Gambar dari sini
Sore
itu dengan perasaan sebal aku langkahkan kakiku sepanjang trotoar yang
bersisian dengan kebun raya. Sebuah batu yang teronggok di depanku menjadi
sasaran kekesalanku. Tak menyangka batu yang kutendang mengenai seorang anak
yang berada tak jauh dariku.
“Aduh!”teriaknya. Aku terlonjak kaget
dan segera menghampiri dirinya.
“Kamu gak apa-apa dik?”tanyaku
sambil melihat kepalanya yang terantuk batu. Aku segera melihat kepalanya tampak
benjolan kecil.
“Sakit?”jeritnya saat benjolan itu terpegang
olehku.
“Namamu siapa? Biar kakak antar ke
rumah sakit ya,”ajakku
“Jingga. Gak usah , nanti juga
hilang sendiri sakitnya. Gak ada luka kok,”tukasnya sambil meringis
kesakitan. Aku mengajaknya untuk pulang
.
“Gak usah kak, aku bisa pulang
sendiri.” Aku memaksanya untuk mengantarkan pulang. Aku berjalan di sisi
Jingga. Anaknya ceria dan tawanya begitu renyah di dengar. Sekali-kali dia
bercerita tentang kegemarannya melihat senja.dari mulut mungilnya , ia
bercerita bagiamana ayahnya menyukai senja yang didomiansi dengan warna jingga.
“Tahu gak kak? Kenapa aku diberi
nama Jingga?” aku menggelengkan kepala. ia bercerita ayahnya yang membira nama
Jingga karena suka dengan warna jingga yang selalu ada di senja hari. Malam sudah
mulai menyambut tapi Jingga belum menghentikan langkahnya. Sampai dia berhenti
di sebuah gang sempit di depan rumah mungil.
“Aduh, Jingga kemana saja kamu, mama
cari-cari kamu di sekitar sini gak ada?”
Aku meminat maaf padanya dan menceritakan kenapa Jingga terlambat pulang.
Aku segera berpamitan pulang.
Sampai suatu saat aku melihat Jingga
ada di depan pintu masuk kebun raya , sedang berdiri di depan lukisan-lukisan
yang berjejer rapi .
“Hai, jingga . Apa kabar, ngapain kamu
di sini?” Dia menunjukkan pada lukisan-lukisan itu dan menceritakan kalau itu
semua lukisan ayahnya. Aku melihat lukisan-lukisan alam dan banyak sekali
menorehkan keindahan alam senja di
beberapa tempat. Aku tak tahu tentang lukisan tapi ini sungguh indah menurutku.
“Jadi kau jualan lukisan ayahmu?”
“Iya, kak. Aku yakin suatu saat ayah
akan jadi pelukis besar,”tukasnya cepat. Aku mengelus kepalanya. Beberapa kali Jingga menawarkan lukisan pada
orang yang melihat-lihat kadang ada kekecewaan kalau tak ada yang mau membeli
lukisannya
“Bentar ya, kakak pergi sebentar
ya.” Aku kembali dengan membawa gorengan dan minuman. Aku menyodorkan padanya
“Belum makan?” Jingga tertawa lebar
dan seditit tersipu. Tanpa diminta Jingga mulai bercerita tentang dirinya. Aku
diam menyimak ceritanya. Pernikahan ayah dan ibunya tak disetujui oleh orangtua
ibunya., karena ayahnya pelukis yang tak punya penghasilan tetap. Akhirnya
mereka menikah dan lahirlah Jingga. Ternyata lukisan ayahnya tak bisa
menghidupi keluarganya dan ayahnya
menjadi supir bus antar kota untuk menyambung hidupnya walau di waktu
senggangnya ayahnya tetap melukis.
“Aku ingin menjual lukisan ayah. Aku
tahu ayah orang hebat . Mungkin lukisan ini belum ketemu dengan orang yang
tepat.” Aku menatapnya kagum. Pikiran
anak kecil ini lebih dewasa dari usianya. Dibantu tukang beca tetangganya
setiap pulang sekolah dia menjual lukisan ayahnya dengan harapan ada yang membelinya
atau tertarik dengan lukisan ayahnya.
“Ayahmu tahu?” tanyaku. Jingga
menggelengkan kepalanya.
“Papa, gak tahu. Hanya aku dan mama
saja yang tahu. Kalau papa lagi ada di rumah, aku tak jualan.” Ada sesuatu yang
lain dari pandangan matanya , suatu harapan dan semangat . Jingga punya
keyakinan suatu saat luksian ayahnya bakal ada di tangan yang tepat suatu saat.
Semangat yang luar biasa.
Siang itu aku diajak Yeni ke Galery yang ada di dekat hotel Salak.
Sebuah gedung yang menempel di hotel
Salak . Walau aku bukan penyuka lukisan , ajakan Yeni cukup menarik
untuk sedikit menghibur hatiku . Tadi aku agak kesusahan dalam menjawab soal
ujian, mungkin dengan berkunjung kemari aku bisa menyegarkan kembali otakku.
Masuk dalam galerry , semua dipenuhi dengan warna Jingga. Lukisan-lukisan
menampilkan senja dengan suasana yang berbeda. Aku agak tersentak dan teringat
dengan Jingga. Aku tarik lengan Yeni lebih masuk ke dalam . Ah, benar ini
lukisan ayah Jingga. Aku menatap seluruh ruangan dan melihat seorang ibu
berdiri dekat lukisan yang aku tahu betul, itu lukisan yang pernah dijual
Jingga .
“Jingga mana?” aku tahu perempuan
itu ibunya Jingga.
“Kenal Jingga?” aku mengangguk.
Tampak sapuan kabut di matanya dan cepat-cepat dihapusnya air mata yang sedikit
keluar. Pria di sebelahnya memegang tangannya lembut. Aku terkesima sesaat.
Tapi sesudahnya aku turut meneteskan air mata. Jingga telah pergi. Meninggalkan
pesan untuk ayahnya kalau ada yang mau memamerkan lukisannya. Jingga tertabrak
mobil saking gembira hatinya ingin mengabarkan pada ibunya. Semenjak itu ayahnya
jadi sering pameran dan bahkan mempunyai galeri sendiri. Itu semua berkat
Jingga. Aku menitikan air mataku dan aku ingat manik-manik matanya yang
memancarkan harapan dan yakin Allah akan membantu dan menolong ayahnya. Dan
semua terbukti. Jingga percaya akan kehebatan Allah yang membukakan jalan untuk
ayahnya. Tepat di bulan ramadhan Jingga pergi dengan meninggalkan sejuta
harapan baru untuk kedua orang tuanya
4 komentar:
4 April 2016 pukul 14.21
doa anak yang dikabulkan Alloh ya mah.
4 April 2016 pukul 14.33
betul mbak Dwi
14 April 2016 pukul 19.12
Wah, jingga pergi slama2 nya...
Apakah ini terinspirasi oleh suatu kisah nyata?
15 April 2016 pukul 13.42
Mas Darsono, ini bukan kisah nyata hanya fiksi
Posting Komentar