Alunan Nada Buat Dila

Sabtu, 22 Februari 2020

gambar dari sini

Sore itu mesjid At Taqwa masih sepi hanya beberapa orang yang masih menjalankan solat asar. Aku melangkahkan kakiku menuju ruang kegiatan remaja mesjid di samping mesjid. Belum ada siapa-siapa, benar juga orang indonesia itu selalu ngaret , tidak tepat waktu.Padahal sudah jelas , di islam ada  surat demi waktu , yang menyuruh kita menghargai waktu, tapi kenyataannya masih saja teman-teman yang lain terlambat datang. Kalau begini terus banyak waktu yang terbuang.
            “Asalamualaikum,” Syfa masuk diikuti dengan Dinar.
            “Waalaikumsalam,” aku menyahuti .Sebentar kemudian anggota nasyid Gita Warna datang silih berganti.Memang hari ini jadwal latihan rutin.
            “Lain kali jangan telat dong, banyak waktu terbuang , apalagi kita hanya punya waktu satu jam saja,” selaku dengan  nada kesal melihat teman-teman lainnya sepertinya tak merasa bersalah karena datang terlambat.
            “Slow saja kali, Nisa, jangan terlalu ketat-ketat sekali, toh selama ini pertunjukkan kita selalu bagus,”protes Dinar.
            “Iya, tapi kan setiap orang kan punya urusan yang lain selain latihan, kalau telat terus , urusan yang lain akan terbelangkai,”aku tak mau kalah untuk protes kembali. Sapto melerai aku dan Dinar yang sudah mulai mempertahankan argumen masing-masing dan tak ada satupun yang mau mengalah.
            “Benar , kata Nisa, selama ini kita selalu telat terus, seperti hari ini aku hanya bisa sampai jam lima loh, aku harus mengantarkan ibu, artinya latihannya jadi terhambat, coba dari tadi mungkin sudah selesai,” Sapto menunjukan kebenaran dari kata-kataku, tapi Dinar masih cemberut saja karena merasa Sapto membelaku
            “Kamu jelek kalau cemberut gitu Dinar,” tukas Toni sambil menepuk pipi Dinar. Sapto mengajak untuk latihan agar latihan hari ini cepat selesai.

            Kelompok nasyid Gita Warna memang sudah banyak dikenal di kota Cirebon, sering mendapat banyak undangan bahkan sampai luar kota . Apalagi kelompok kami tak terpaku dengan ritme yang melankonis saja tapi ada yang digabungkan dengan rep,irama melayu dan alat musik gamelan. Kelompok nasyid kami ini sifatnya sosial belum komersil hanya sebagai media dakwah . Mungkin dengan lagu terutama untuk anak remaja akan lebih cepat dimengerti dibanding dengan ceramah. Dan juga memadukan dengan alat gamelan untuk melestarikan budaya daerah Cirebon. Kak Aman yang mulai memperkenalkan dan melatih nasyid kepada remaja islam di mesjid At Taqwa. Walau personilnya tidak rerlalu banyak tapi cukup bisa melantunkan lagu-lagu untuk memberikan dakwah lewat lagu. Kelompok kami juga pernah mendapat penghargaan dari pemerintah kota dan pernah menjuarai lomba nasyid tingkat nasional. Lebih menarik lagi Seno sering membuatkan lagu dan hampir semua lagu yang dia ciptakan selalu memberi kesan tersendiri dan punya sentuhan yang menyentuh dan menggetarkan jiwa. Salah satu lagu yang dia ciptakan lagu “Meluruhkan Jiwa”, tentang kekuatan seseorang dalam sakitnya karena kekuatan yang diberikan Allah. Kadang kalau menyanyikannya air mataku sudah tergenang di pelupuk mata siap mengalir ke pipiku.

            Tak disangka lagu Meluruhkan Jiwa dilirik oleh poduser rekaman dan mereka menawarkan rekaman . Kak Aman menyanggupi dengan beberapa syarat agar rekaman ini bukan untuk komersil tapi keuntungannya untuk membangun mesjid-mesjid di daerah yang masih tertinggal. Mendengar kabar ini , aku dan teman-teman merasakan kegembiraan yang sangat karena bisa merasakan rasanya memasuki dapur rekaman.
            “Ingat, kleompok nasyid ini tujuan utamanya dakwah, makanya kalian melakukan semua ini bukan untuk terkenal tapi untuk menyampaikan pesan untuk umat,” kak Aman memberikan petuahnya agar kami tak menjadikan masuk dapur rekaman untuk riya. Tak disangka-sangka ternyata lagu Meluruhkan Jiwa itu jadi laris manis, dan hampir di setiap rumah terdengar lagu ini . Mau tak mau kelompok Gita Warna harus banyak tampil di depan umum. Nada –nada lagupun bisa menjadi media dakwah yang efektif. Sampai suatu hari saat grup kami mengadakan pertunjukkan di mesjid Agung Kuningan, ada seorang ibu mendatangi kak Aman.
            “Maaf, ini kelompok nasyid Gita Warna?” tanyanya pada kak Aman. Kak Aman menganggukkan kepalanya.
            “Aku bu Rita,” ibu itu memperkenalkan dirinya
            “Ibu boleh minta tolong pada kalian?” tampak ibu itu ragu-ragu
            “Bisa minta tolong datang ke rumah ibu, anak ibu suka sekali dengan kalian tapi sekarang dia lagi sakit berat,” tukas bu Rita setengah memohon pada kak Aman. Tampak jelas wajahnya mengharapkan agar kelompok Gita Warna bisa mengunjungi anaknya. Kulihat kak Aman ragu-ragu, karena kelompok kami sudah kelelahan karena dari sejak pagi masih belum bisa istirahat.
            “Gak apa-papa kak Aman, kasihan bu Rita,” tukasku sambil meminta persetujuan teman-teman yang lain. Mereka semua mengangguk tanda setuju. Dalam perjalanan ke rumah bu Rita, bu Rita menceritakan kalau Dila anaknya sedang menderita kanker darah. Sudah hampir lima tahun menjalani pengobatan tapi sampai sekarang belum bisa sembuh total bahkan kondisinya semakin parah. Setelah mendengar lagu meluruhkan Jiwa, Dila menjadi lebih semangat hidup kembali walau sebetulnya Dila tahu sebentar lagi kankernya akan menggerogoti sel-sel tubuhnya sampai dia sudah tak tahan lagi dan paasrah dengan takdirnya. Aku terdiam lama , mendengar penuturan bu Rita, membayangkan anak kecil harus mengalami kesakitan yanag luar biasa.  Tiba di rumah Dila, kami melangkahkan kaki ke kamarnya Dila. Dila trelihat pucat dengan wajah yang sudah membiru.Dekat tempat tidurnya terlihat Cd rekaman kami. Poster –poster kami terpajang di dinding kamarnya.
            “Kak Nisa, aku suka kak Nisa,” aku mendekatinya dan merangkulnya erat sekali. Semua kelompok Gita Warna menyalami dan memeluknya dengan perasaan yang tak pernah bisa terungkapkan.
            “Cepat sembuh ya Dila, yang kuat seperti lagu Meluruhkan Jiwa,” tukas Dinar sambil menghapus air matanya yang tiba-tiba saja menetes. Semua diam merasakan keharuan yang menyelimuti kamar tidur Dila. Wajah Dila tampak bersinar, kegembiraan dapat berjumpa dengan kelompok kami membuatnya selalu mengembangkan senyumnya lebar-lebar. Dila memberikan lukisan buatannya untuk kami. Kami semua melihat lukisan yang dibuat Dila, gambar kelompok Gita Warna sedang tampil.
            “Bagus sekali Dila, kami senang menerimanya,”tukas kak Aman.


            Sudah hampir dua bulan setelah kami datang ke tempatnya Dila tak pernah dengar kabarnya sampai suatu saat kami mendapat kabar dari bu Rita kalau Dila sudah dipanggil keharibaan , kembali ke pemilik alam semesta, Allah SWT. Bu Rita mengharapkan agar kelompok nasyid datang ke rumahnya Ada  pesan dari Dila. Tanpa menunggu lagi kami datang ke rumahnya Dila, disambut oleh bu Rita. Tampak bu Rita masih terlihat sedih dan matanya sembab. Bu Rita menyodorkan rangkaian puisi yang ditulis di lembaran kertas putih dan diberi pigura.
            “Dila pesan untuk memberikan puisi ini kalau dia dipanggil Allah, “ jelas bu Rita. Bu Rita bilang , Dila sudah merasa tak bisa menahan lagi sel kanker yang sudah menggerogoti sel-sel darahnya, makanya Dila membuat puisi ini untuk diberikan pada kelompok Gita Warna. Aku membaca puisi itu, tak terasa air mataku tak dapat kubendung lagi, begitu menyentuh dan menggigil aku membacanya. Kusodorkan kertas itu pada kak Aman.
            “Aku akan buatkan lagunya dan liriknya gunakan puisi itu, “ tukas aku yang spontan berbicara demikian padahal aku sendiri belum pernah membuat lagu. Semua memandangku dengan pandangan heran tapi tak lama kemudian mereka bertepuk tangan tanda setuju tinggal aku yang agak sangsi dengan kemampuanku.

            Dalam hitungan satu bulan akhirnya aku bisa menyelesaikan lagu , walau aku agak sangsi apakah lagu ini nantinya bisa diterima oleh masarakat. Kak Aman mendengarkan lagu yang kubuat  sambil memainkan gitarnya. Selesai lagunya terdengar tepuk tangan teman-teman yang lain.Tampak mereka suka dengan laguku.
            “Keren Nisa, “ sambut teman-teman yang lain. Jadilah lagu Ketegaran Jiwa , hadiah untuk Dila. Kami semua pergi ke makamnya Dila dan mulai menyanyikan lagu dengann lirik yang ditulis oleh Dila sendiri. Semua menitikan air mata , haru menyeruak dalam ruang hati , tak ada satupun yang mampu menolak rasa sedih yang mendalam saat lagu itu terdengar lagi. Aku turut terhanyut. Nada-nada lagu untuk Dila akan selalu menjadi kenangan bagi kelompok nasyid Gita Warna. Selamat tinggal Dila, semoga kau bahagia di sana!

0 komentar:

Posting Komentar