Seperti Mimpi

Rabu, 08 April 2015




Merintik air mataku turun perlahan
Saat aku merindu dirimu
Sampai kapan aku menanti datangnya cinta berbalas
Kadang rindu menuai perih
Mengalun pelan detik demi detik
Sampai meluruh dalam pelukan rindu
Kini aku merindukanmu dalam diam.

            Ini puisi yang sudah kesekian kalinya aku kirim .Aku lipat amplop merah jambu. Kudekap amplop. Mudah-mudahan kau membaca puisiku lagi . Betap aku merindukanmu. Mengharpakan dia tahu isi hatiku. Kalau aku mencintainya dalam diam. Menurut mbak Nia , aku  jatuh cinta diam-diam tanpa bicara hanya puisi yang bermakna. Sudah lama aku tertarik dengan pria yang aku sendiri tak mengenalnya dengan baik. Hanya sekilas saat bertemu di suatu acara pembukaan  perumahan baru di kotaku. Saat itu aku tak sengaja menoleh ke samping. Pria itu ada di sisiku .Aku sendiri mengantarkan kakak yang ingin membeli rumah untuk persiapan berkeluarga nanti .  Tiba-tiba saja dadaku berdebar kencang. Aku seperti melihat pangeran tampan di sampingku.  Ah, gimana caranya aku bisa berkenalan dengannya??? Tapi sebelumm niat berkenalan, mbak Nia sudah menarik lenganku pergi.
            “Duh, mbak Nia mau kemana. Itu kan belum selesai ”tukasku kesal. Mbak Nia  masih ingin melihat maket-maket rumah yang ada di pameran perumahan di gedung “Arkanta”
            “Gak perlu dengerin, malah jadi bingung lebih enak langsung bertanya di standnya,” tukas mbak Nia. Sebetulnya malas aku mengikutinya.  Tapi tak disangka saat mbak Nia sedang melihat stand , pria itu juga sudah berdiri di samping mbak Nia melihat-lihat brosur yang ada di sana. Aku tertegun dan tak mau hilang kesempatan . Tak disangka pria itu menoleh padaku. Aku tergagap dan tak sempat aku memalingkan wajahku. Aku merasakan pipiku menghangat.
            “Ada yang salah dariku?” tanyanya. Aku menggeleng keras.
            “Gak -gak,”tukasku gugup. Mbak Nia menoleh padaku .. Ingin aku menarik lengan mbak Nia pergi dari sana. Saat pria itu memilih tipe rumah yang akan diambil. Aku melangkah ke sisi yang lain dan mengintip alamat yang dia tuliskan di formulir pemesanan rumah. Ah, Nathan, namanya.. Tak lupa aku catat alamat rumahnya.

            Mulai saat itu aku mulai banyak berkhayal tentang Nathan. Setiap waktu aku selalu berangan-angan tentang dirinya. Berangan-angan aku jadi kekasihnya. Memang sih agak memalukan . Tapi ada hasrat dalam diriku untuk membuat puisi untuk ungkapan isi hatiku dan kerinduanku padanya Puisi-puisi aku kirimkan pada Nathan. Walau sampai saat ini belum berbalas tapi aku tak pernah bosan mengirimkan puisi-puisi lagi.
            “Sampai kapan kamu kirim pusi-puisi itu, Lingga? Heran mbak, kenal saja enggak, kok bisa-bisanya kirim puisi cinta. Duh, kalau kata mbak sih malu-maluin,” ejek mbak Nia. Aku mendelik marah padanya. Gak apa-apalah, jatuh cinta kan tak ada yang melarang.
            “Mbak, gak boleh ribut-ribut. Kalau aku sampai bisa mendapatkan cowok tampan mbak harus traktir aku ,”tukasku.
            “Setuju,”tukas mbak Nia. Aku mengedipkan mataku padanya. Mbak Nia mendelik marah padaku. Aku tergelak.
            “Namanya cinta dalam diam. Itu tag line yang bagus untiuk diriku. Ingat ya mbak Cinta Dalam Diam.” Aku tertawa keras-keras. .

            Diam-diam pula aku pernah mendatangi alamat Nathan itu. Sepulang kuliah aku kesana ditemani Kania.
            “Benar. Ini rumahnya. Nomer 35.” Aku melihat angka 35 di tembok dekat pagar. Aku melongok ke dalam rumah. Tampak rumah sepi. Aku melongok lagi, mencari-cari kalau--kalau ada Nathan. Kania mulai gelisah.
            “Pulang Lingga. Nanti kita dicurigai mau maling rumah.” tukas Kania. Benar saja, tiba-tiba ada pria yang  menghampiri mereka berdua.
            “Mau ketemu siapa?” tanyanya sambil mengampiriku. Aku begitu gugup, sehingga yang aku lakukan hanya menarik lengan Kaniai dan berlari . Pria itu berteriak-teriak memanggil.
            “Terus lari saja, “aku tetap menarik lengan Kania. Kania marah besar denganku.
            “Maaf  Kania. Aku janji, ini yang terakhir kalinya aku ajak kamu ke sana.” Aku membuat tanda V dengan tanganku untuk mengajak Kania berdamai.

            Tapi aku juga tak mengerti, magnet pria itu begitu kuat. Wajahnya yang tampan tak pernah hilang dari ingatanku. Semua puisi yang aku kirim , aku yakini Nahan pasti membacanya.
            “Lingga. Ini ada surat untukmu,!”teriak mbak Nia. Aku bergegas menarik surat tersebut. Aku berrharap surat ini dari Nathan. Aku membalik amplop itu dan membaca pengirim surat. Baskoro. Aku kecewa berat. Terdengar suara ejekan mbak Nia dari dalam kamar.
            “Kecele ya bukan dari pacar bayang-bayang kamu.” Ingin rasanya melempar wajah mbak Nia. Tenang Lingga.. Aku cepat membuka suratnya.

To Lingga

Puisi-puisi yang kamu kirim ke mari aku terima. Puisi-puisi cintanya indah dan begitu syahdu. Bisakah kita bertemu? Kalau kamu mau datang , aku menunggumu di kafe Pyxa besok Sabtu jam empat sore. Maaf kalau aku lancang. Terimakasih. Aku tunggu.

Salam: Baskoro.

Aku lipat suratnya. Alamat yang Baskoro tuliskan sama dengan alamat Nathan. Sungguh aneh. Apa Baskoro itu Nathan?? Atau Baskoro itu saudaranya Nathan???  Tapi aku yakin dengan alamatnya tak mungkin salah  . Aku perlihatkan surat itu pada mbak Nia.
            “Aneh gak mbak. Aku yakin kalau pria itu namanya Nathan begitu juga alamatnya. Mengapa yang menjawab suratku Baskoro? “ aku melihat muka mbak Nia tampak sekali terlihat tersenyum menggodaku.
            “Gimana kalau Baskoro itu yang membaca suratmu bukan Nathan. Dan Baskoro itu pria yang jelek banget. Gimana hayo?” Mbak Nia menatapku dengan pandangan mengejek. Aku raih bantal dekat mbak Nia dan aku lempar tepat di wajahnya. Mbak Nia mengambil bantalnya dan aku segera berlari sebelum bantal itu mendarat di wajahku.
            “Gak kena ,!’ aku teriak sambil tertawa mengejek mbak Nia. Kok gak ada suaranya sih. Aku mengintip lagi ke kamar  dan tepat aku mengintip ke dalam, sebuah bantal mendarat di wajahku. Mbak Nia tergelak begitu keras. Sialan!!!!!

            Sore itu aku sudah duduk di kafe Pixa sebelum Baskoro datang. Aku harus mengatur debaran jantung agar saat Baskoro datang aku bisa menghadapinya. Tiba-tiba ada pria yang mencari-cari sesorang. Pria itu memandangku dan menghampiriku.
            “Lingga?’tanyanya. Aku mengangguk dan jantungku sudah tak bisa aku kendalikan lagi. Baskoro  tampan seperti Nathan juga. Ah, kalau Nathan gak dapat Baskoro juga lumayan , pikir nakalku.Baskoro memesan  steak dan segelas juice jeruk. Aku meneguk lemon teaku. Masih  berdebar perasaanku. Menunggu Baskoro bercerita, itu sesuatu hal yang membuaku gelisah .
            “Sudah kenal berapa lama dengan Nathan?” aku terdiam . Sungguh malu. Aku tak pernah kenal. Hanya melihat dan suka!!!!. Baskoro menatapku, dia menunggu jawabanku. Gelisah hati ini, apa yang harus aku katakan padanya??? Aku mulai menari-narik blusku. Keringat mengalir dan ketakutan mulai menghinggapi segenap rasa di dada. Baskoro menelengkan kepalanya menatapku sekali lagi.
            “Ada yang salah?” tanyanya.
            “Gak. Gak kok,” aku masih berpikir bagaimana aku menjawabnya. Akhirnya dengan tersendat-sendat aku menceritakan tentang pertemuanku dengan Nathan. Suatu ketidaksengajaan yang membuatku tertarik padanya.
            “Jadi kamu gak kenal Nathan secara personal?” tanyanya terkejut. Aku menunduk malu.
            “Ah, aku tak menyangka. Betapa puisi-pusimu begitu indah, begitu jelas menyatakan banyak cinta untuk Nathan,” tukasnya. Pipiku terasa menghangat.Mungkin pipiku akan terlihat merah.Aku menunduk terus . Malu rasanya untuk menatap wajah Baskoro.Debar jantungku semakin keras, tapi Baskoro belum bicara lagi.Aku coba untuk mengangkat wajahku. Aku terhenyak melihat wajah Baskoro mendung dan tampak dia melamun.
            “Ada apa?” aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya padanya. Baskoro tampak gelisah. Sebentar-bentar dia menghela nafas dan menghembuskan nafas berkali-kali.
            “Nathan sudah tiada.” Aku hanya bisa melonggo. Aku semakin keras memegang ujung blusku. Sepersekian detik aku tak mampu mengumpulkan lagi pikiranku hanya ilusi yang semakin berterbangan di pikiranku.
            “Kamu baik-baik saja kan?” Aku tersentak kaget dan menganggukan kepalaku. Aneh, ada rasa kehilangan , padahal aku tidak mengenalnya, bicarapun tidak. Hanya puisi-puisi cinta yang menjadi penghubung antara aku dan Nathan. Baskoro mnceritakan kalau adiknya Nathan dari kecil memang punya kelainan jantung. Nathan tak boleh lelah sehingga dia juga kurang bisa bergaul dengan teman-temannya. Hanya bukulah hiburan satu-satunya. Dan dia juga suka membuat puisi. Baskoro terdiam lama.
            “Makanya Nathan suka sekali saat kau mengirim banyak puisi untuknya. Saat itu Nathan sudah sering kambuh penyakitnya tapi dia kembali bersemangat saat menerima puisi-puisimu .  Nathan begitu gembira. Wajahnya tampak cerah. Ini yang membuat keluargaku berharap Nathan bisa kembali bersemangat untuk hidup." tukas Baskoro lagi
            “Tapi mengapa dia tak pernah membalas puisi-puisiku?”
            “Dia terlalu malu. Puisi yang terakhir kamu kirim, itulah puisi yang terakhir Nathan baca. Nathan menutup matanya setelah membaca puisimu,"tukas Baskoro.. Aku tak bisa berkata-kata lagi.Hanya bisa terdiam..Seperti mimpi yang aku rasakan!!! 

Sumber gambar : https://1t4juwita.wordpress.com/category/diary-instan/page/2/

8 komentar:

Irma Senja Says:
10 April 2015 pukul 19.13

So sad ya.... tp begitulah cinta :)

Anonim Says:
11 April 2015 pukul 05.14

Manstaf :)

Tira Soekardi Says:
11 April 2015 pukul 12.59

betul mbak Irma, jatuh cinta diam-diam memang menyakitkan

Tira Soekardi Says:
11 April 2015 pukul 13.01

anonim, makasih

Fira Syarifah Says:
17 April 2015 pukul 05.29

ya ampunn, nyesek :(

Tira Soekardi Says:
19 April 2015 pukul 19.00

ya itulah jika kita mencintai seseorang dg diam-diam

Meirida Says:
25 April 2015 pukul 21.58

mengharukan *hiks*

Tira Soekardi Says:
26 April 2015 pukul 19.13

iya, cinta yang tak berbalas

Posting Komentar