Dea

Senin, 18 Februari 2019


Gambar dari sini 
 

Pagi ini seperti biasa aku ada di depan pintu kelas menugggu anak-anak datang. Sudah hampir lima tahun aku mengajar di TK Pertiwi. Entah mengapa aku begitu suka melihat keceriaan anak-anak  
            “Pagi bunda,”sapa Sasha. Aku tersenyum dan menyambut tangannya yang sudah dicium olehnya. Satu persatu anak-anak berdatangan. Aku menjulurkan kepalaku ke halaman depan, belum tampak Dea. Dia selalu datang telat atau mepet waktu bel masuk. Dea itu terlalu pediam dan ada kecemasan yang selalu dia perlihatakan. Beberapa kali aku melihat ada memar di tubuhnya tapi Dea selau bilang kalau dia terjatuh di rumahnya. Aku melihat Dea berlari ke arah kelas dan tampak dari kejauhan mamanya melihat ke arah Dea.
            “Pagi bunda,”suaranya terengah-engah.
            “Pagi Dea,”sapaku. Aku memegang tubuh Dea dan melihat ada memar biru di lehernya.
            “Ini kenapa Dea.” Aku memegang memar itu dan Dea menjerit kesakitan. Aku segera membawa Dea ke ruang UKS. Aku mulai mengompres memar Dea dengan air dingin. Dea meringgis kesakitan.
            “Ini terjatuh lagi?” tanyaku sangsi. Dea mengangguk ragu dan tampak manik matanya terlihat cemas sekali . Aku peluk dirinya erat-erat, aku tahu ada yang dia sembunyikan . Terdengar suara isakan kecil darinya.  Aku menambah pelukan erat untuk menenangkannya. Ah, sekecil ini dia harus menerima beban seberat inikah??? Ada perasaan nyeri di hatiku. Aku harus cari tahu, apa yang terjadi pada Dea.

            Sampai suatu hari saat aku mengajak anak-anak untuk kerja bakti membereskan kelas. Aku membagi anak-anak tugas yang berbeda. Ada yang mengelap kaca, mengelap meja, menyapu dan membersihkan papan tulis. Waktu itu aku mengambil beberapa buah sapu dari ruang peralatan di gudang. Waktu masuk kelas dan aku mengangkat sapu dan akan menyerahkan pada Dea, aku begitu terkejut dengan reaksi yang diperlihatkan Dea. Dea begitu ketakutan dengan sapu dan menjerit begitu keras.
            “Ampun mama, ampun mama , Dea gak mau dipukul,”teriaknya. Aku terperangah sekejap dan secepat kilat aku turunkan sapu dan membawa Dea keluar dan aku peluk erat. Dari bibir mungilnya dia menceritakan kalau dia sering dipukul mamanya dengan sapu. Ah , begitu ceritanya. Pantas saja dia begitu takut melihat sapu yang diangkat ke atas olehku, dikiranya aku hendak memukulnya. Aku peluk erat tubuh mungilnya, tak terasa titik-titik airmataku turun perlahan. Ah, Dea ingin aku melindungi dirimu.  

            Aku mengantarkan Dea pulang dan memberitahu ibunya apa yang Dea alami di sekolah. Aku melihat mamanya. Tampak banyak beban yang harus dia hadapi sendirian dan ada beban yang tak bisa dia tanggung sendiri. Ah, mamanya terlalu menderita sehingga dia mampu berbuat kejam pada diri Dea. Tanpa disuruh mamanya menceritakan semua tentang Dea.
            “Kasihan Dea, bu. Dia butuh kasih sayang. Jangan sakiti dia, dia tak tahu apa-apa, dia tak berdosa. Kalau ibu membenci ayahnya, jangan biarkan Dea menderita. Dia harta ibu yang paling berharga,”tukasku.  Mamanya tercenung sejenak ada bulir-bulir air matanya yang turun. Aku berpamitan pulang. Ada sedikit keraguan untuk meninggalkan Dea. Aku takut Dea mengalami kekerasan lagi. Kembali aku peluk erat-erat tubuhnya.
            “Kamu baik-baik saja ya. Kalau ada apa-apa ke bunda saja ya,”tukasku. Aku pulang sambil membawa sejuta harapan agar Dea diperlakukan dengan kasih sayang. Aku membalikan tubuhku. Kulambaikan tangan padanya......

6 komentar:

Maseko Sakazawa Says:
18 Februari 2019 pukul 13.46

Seringkali, anak jadi pelampiasan emosi orangtuanya.. :(

Bang Day Says:
18 Februari 2019 pukul 20.14

Duh smg kita semua bisa jadi ortu yang sebenarnya ut anak2 kita.

Tira Soekardi Says:
19 Februari 2019 pukul 11.20

betul mbak maseko

Tira Soekardi Says:
19 Februari 2019 pukul 11.21

amin ya bang day

Einid Shandy Says:
23 Februari 2019 pukul 18.26

Aku juga suka anak-anak... Aku setiap malam mengajar les di rumah.
Aku punya siswa yang mirip dengan Dea, tapi dia laki-laki. Dia tidak takut, tapi jadi berani memukul, bertengkar, dan kasar.
Bahkan dia berani sama aku. Aku sering jadi takut sama dia awalnya.
Tapi, karena lama-lama aku berusaha dekat dengan tertawa bersama. Akhirnya dia tiba-tiba perlahan menghormatiku, bahkan dia yang lebih sering bantu aku membersihkan sampah atau menghapus papan tulis, bahkan jadi lebih diam karena dia tahu aku suka kewalahan dengan teman-temannya.

Sedih kalau ada orang tua yang melampiaskan kemarahannya ke anak-anak, padahal mereka anak-anak yang manis.

Tira Soekardi Says:
24 Februari 2019 pukul 11.14

wah mbak einid, memamng kita hrs dekat denagn mereka krn mereka itu haus perhatian, kl sudah kena pasti mereka akan sayang sama kita

Posting Komentar