Kado Terindah dari Surga

Senin, 03 Oktober 2016




 Gambar dari sini

Aku masih melihat semua yang ada di panti asuhan “Kenari”, masih seperti dahulu tak ada perubahan yang berarti. Masih sederhana dan masih terlihat begitu familiar bagi semua yang datang kemari. Panti ini begitu terbuka untuk siapapun yang datang kemari, walaupun mereka datang tak membawa apa-apa, hanya datang berkunjung, panti ini selalu memberikan senyum bagi orang yang datang kemari. Taman di tengah panti yang membentuk lingkaran dengan kolam dan  air mancurnya dan di sudut sana masih ada pohon yang selalu memberikan keteduhan pada taman. Pohon mangga. Buahnya selalu menjadi rebutan anak-anak panti saat berbuah dan seringkali membuat anak-anak panti saat itu berkelahi gara-gara tidak mendapatkan buah yang diinginkannya. Aku tersenyum sendiri membayangkan kejadian yang sudah lama berlalu dalam kehidupanku. Ya, aku dulu penghuni panti ini. Menurut bu Fatimah, aku diletakan begitu saja di depan pintu panti tanpa identitas apapun. Bu Fatimahlah yang memeliharaku di panti ini dan aku diberi nama Mutiara. Menurut bu Fatimah, aku seperti mutiara putih, mungil dan bercahaya . Memang kulitku lebih putih dibanding anak-anak yang lain sehingga aku tampak lebih bersih  dan banyak orang suka denganku. Terasa pundakku ditepuk dan aku menoleh dan tersenyum pada bu Fatimah yang sudah aku anggap ibuku sendiri.
            “Sudah lama Tiara?” tanyanya. Aku mengangguk dan merangkulnya erat-erat, sebetulnya aku kemari ingin menceritakan sedikit keluh kesahku tapi entah mengapa melihat bu Fatimah sedikit pucat, niat itu aku urungkan . Bu Fatimah mengamatiku perlahan dan mengajakku masuk ke ruangannya. Bu Fatimah sudah nampak menua , rambut putihnya sudah menghiasi rambutnya dan kerut-kerut di wajahnya sudah nampak banyak, tapi beliau masih tampak energik walau kini aku melihat wajahnya sedikit pucat.
            “Aku tahu kamu sedang sedih Tiara , kamu tak bisa membohongi ibu. Ibu sudah kenal dirimu. Kamu diasuh dari mulai bayi. Aku tahu semuanya,” gumam bu Fatimah sambil duduk di kursi goyang kesayangannya. Beliau menatapku lembut , aku tertunduk , tak pernah aku bisa menyembunykkan kegundahanku padanya, beliau selalu tahu isi hatiku, selalu.
            “Ada apa nduk?” tukasnya lembut.


            Perkenalanku dengan mas Bimo , di satu acara diskusi tentang masyarakat urban yang dibawakan oleh Pak Nirwanto dosen UI dikampus Depok UI , ternyata berlanjut ke  pertemuan demi pertemuan. Ada sedikit rasa suka aku jika aku berdekatan dengannya. Mas Bimo dengan tatapan teduhnya selalu memberikan rasa nyaman di hatiku dan sangat menmperhatikanku. Aku bukan tipe perempuan yang reaktif terhadap sesuatu yang terjadi di hati ini, mungkin karena  terbiasa tinggal di panti dengan banyak penghuninya , membuatku lebih banyak diam daripada harus berkeluh kesah atau mengutarakan kesedihankuku . Bagiku kesendirian dan kesunyian itu selalu membuat aku merasa ditemani oleh diriku sendiri. Ditambah lagi aku tak begitu banyak berharap  dari mas Bimo. Aktivis mahasiswa, pintar dan banyak disukai teman-teamn ceweknya, membuatku tak peranh bermimpi untuk bisa mengharap lebih dari sekedar teman dekat saja. Apa pantas diriku yang tak punya orangtua berharap begitu tinggi???? Aku sadar diri dengan statusku. Aku bukan siapa-siapa aku hanya anak yatim-piatu yang tinggal di panti!!!!
            “Aku menyukaimu. Titik. Mengapa kamu selalu meributkan hal sepele yang tak ada artinya bagiku. Aku melihatmu orang yang pantas menjadi pendampingku, itu saja. Dan satu lagi aku mencintaimu,”tukasnya suatu saat dengan agak  gusar karena aku tetap pada pendirianku.  Entah , mungkin aku minder dengan keadaanku, mungkin juga ada ketakutan-ketakutan yang selalu ada dalam sisi hatiku yang selalu keluar tanpa disadari dan  sebetulnya aku suka dengan perasaaan-perasaan itu, karena membuatku untuk  tak terlalu banyak bermimpi tinggi-tinggi.  Dan perasaanku jugalah yang membuatku merasa memang aku tak pantas buat mas Bimo terbukti saat mas Bimo membawaku pada orangtuanya.  Pandangan sinis saat aku menyebutkan aku tinggal di panti , itu sudah memberikan rasa pedih tersendiri yang aku simpan di hatiku, yang menggumpal tak pernah mencair sampai saat ini.
            “Apa kataku, mas. Aku  memamg tak pernah berniat untuk bermimpi tinggi-tinggi, karena aku tahu siapa diriku, aku tahu diri kok. Memang sepantasnya aku  berlalu dari hatimu,”lirihku ucapkan kata-kata ini walau terselip keinginan untuk mempertahankan tapi rasa sakit yang lebih dominan di hatiku. Tapi bukan mas Bimo kalau dia tak memperjuangkan cintanya, aku tahu itu. Aku tahu, dia begitu mencintaiku, aku sendiri begitu terharu akan cintanya tapi aku harus realistis kalau semau itu tak mungkin bagi diriku.

            Entah bagaimana mas Bimo membujuk kedua orangtuanya sampai akhirnya mereka menyetujui pilihan mas Bimo. Aku sedikit takut karena rasa perih yang menggumpal di sisi hatiku masih kusimpan  dan belum bisa mencair dengan berlalunya waktu. Tetapi entahlah semua perhatian dan kasih sayang mas Bimo membuatku menganggukan kepalaku saat dia melamarku pada bu Fatimah. Campur aduk ada dalam hatiku, rasa bahagia, rasa perih yang masih tersimpan rapih, tapi kepercayaanku akan cinat mas Bimolah yang membuatku luruh .
            “Nduk, Bimo itu pria baik hati, ibu tahu sekali. Perasaan seorang ibu selalu benar nduk,”begitu bu Fatimah meyakinkanku saat aku ragu-ragu menerima mas Bimo. Bu Fatimah merangkulku dan mengelus kepalaku, aku rapatkan tubuhku pada tubuhnya, masih ingin aku berada dalam pelukan  bu Fatimah lebih lama lagi, aku menyayanginya. Bu Fatimah tampak bahagia saat melihat diriku bisa bersanding dengan mas Bimo, walau hati kecilku masih terasa ada ganjalan yang aku sendiri tak bisa menerkanya.
            “Ambillah hati ibunya Bimo, nduk, Ibu yakin beliau akan suka denganmu seperti ibu sayang denganmu,”gumamnya saat aku berpamitan untuk tinggal bersama mas Bimo. Kubalikan lagi tubuhku, melihat kembali bangunan yang memberikan banyak kenangan  bagiku.  Di sana aku dibesarkan dan disanalah aku mendapatkan kasih sayang bu Fatimah. Aku melihat senyum bu Fatimah mengembang dan aku melangkahkan kakiku dengan harapan baru agar hidupku lebih baik lagi .

            Memang tak mudah untuk hidup dengan perasaan yang masih mengganjal, mungkin begitu di hati ibunya mas Bimo. Beliau jarang sekali bercerita kalau tidak aku yang terlebih dahulu bertanya, tapi sedapatnya aku selalu berusaha bersikap baik padanya. Aku sungguh berterimakasih dengan ayah yang mulai bisa terbuka dengan diriku. Aku merasa seperti mempunyai ayah baru dalam hiudpku.  Saat aku berkunjung ke rumah orangtua mas Bimo aku sering mendengar banyak cerita dari ayahnya yang memang sering berpergian ke luar negeri. Kadang  aku begitu asik mendengarkan beliau cerita  dan kadang tanpa aku sadari aku sering bergelayut manja pada bahunya, aku merasakan aku seperti mempunyai ayah. Membayangkan kini aku punya seorang ayah walau bukan ayah kandungku kadang membuatku mataku sedikit basah tertutup air mata. Kadang tangan beliau mengelus kepalaku perlahan dan aku menikmati elusan beliau, aku merasakan sedikit kebahagiaan yang mampir di hatiku.Tapi tidak dengan ibu, beliau masih saja menjaga jarak dengan diriku, aku melihat ada rasa benci di matanya yang coklat dan gestur tubuhnya yang memperlihatkan rasa tak sukanya. Sampai dua tahun pernikahanku yang belum juga diberi momongan itu yang membuat ibu selalu bertanya dengan kata-kata yang sinis dan itu menambah rasa perihku yang belum mencair tapi bertambah  menggumpal di sisi hatiku.
            “Kamu sudah memeriksakan dirimu ke dokter? Kok sampai saat ini kamu belum hamil-hamil juga,” tegur ibu .
            “Ibu, itu gimana, baru datang sudah diberondong pertanyaan yang gak mutu. Sini nduk, bapak punya cerita untukmu,” selalu bapak berusaha mengalihkan pertanyaan ibu ke hal yang lain, aku sungguh berterimakasih pada beliau. Aku memandangnya lembut dan aku kecup dahinya dengan rasa sayang.
            “Makasih pak, “gumamku perlahan dan aku menyenderkan kepalaku di bahunya, tampak ibu melihatku dengan perasaan gusar karena pertanyaaannya tidak kujawab. Bimo berusaha menenangkan hati ibunya. Bahkan di usia pernikahanku kelima aku tak kunjung hamil dan itu membuatku ibu semakin uring-uringan padaku. Kadang ada rasa sakit hatiku saat ibu menyebutku wanita mandul.
            “Kalau sudah ke dokter kenapa kamu gak hamil juga Tiara. Jangan-jangan kamu memang mandul ,” tukas ibu.
            “Apa-apan ibu itu. Gak baik bicara demikian. Memang mereka belum dapat anugerah dari Tuhan untuk mendapatkan anak. Justru kalau ibu mendesak begitu, justru membuatnya tambah sulit hamil,”tegur bapak pada ibu. Mas Bimo mulai menenangkan hati perempuan yang semakin hari semakin membuatku menyimpan rasa perih yang terus menggumpal di sisi hatiku. Entah kapan gumpalan ini bakal mencair???? Aku tahu aku tak mungkin menyebutkan kalau aku tak mungkin hamil karena memang  ada kelainan pada mas Bimo, tapi aku selalu menutupi kekurangan mas Bimo pada kedua orangtuanya, aku tak mau mas Bimo harga dirinya hancur karena  tak mampu memberikanku anak. Cukup aku simpan rapat dalam  hatiku. Mungkin karena itulah aku tak sering lagi menengok kedua orangtuanya karena aku  takut rasa perih di hatiku semakin menggumpal . Untuk mengobati rasa kesepian aku mengajar di pendidikan anak usia dini (PAUD) di dekat rumahku dan itu membuat hari-hariku menjadi lebih ceria, aku bisa berbagi kasih sayang dengan mereka walau mereka bukan anakku sendiri. Aku semakin gembira bersama anak-anak itu ternyata membuat aku lebih bersemangat untuk menata hidupku kembali. Biarlah aku tak punya anak, tapi aku masih bisa menyayangi anak –anak dan berbagi kegembiraan bersama mereka , walau di selang waktu senggang sering kali memikirkan perkataan ibu yang membuat rasa perih itu muncul dan membuat lara hati.

            “Nduk, ada apa?” bu Fatimah mengulang pertanyaan sekali lagi saat aku tak bergeming sama sekali,aku tersentak kaget.
            “Iya, bu, aku tak mendengar ibu,”gumamku pelan , tenyata aku melamun sedari tadi tak mendengar pertanyaaan bu Fatimah.  Aku duduk bersimpuh dekat kakinya dan kutumpangkan kepalaku di pahanya dan aku mulai menceritakan kesedihanku padanya. Sebentar-bentar ibu mengelusku dengan penuh kasih sayang, air mataku bergulir perlahan, isakku tertahan, aku tak ingin ibu mendengar tangisku walau hanya sedikit.
            “Aku tak mungkin memberitahukan pada ibunya mas Bimo, walau aku beritahukan, apa beliau percaya?” tanyaku tentang kelainan pada mas Bimo . Bu Fatimah masih mengelus kepalaku.
            “Aku sudah tahu semuanya dari Bimo, nduk. Bimo datang kemari dan menceritakan semuanya pada ibu. Menurutnya dia sudah bercerita pada ibunya tapi ibunya tak percaya kalau Bimo yang punya kelainana, beliau  tetap  menuduhmu.” Aku masih diam  dan diam-diam aku hapus air mataku yang mulai jatuh , terdengar suara isakan kecil.
            “Kamu menangis nduk. Tak perlu kau tangisi, kebahagiaan bukan hanya ditentukan punya anak atau tidak. Lihat ibu, tak punya anak satupun , tapi di sisi lain ibu bahagia bisa menyayangi anak-anak lain walau itu bukan darah daging ibu sendiri.” Bu Fatimah terdiam lama  Aku mendongak melihat pancaran tulus dari mata tuanya, kebahagiaan yang terpancar dari ibu yang tulus mencintai anak-anak yang bukan anak kandungnya.
            “Yang penting kita ikhlas dan sabar akan ketentuan Allah, nduk. Beruntung kamu punya Bimo nduk, dia pria sejati yang tetap menyayangimu apa adanya tak pernah menuntut lebih darimu. Sayangilah dia, jangan sampai kesedihanmu membuat Bimo makin bersedih .” Aku terdiam  merenungkan kata-kata ibu dan aku tersentak kaget saat ada suara berdehem dari arah belakangku, saat aku membalikan tubuhku, aku melihat mas Bimo sudah berdiri di dekat pintu masuk.
            “Mas, kok ada di sini? Sudah lama? Mas gak kerja?” tanyaku bertubi-tubi. Mas Bimo mencubit pipiku dan menarik lenganku untuk berdiri.
            “Selamat ulang tahun Tiara,” tukasnya dan mencium keningku lembut, karena banyak kesedihan yang datang padaku, aku sampai lupa kalau hari ini aku ulang tahun. Mas Bimo menarik lenganku dan mengajakku  entah kemana.
            “Ada hadiah untukmu,”  seyumnya membuatku penasaran, hadiah apa yang akan Mas Bimo berikan padaku sampai-sampai mas Bimo harus bolos kerja. Tapi emang apa harus di panti ini, mas Bimo memberikannya , mengapa tidak di rumah saja. Mas Bimo membawa aku masuk ke ruangan dekat kamar bu Fatimah. Di sana aku melihat keranjang yang dihiasi dengan bunga-bunga mawar kesukaaanku.
            “Lihat, di keranjang itu hadiah untukmu,” tunjuk mas Bimo, aku menghampiri keranjang warna pink dengan hiasan mawar merah. Saat aku melihat isi keranjang aku terbelalak kaget  melihat bayi mungil , cantik , dengan baju pink dan renda putih ada di hadapanku. Aku tak mengerti, apa maksudnya ini, aku hanya menatap takjub pada bayi mungil cantik itu , sampai mas Bimo datang menghampiriku dan memeluk pundakku.
            “Ini anak kita, hadiah untukmu. Biar kita didik anak ini seperti anak kita dengan kasih sayang walau dia bukan anak kandung kita. Semua proses adopsi sudah aku urus bersama bu Fatimah,”tukasnya perlahan. Air mataku satu  persatu turun yang akhirnya membasahi pipiku dan isak kecil terdengar begitu merdu di telingaku . Terdengar tangis kecil dari bayi itu,aku mengangkatnya perlahan , aku menciumnya .
            “Intan, namanya Intan, aku terlonjak gembira saat menyebutkan nama Intan, mas Bimo menganggukan kepalanya. Dari kejauhan aku melihat bu Fatimah menghapus air matanya. Aku menghampirinya.
            “Makasih bu, ini hadiah yang terindah bagiku, hadiah dari surga,”ucapku dan kupeluk lagi  bayi mungil itu. Aku begitu bahagia karena mas Bimo dan bu Fatimah telah menyediakan hadiah yang luar biasa untukku di hari ulang tahunku kali ini. Bayi mungil nan cantik. Hadiah dari surga!!!!

6 komentar:

Irly Says:
3 Oktober 2016 pukul 14.19

Terharu.. hiks..

Nia K. Haryanto Says:
3 Oktober 2016 pukul 17.11

Iya, bikin terharu. Hikhikhikss...

Tira Soekardi Says:
4 Oktober 2016 pukul 12.46

yang bikinnya saja brebes mili mbak irly

Tira Soekardi Says:
4 Oktober 2016 pukul 12.48

iya mbak Nia

Liswanti Pertiwi Says:
8 Oktober 2016 pukul 07.49

Haru banget bacanya mba

Tira Soekardi Says:
9 Oktober 2016 pukul 12.54

iya , aku yg nulis saja sampai nangis

Posting Komentar