Secercah Harapan Jingga

Minggu, 03 April 2016




Gambar dari sini 
 
            Sore itu dengan perasaan sebal aku langkahkan kakiku sepanjang trotoar yang bersisian dengan kebun raya. Sebuah batu yang teronggok di depanku menjadi sasaran kekesalanku. Tak menyangka batu yang kutendang mengenai seorang anak yang berada tak jauh dariku.
            “Aduh!”teriaknya. Aku terlonjak kaget dan segera menghampiri dirinya.
            “Kamu gak apa-apa dik?”tanyaku sambil melihat kepalanya yang terantuk batu. Aku segera melihat kepalanya tampak benjolan kecil.
            “Sakit?”jeritnya saat benjolan itu terpegang olehku.
            “Namamu siapa? Biar kakak antar ke rumah sakit ya,”ajakku
            “Jingga. Gak usah , nanti juga hilang sendiri sakitnya. Gak ada luka kok,”tukasnya sambil meringis kesakitan.  Aku mengajaknya untuk pulang .
            “Gak usah kak, aku bisa pulang sendiri.” Aku memaksanya untuk mengantarkan pulang. Aku berjalan di sisi Jingga. Anaknya ceria dan tawanya begitu renyah di dengar. Sekali-kali dia bercerita tentang kegemarannya melihat senja.dari mulut mungilnya , ia bercerita bagiamana ayahnya menyukai senja yang didomiansi dengan warna jingga.
            “Tahu gak kak? Kenapa aku diberi nama Jingga?” aku menggelengkan kepala. ia bercerita ayahnya yang membira nama Jingga karena suka dengan warna jingga yang selalu ada di senja hari. Malam sudah mulai menyambut tapi Jingga belum menghentikan langkahnya. Sampai dia berhenti di sebuah gang sempit di depan rumah mungil.
            “Aduh, Jingga kemana saja kamu, mama cari-cari kamu di sekitar sini gak ada?”  Aku meminat maaf padanya dan menceritakan kenapa Jingga terlambat pulang. Aku segera berpamitan pulang.

            Sampai suatu saat aku melihat Jingga ada di depan pintu masuk kebun raya , sedang berdiri di depan lukisan-lukisan yang berjejer rapi .
            “Hai, jingga . Apa kabar, ngapain kamu di sini?” Dia menunjukkan pada lukisan-lukisan itu dan menceritakan kalau itu semua lukisan ayahnya. Aku melihat lukisan-lukisan alam dan banyak sekali menorehkan  keindahan alam senja di beberapa tempat. Aku tak tahu tentang lukisan tapi ini sungguh indah menurutku.
            “Jadi kau jualan lukisan ayahmu?”
            “Iya, kak. Aku yakin suatu saat ayah akan jadi pelukis besar,”tukasnya cepat. Aku mengelus kepalanya.  Beberapa kali Jingga menawarkan lukisan pada orang yang melihat-lihat kadang ada kekecewaan kalau tak ada yang mau membeli lukisannya
            “Bentar ya, kakak pergi sebentar ya.” Aku kembali dengan membawa gorengan dan minuman. Aku menyodorkan padanya
            “Belum makan?” Jingga tertawa lebar dan seditit tersipu. Tanpa diminta Jingga mulai bercerita tentang dirinya. Aku diam menyimak ceritanya. Pernikahan ayah dan ibunya tak disetujui oleh orangtua ibunya., karena ayahnya pelukis yang tak punya penghasilan tetap. Akhirnya mereka menikah dan lahirlah Jingga. Ternyata lukisan ayahnya tak bisa menghidupi keluarganya dan  ayahnya menjadi supir bus antar kota untuk menyambung hidupnya walau di waktu senggangnya ayahnya tetap melukis.
            “Aku ingin menjual lukisan ayah. Aku tahu ayah orang hebat . Mungkin lukisan ini belum ketemu dengan orang yang tepat.” Aku menatapnya  kagum. Pikiran anak kecil ini lebih dewasa dari usianya. Dibantu tukang beca tetangganya setiap pulang sekolah dia menjual lukisan ayahnya dengan harapan ada yang membelinya atau tertarik dengan lukisan ayahnya.
            “Ayahmu tahu?” tanyaku. Jingga menggelengkan kepalanya.
            “Papa, gak tahu. Hanya aku dan mama saja yang tahu. Kalau papa lagi ada di rumah, aku tak jualan.” Ada sesuatu yang lain dari pandangan matanya , suatu harapan dan semangat . Jingga punya keyakinan suatu saat luksian ayahnya bakal ada di tangan yang tepat suatu saat. Semangat yang luar biasa.


            Siang itu aku diajak Yeni  ke Galery yang ada di dekat hotel Salak. Sebuah gedung yang menempel di hotel  Salak . Walau aku bukan penyuka lukisan , ajakan Yeni cukup menarik untuk sedikit menghibur hatiku . Tadi aku agak kesusahan dalam menjawab soal ujian, mungkin dengan berkunjung kemari aku bisa menyegarkan kembali otakku. Masuk dalam galerry , semua dipenuhi dengan warna Jingga. Lukisan-lukisan menampilkan senja dengan suasana yang berbeda. Aku agak tersentak dan teringat dengan Jingga. Aku tarik lengan Yeni lebih masuk ke dalam . Ah, benar ini lukisan ayah Jingga. Aku menatap seluruh ruangan dan melihat seorang ibu berdiri dekat lukisan yang aku tahu betul, itu lukisan yang pernah dijual Jingga .
            “Jingga mana?” aku tahu perempuan itu ibunya Jingga.
            “Kenal Jingga?” aku mengangguk. Tampak sapuan kabut di matanya dan cepat-cepat dihapusnya air mata yang sedikit keluar. Pria di sebelahnya memegang tangannya lembut. Aku terkesima sesaat. Tapi sesudahnya aku turut meneteskan air mata. Jingga telah pergi. Meninggalkan pesan untuk ayahnya kalau ada yang mau memamerkan lukisannya. Jingga tertabrak mobil saking gembira hatinya ingin mengabarkan pada ibunya. Semenjak itu ayahnya jadi sering pameran dan bahkan mempunyai galeri sendiri. Itu semua berkat Jingga. Aku menitikan air mataku dan aku ingat manik-manik matanya yang memancarkan harapan dan yakin Allah akan membantu dan menolong ayahnya. Dan semua terbukti. Jingga percaya akan kehebatan Allah yang membukakan jalan untuk ayahnya. Tepat di bulan ramadhan Jingga pergi dengan meninggalkan sejuta harapan baru untuk kedua orang tuanya


4 komentar:

Diah Dwi Arti Says:
4 April 2016 pukul 14.21

doa anak yang dikabulkan Alloh ya mah.

Tira Soekardi Says:
4 April 2016 pukul 14.33

betul mbak Dwi

Mas Darsono Says:
14 April 2016 pukul 19.12

Wah, jingga pergi slama2 nya...

Apakah ini terinspirasi oleh suatu kisah nyata?

Tira Soekardi Says:
15 April 2016 pukul 13.42

Mas Darsono, ini bukan kisah nyata hanya fiksi

Posting Komentar