Lukisan Sosok Ayah

Minggu, 30 Oktober 2016




 Gambar dari sini

Pagi itu aku masih bergelut dengan anak-anak di SDN  Batureja, terdengar riuh suara anak-anak yang masih beristirahat. Ada yang makan bekal dari rumahnya ada yang juga membeli jajanan di kantin sekolah. Baru aku ingin beranjak dari kursiku, Dea langsung menubruk dan menangis.
            “Bu, Yudi, jahilin Dea,” tangis Dea yang semakin keras. Yudi selalu membuat onar di kelas dan paling suka menjahili anak perempuan. Sudah berapa kali aku menegurnya tapi belum aku hukum, aku hanya ingin tahu mengapa dia sepert itu kelakuannay. Menurutku seseorang berlaku nakal pasti ada yang melatarbelakanginya.
            “Gini aja Dea, lebih baik kamu jangan menggubris ledekan Yudi selama dia tak memukul,” aku mengelus kepalanya dan berusaha meredakan tangis Dea. Kulihat Yudi mengintip ke arahku, tapi aku pura-pura tak melihat.Kali ini aku tak mau menegurnya, mungkin dia mau mencari perhatianku .  Berkali-kali Yudi melongokan kepalanya tapi tetap aku tak menggubrisnya sampai bel berbunyi.

            Pulang sekolah, aku berniat mengunjungi rumah Yudi, tadi sudah kudapatkan alamatnya dari bagian tata usaha. Ternyata cukup sulit mencari rumah Yudi, masuk gang sempit di perumahan yang kumuh dimana rumah-rumah yang terbuat dari papan berderet di sana.
            “Bu, mau tanya rumahnya Yudi dimana?” aku bertanya pada seorang ibu yang sedang menyuapi anaknya. Ibu itu menunjuk ke sebuah rumah bercat biru.  Pintu rumah tampak terkunci , aku melihat ke dalam rumah tak ada siapa-siapa.
            “Mau cari siapa bu?”tanya seorang ibu yang menghampiriku
            “Ibunya Yudi.” Ibu itu mengajak ke suatu tempat di gang sempit  sebelah kiri gang rumahnya Yudi, di sana kulihat ibu-ibu sedang mengupas bawang . Ibu itu memamggil ibunya Yudi.
            “Bu Mia , gurunya Yudi,”aku memperkenalkan diri pada ibunya yang masih tampak takut melihat kedatanganku.
            “Yudi gak apa-pa kan bu?” tanyanya panik. Aku memberitahukan kalau Yudi baik-baik saja. Bu Yanah menceritakan kalau dia bekerja sebagai pengupas bawang untuk menyekolahkan Yudi, ayahnya sudah hampir empat tahun meninggalkan Yudi saat Yudi berumur 4 tahun  dan ibunya entah kemana. Setelah pulang sekolah Yudi  membantu di pasar inpres , angkut-angkut barang . Aku mengerti sekarang megapa Yudi bersikap demikian, dia kurang diperhatikan sehingga dia membuat kegaduhan agar diperhatikan oleh orang lain. Untung aku tidak memarahinya.

            Siang itu aku menyuruh anak-anak untuk menggambar bebas dan diwarnai dengan krayon atau pensil warna. Aku membagikan kertas gambar dan aku melihat mereka sudah asik denagn kegaitannya. Aku melihat Yudi serius menggambar biasanya dia selalu mengobrol atau menarik-narik rambut anak petempuan. Waktu aku menghampiri meja Yudi, dia mendongakan kepalanya padaku sambil menatapku dengan bola matanya yang bulat. Aku melihat gambar yang dia buat. Anak laki-laki sedang berjalan di apit ayah dan ibunya , tetapi latar belakangnya di warnai kelabu sehingga tampak suram .
            “Apa yang kau gambar Yud?’ tanyaku sambil mengambil hasil gambarnya, sebentar kemudian Yudi menarik gambarnya dan mulai mencoret gambar pria yang ada di sisi anak di dalam gambarnya.
            “Kenapa kamu coret Yud?” aku mentap tajam padanya, dan tak kusangka di pelupuk matanya sudah penuh dengan air mata yang kemudian jatuh.
            “Aku rindu ayah, aku ingin ayah kembali,” Yudi menangis, aku hanya bisa termangu lama di hadapannya.

2 komentar:

Febrianty Says:
31 Oktober 2016 pukul 11.30

Hemmm sedihnya mbak, dengar kisah dan merasakan jadi Yudi. Suka dukanya menjadi guru ya. Bener-bener harus ada buat muridnya ketika dibutuhkan. Salam kenal mb

Tira Soekardi Says:
31 Oktober 2016 pukul 12.46

betul mbak febrianty

Posting Komentar