Gerimis Selalu Datang

Kamis, 15 Juni 2017




 Gambar dari sini

             Terdengar gerimis di luar sana, mengetuk-ngetuk atap rumah dengan iramanya sendiri. Aku mulai menghitung, til...tik...tik...tik..... terus kuhitung titik hujan yang jatuh di atap rumah, seperti hitungan detak jantungku yang akan berdetak cepat saat gerimis tiba. Gerimis tanda hujan akan tiba buatku ada kenangan tersendiri di suatu saat di masa laluku yang sampai sekarang masih terus bergema dan tak pernah hilang. Walau gema itu menyakitkan karena aku harus kehilangan orang yang aku cintai tapi gerimis bagiku sangat membuatku sedih karena di saat itulah perpisahan harus terjadi, tak mungkin aku meneruskan cinta yang sudah terpaut lama karena ada benteng yang memisahkan yang begitu kuat , iman yang berbeda.

            Terdengar suara gemuruh di langit dan tampak mendung semakin menebal tapi aku dan Lastri masih setia duduk di bibir pantai Kuta. Diam. Tak ada satupun yang bicara selagi pikiran terpenuhi dengan onak yang menusuk sampai ulu hati. Ini hal yang selalu aku pikirkan akan terjadi,perpisahan. Aku memandang Lastri yang duduk di sisiku dan tampak air matanya mulai turun dari pelupuk matanya, aku sungguh tak tega melihatnya harus menangis.
            “Ini tak mungkin untuk diteruskan Lastri, sudah jelas ayahmu melarang kau datang kembali padaku,” aku bergumam pelan , sedikit kulihat Lastri mendongak ke atas dan sesekali menyusut air matanya.
            “Apa salah aku mencintaimu. Hanya karena iman kita berbeda, aku tak boleh lagi mencintaimu,” tukasnya sengit. Aku masih diam, gerimis mulai turun dan titik-titik hujan mulai menetes satu persatu dan membasahi tubuhku dan Lastri sedikit demi sedikit.
            “Pulang?” Lastri menggeleng.
            “Aku masih mau di sini bersamamu, aku takut kehilanganmu,”kembali Lastri menyusut ai matanya. Kurengkuh dirinya dalam pelukanku dalam gerimis , awan mulai berarak-arak dengan angin yang kencang, ombak semakin kuat bergulung seperti hendak menerkam, tapi aku masih diam di bibir pantai sambil merangkul Lastri dalam pelukanku. Getar-getar yang membuat jantung semakin berdegup kencang membuatku ingin menangis. Ini saatnya aku harus melepaskan Lastri, aku tak boleh egois, karena cinta toh tak harus memiliki. Aku tak mungkin juga melanggar adatku di Bali ini kalau aku menikahi Lastri perempuan Jawa yang sudah aku kenal sejak tiga tahun yang lalu.
            “Wayan, apa kita tidak bisa kawin lari saja,” Lastri bergumam perlahan.
            “Astaga , tak mungkin Lastri, itu sama saja menyakitkan keluarga kita,” keluhku.
            “Tapi kita saling mencintai, mengapa tidak, pengecut,” sengitnya, aku sedikit tersinggung akan ucapannya . Aku mempererat pelukanku dan gerimis mulai bertambah besar.
            “Pulang?” Lastri menggeeleng.
            “Aku masih ingin bersamamu, kalau perlu aku mati kedinginan di sini, “ tukasnya masih dengan nada ketusnya. Aku menghela nafas, Lastri marah padaku , dia menganggapku pengecut karena tak berani membawanya untuk menikah.
            “Ada sesuatu yang tak mungkin kita langgar Lastri, bukan berarti aku pengecut. Aku sangat mencintaimu, aku tak bohong, aku juga ingin mati di sini juga, tapi hidup harus jalan terus ke depan,  adat dan agama yang selalu membentengi kita juga tak mungkin kita tembus. Aku akan selalu mencintaimu ,Lastri.” Lastri mendorong tubuhku.
            “Bohong,” serunya marah, dia berlari dalam gerimis yang semakin besar dan hujan mulai turun , satu persatu tetesan hujan mulai membasahi tubuhku. Aku melihat Lastri masih berlari dan kukejar dan kubawa dia dalam pelukanku.Lastri berontak tapi tetap aku eratkan pelukannya sampai dia tenang kembali dalam pelukanku. Aku mulai menenangkannya .
            Kita harus berpisah Lastri, kalau kita jodoh mungkin suatu saat kita akan bertemu lagi. Aku akan pergi jauh dari sini agar kau mampu melupakanku,” tukasku cepat dan kupandang bola matanya, ada duka yang mendalam di sana, aku tak tega melihatnya.
            “Jangan pergi Wayan, temani aku, aku tak mau sendiri,” air matanya terus mengalir bersamaan dengan hujan yang turun .  Aku menggelengkan kepala.
            “Aku harus pergi, Lastri. Sekarang kita pulang, “ aku kecup sekilas dahinya , ada rasa perih yang menghujam di lorong hatiku, sakit sekali. Tapi perpisahan ini tak bisa kuelakan lagi. 

            Kini sudah lima tahun perpisahanku, aku di sini masih sendiri ditemani gerimis yang turun. Suara gerimis di atap selalu membuatku terkenang akan cintaku yang hilang lima tahun yang lalu. Maafkan aku Lastri, aku sangat mencintaimu , sangat , karena aku amat mencintaimu, aku tak mau menyakiti siapapun termasuk keluarga-keluarga besar kita yang tak menyetujuinya. Aku masih di sini bersama gerimis Lastri dan akan selalu mencintaimu dari jauh, selalu mencintaimu!!!!!

4 komentar:

Anonim Says:
17 Juni 2017 pukul 14.56

Sabar ini ujian...

Tira Soekardi Says:
18 Juni 2017 pukul 12.19

ya mungkin ujian ya mas andre

Fubuki Aida Says:
10 Juli 2017 pukul 10.18

jadi kangen nulis fiksi. Nice share mbak

Tira Soekardi Says:
10 Juli 2017 pukul 12.48

makasih mbak fubuki

Posting Komentar