertegun. Rara???? Aku bergegas turun dan mendatangi
rumahnya.
“Ada apa Tora?” Aku memandang ibunya
“Rara datang natal ini?” Ibunya
menggeleng sedih.
“Entahlah Tora, ibu juga gak mengerti
Rara kenapa. Dia tak pernah mau kembali ke rumah , ”keluhnya. Aku membalikan
tubuhku dan kembali dengan bingkisan natal yang tak pernah sampai pada Rara.
Bingkisan yang terus aku simpan sampai Rara yang akan menerimanya. Desember
bagiku adalah harapan untuk bisa bertemu dengan Rara. Desember bagiku bulan
yang selalu aku rindukan seperti aku merindukan Rara akan datang untuk menjadi
sahabat kecilku lagi. Aku akan selalu menunggumu Ra. Desember, nantikan aku
lagi di tahun depan. Aku akan menunggumu!!!!
6 komentar:
11 Desember 2015 pukul 16.00
Punya sahabat itu sesuatu banget ya mbak... apalagi dari TK udah sama-sama, setiap ketemu jadinya seru... nambah saudara...
12 Desember 2015 pukul 11.48
iya mencari sahabat itu susah-susah gampang
12 Desember 2015 pukul 21.28
Seorang sahabat, suatu saat pasti akan menapaki hidupnya sendiri, menjalaninya sendiri. Ketika takdir sudah merestui, pasti akan bertemu lagi dengan cara yang luar biasa :)
13 Desember 2015 pukul 11.47
wah betul juga ya mas
14 Desember 2015 pukul 13.44
pendek tapi mengena, good job.
15 Desember 2015 pukul 11.45
makasih mas Wahib
Posting Komentar