Nanti Ya, Tunggu Aku

Sabtu, 26 November 2016




Gambar dari sini 
 
                 Aku sudah siap di depan toko buku ANEKA. Aku sedang  menunggu Nancy dan menjemputnya dari SMA BHAKTI. Masih terbayang saat pertemuan tak sengaja aku dengan Nancy di klub sepeda. Wajah mungilnya meringis kesakitan saat terjatuh dari sepedanya . Aku membantu membenarkan sepedanya dan disaat itulah perkenalanku dengan Nancy.
            “Gak apa-apa kan?, tanyaku. Dia hanya mengelengkan kepalanya. Hanya bibirnya saja agak cemberut. Dia berlalu saja tanpa mengucapkan terimakasih padaku.
            “Eh, kamu kok gak mengucapkan terimakasih sih”,kataku. Dia menoleh dan menyalamiku sambil mengucapkan terimakasih.
            “Lupa”, katanya. Dia berlalu begitu saja tanpa menoleh sekalipun. Dasar , anak itu, buat hatiku penasaran .

            Ternyata mudah sekali menemukan rumah si mungil. Walau harus bolak-balik kutanyakan teman-temanku di klub sepeda. Mereka mencurugai aku , karena tiba-tiba menanyakan alamat Nancy. Tapi tak mengapa, untuk mendapatkannya harus berjuang dulu. Perjuangan belum selesai sampai sini saja , karena sambutan orang tua Nancy sungguh di luar dugaanku. Mereka kelihatan sekali ketidaksukaan terhadap kedatnganku.. Tapi tak mengapa, toh yang kusukai bukan ayahnya tapi anaknya. Pertemuan demi pertemuan membuatku semakin dekat walau harus sembunyi-sembunyi dari keluarganya. Dan benih-benih cinta mulai bersemi dalam hatiku, Semua menjadi indah dalam kelabunya sore hari. Dalam hujan yang lebat yang menbasahi tubuhku dan Nancy. Dalam pelukan kerinduan yang membuncah dalam dada . Memang benar kata orang ,cinta itu sering mengaburkan kelam di sana, yang ada semua warna yang selalu mempesona.

            Pertemuan-pertemuan rahasiaku dengan Nancy membuat debaran- debaran tersendiri di hatiku. Seperti sedang bermain petak umpet. Entah sampai kapan ini harus kulakuan, jerat cinta sudah merasuk dalam jiwaku, tak mudah kulepaskan .kadang aku malu sendiri harus bermain belakang dengan orangtuanya,. Minggu itu, aku masih ingat, aku dan Nancy sedang bersepeda sepanjang jalan . Dari belakang ada yang berteriak menyebut nama Nancy. Waktu aku menoleh ternyata Mala adik Nancy yang sedang naik mobil bersama orang tuanya. Aku terdiam, kulirik Nancy, wajahnya pucat sekali. Kugenggam tangannya erat-erat. Ayahnya turun dari mobil dan menyuruh Nancy untuk segera pulang .
            “Nanti ayah, aku masih sepedaan dulu”, katanya. Aku hanya terdiam.
            “Dah, kamu pulang saja Nan”, kataku membujuknya .
            “Anak muda, nanti sore saya tunggu kamu di rumah”, katanya sambil menatapku tajam. Nancy memandang dengan takut-takut, tapi kuyakinkan dia , aku tak apa-apa. Kupandang punggung Nancy sampai menghilang di ujung jalan. Hatiku bergejolak , tak terasa gemetar tubuhku. Tak terbayang aku harus menghadap ayahnya.

            Aku terhenyak di kamarku, masih saja kupantaskan pakaianku untuk pergi ke rumah Nancy. Kukuatkan hatiku untuk berhadapan dengan ayahnya. Kuremas jemariku sampai terdengar suara gemeretak dari sendi-sendi jariku, tapi tetap saja tidak membuatku tenang.Resah masih saja mendera hatiku.  Kulangkahkan kakiku menyusuri jalan sampai di muka rumahnya.
            “Selamat sore”, kataku. Ayahnya mengangguk. Kata-kata yang terucap dari mulut ayahnya seperti bom yang siap meledak di telingaku. Begitu menyakitkan hati ini, terasa sembilu siap menikam sela-sela hati yang makin lama makin rapuh. Tak kuat lagi aku hanya menundukkan kepalaku lama sekali, tak berani kutatap wajahnya yang menyiratkan kesangsian akan hadirku untuk anaknya. Samapai akhirnya aku harus pulang dalam guratan duka

            Setiap hari kuulang lagi kata-kata yang diucapkan ayahnya. Masih tersisa rasa sakit hatiku yang sulit kuhilangkan . Tapi wajah mungil itu selalu menari-nari di hadapanku tanpa kusuruh setiap saat dalam aktivitas sehari-hariku. Beberapa telpon dari Nancy kubiarkan berbunyi tanpa kuangkat dan kusapa dirinya. Aku masih sakit hati. Sampai akhirnya aku menyadari bahwa aku belum pantas untuk mencintai Nancy. Aku harus menyelesaikan kuliahku yang masih tertunda karena kemalasanku. Aku harus merajut ilmu dan bekal sampai suatu saat aku pantas untuk menjadi kekasih hati Nancy.

              Pertemuan rahasiaku yang terakhir dengannya, menyisakan sejuta rasa yang tak dapat kuungkapan dengan kata-kata. Kuyakinkan Nancy, untuk menungguku, sampai aku pantas untuk menjadi kekasih dalam ikatan yang dicintaiNya. Kulihat air matanya mulai mentes satu persatu . Hanya satu yang kuucapakan padanya bahwa ku mencintainya sepenuh hati tapi aku lebih mencintai Allah. Biaralah suatu saat aku akan datang lagi dan menyatukan cinta kita dengan ikatan yang resmi dalam kasihNya. Kukecup keningnya dan kuhantarkan Nancy sampai ujung jalan rumahnya. Kupandang sekali lagi wajahnya dan kuyakinkannya untuk percaya padaku , kalau suatu saat aku akan menjemputnya lagi.

            Saat ini  terakhir kujemput di sekolahnya , masih terlihat sembab di matanya. Kuyakinkan sekali lagi, ini bukan perpisahan selamanya tapi hanya sementara saja. Nanti  yang, tunggu aku, aku pasti kembali.

4 komentar:

Eri Udiyawati Says:
28 November 2016 pukul 14.05

Sedih rasanya. Dan, pastinya Nancy akan melalui hari-hari yg berat. Menunggu itu melelahkan :(

April Hamsa Says:
29 November 2016 pukul 06.13

Semoga ayahnya Nancy pada akhirnya merestui....

Tira Soekardi Says:
30 November 2016 pukul 11.19

betul mbak ery tapi jika jodoh itu akan membahagiakan kelak

Tira Soekardi Says:
30 November 2016 pukul 11.22

tentunya mbak april, karena mungkin dia ingin agar pacar anaknya kelak org yang bertanggung jawab

Posting Komentar