Amplop Uang

Senin, 10 September 2018

Gambar dari sini


             Rasa lelah sudah menyambangiku tapi bunda belum mau berhenti, padahal terik matahari begitu kuat dan kerongkonganku sudah kering. Kulihat bunda masih saja berjalan dan aku terseok –seok mengikutinya. Belum ilalang mulai menggigit kulitku dan terasa perih .
            “Bunda masih lama, kok gak sampai-sampai?” aku mulai mengeluh. Bunda diam saja tetap menarik tanganku lebih kuat lagi sedangkan aku sudah tak bisa mengimbangi langkah bunda.
            “Jangan cepat-cepat, bunda .”
            “Dengar Anggi, bunda gak mau dengar kamu dari tadi ngeluh saja, baru segitu saja kamu sudah cengeng,” tampak bunda kesal. Aku mulai merajuk, tapi bunda tak mempedulikan aku. Sampailah di rumah bilik yang terlihat kusam , aku bingung mau apa , bunda datang ke rumah itu , sudah tidak bisa memakai kendaraan , jauh lagi. Seorang gadis seusiaku keluar dari rumah bilik itu dan memcium tangan bunda.
            “Tikah, ini anak ibu, Anggi,” kata bunda sambil menyuruhku untuk memberi salam padanya. Dengan segan aku menyalaminya , tampak senyumnya  manis dengan gigi gingsulnya di sebelah kiri.

            Bunda menceritakan kalau Tikah adalah cucu dari pengasuh bunda waktu kecil. Bunda selalu menganggap Tikah anaknya juga dan semua biaya sekolah Tikah ditanggung bunda .  Aku mulai tertarik dengan keramahan Tikah dan aku diajak melihat pemandangan di desa yang tak ada di kota. Aku takjub melihat sawah yang membentang luas dengan ladang-ladang milik penduduk yang tampak menghijau. Aku mendengarkan cerita Tikah bagaimana dia harus ke sekolah pagi buta dan menempuh perjalanan selama satu jam untuk sampai di sekolahnya.
            “Benar , kamu harus jalan kaki selama satu jam , berarti dua jam pulang pergi,” tak kusangka betapa sulitnya Tikah saat hendak pergi ke sekolah, beda denganku yang tinggal naik mobil saja.  
            “Iyalah, belum kalau musim hujan , jalan tanah sangat licin, jadi harus ekstra hati-hati,” kata Tikah. Dan pulang sekolah Tikah masih harus membantu bapaknya di kebun jagung.
            “Apa kamu gak capai ,” aku bingung dengan rutinitas Tikah yang menurutku tak biasa.

Malam itu , aku dan bunda menginap di rumah bilik Tikah, sebetulnya aku segan tapi karena untuk kembali ke mobil perlu jalan lagi yang cukup jauh sedangkan hari sudah menjelang sore, untungnya bunda membawa pakaian ganti.
            “Bunda , gimana aku bisa tidur di dipan yang gak ada kasurnya,” kataku mulai merajuk lagi.
            “Sudahlah kamu gak usah merajuk, tapi lihat dan syukuri bahwa hidupmu lebih baik dan rasakan kalau tidak semua orang beruntung sepertimu.” “kamu harus mulai belajar bahwa banyak anak di luar sana yang tidak beruntung dan mereka harus berjuang untuk bisa sekolah dengan segala keterbatasan.” Aku hanya diam saja dan mencoba tidur di dipan yang terasa keras di tubuhku. Malam itu bunda banyak bercerita kalau bunda selau menyisihkan uang untuk memberi beasiswa  anak-anak yang tidak beruntung agar mereka bisa bersekolah, walau jumlahnya tidak banyak .

            Sinar mentari masuk lewat sela-sela bilik dan menyadarkan aku dari tidurku, walau tadinya aku mengeluh ternyata aku bisa tidur juga walau punggungku sekarang terasa sakit. Kulihat bunda sudah tidak ada di sampingku, aku keluar dan  tak ada siapa-siapa. Aku mencari-cari bunda  dari depan pintu.
            “Anggi,” teriak Tikah. Kulihat  Tikah di kebunnya, kuhampiri Tikah , ternyata bunda juga ada di sana.  Tikah dan ibunya sibuk mencabut singkong untuk sarapan pagi ini. Bunda menyuruhku membantu Tikah.  Tikah sangat cekatan mengupas dan membersihkan singkongnya , tidak seperti aku . Pagi itu sarapan dengan singkong goreng dan secangkir teh hangat di kebun , rasanya berbeda  saat aku sarapan di rumah. Tak tearsa hari sudah siang, aku dan bunda berpamitan untuk pulang kembali.
            “Sering-sering kemari ya Anggi, kan kamu belum lihat aliran sungai di sini, kita bisa menangkap ikan,” kata Tikah.
            “Nanti kalau libur ya, tapi itu juga kalau ada ijin dari bunda.” Aku melirik bunda.
            “Boleh dong, asal jangan mengeluh kalau jalannya jauh.”  “ Gak akan!!!!” teriakku.
Pengalaman pergi ke desanya Tikah itu sangat membekas, selama ini aku terlena dengan apa yang kumiliki tanpa menyadari kalau di luar sana masih banyak orang yang kekurangan dan tidak bisa bersekolah. Aku berterimakasih pada bunda yang mengajarkan aku bukan dengan kata-kata saja tapi contoh yang konkrit.

           
            Kini aku sudah bekerja dan dapat mencari penghasilan sendiri , dan aku selalu menyisihkan uang yang kutaruh di amplop-amplop untuk beasiswa bagi anak-anak yang kurang beruntung. Setiap bulan aku mengunjungi mereka di desa terpencil memberikan beasiswa dalam amplop-amplop berisi uang. Itulah yang membuat hatiku bahagia ketika melihat wajah ceria anak-anak saat mereka menerima amplop dariku.
            “Bunda, jangan cepat-cepat jalannya, aku sudah capai,” teriak Dinda anakku. Aku hanya tersenyum, terbayang dulu aku juga mengeluh dan berteriak seperti yang dilakukan Dinda, tapi aku mau mendidik Dinda agar kelak Dinda juga mau menyisihkan sebagian penghasilannya untuk beasiswa anak-anak yang kurang beruntung. Langkahku pasti walau kumasih mendengar gerutuan Dinda di belakangku. Aku tersenyum membayangkan hal yang  sama dulu sekali!

0 komentar:

Posting Komentar