Bertemu Dalam Bayangan

Kamis, 07 September 2017



Gambar dari sini 
 

                Tiba-tiba aku dikagetkan dengan goncangan dari bahuku , begitu keras. Aku membuka mataku.
            “Sudah sampai mas,”tukasnya. Aku melihat lewat jendela kereta. Statsiun Semarang Tawang. Sudah hampir sepuluh tahun, aku tak pernah kembali ke kota ini. Kota yang membuat banyak luka di hati. Sungguh baru kali ini aku memberanikan diri untuk datang ke tempat sejuta kenangan terpahit yang harus aku rasakan. Rasa pahit itu masih tersembunyi dalam relung hatiku terdalam. Bingkai yang menutup kadang membuat sakit hati sulit untuk keluar dari zona nyamannya. Pemuda di sebelahku, menepuk bahuku .
            “Selamat jumpa, semoga kau bisa bertemu kembali dengan kekasihmu.” Aku balas tersenyum padanya sambil melambaikan tanganku. Aku geret koperku. Perasaanku tiba-tiba saja berdebar begitu keras.Saat kakiku menginjak tanah di statsiun, rasa rindu tiba-tiba saja menyeruak di hatiku. Walau dulu aku sakit hati dengan orang tua Siska , tapi entah mengapa aku merindukan Siska. Aku bergegas keluar dan aku sudah disambut paman. Paman tampak sudah tua. Pamanlah yang menjadi orangtuaku sejak kedua orangtuaku meninggal karena kecelakaan sewaktu aku kecil. Aku peluk erat paman.
            “Piye kabarmu Topan?”
            “Baik, lek.” Aku berjalan berdampingan dengan paman. Entah mengapa pikiranku berlanglangbuana ke sepuluh tahun yang lalu.......


            Aku terbiasa menunggu Siska pulang dari kebaktian di gereja Blenduk. Gereja peninggalan Belanda dan merupakan gereja tertua di Jawa tengah. Bentuk gereja ini unik , bentuk heksagonal dengan kubah yang dilapisi perunggu. Karena ciri khas gereja ini adalah kubahnya maka masarakat setempat menamakan gereja ini Blenduk yang mepunyai arti kubah. Aku memang tak terbiasa beribadah ke gereja. Akupun tak pernah melihat pamanku ke gereja. Akhirnya aku juga tak rajin ke gereja. Paling-paling pas natal saja.Itupun hanya formalitas saja.  Tampak Siska berlari menghampiriku.
            “Jadi jalan-jalannya,”tukasnya manja. Aku melongok ke arah pintu gereja. Siska mengerti apa yang aku cari.
            “Aku sendiri, mama dan papa ke gereja pagi tadi,” tukasnya. Ada sedikit kelegaan di hati. Aku tahu orangtuanya Siska tak mengijinkan Siska berteman denganku, apalagi berpacaran. Menurut mereka aku tak pantas untuk anaknya. Iyalah aku dan Siska seperti bumi dan langit. Menurut teman-temanku, aku seperti burung pungguk merindukan bulan. Secara Siska berasal dari keluarga konglomerat terkenal di Semarang, sedangkan aku??? Sekolah saja aku bergantung pada beasiswa. Tapi entahlah aku dan Siska selalu tak pernah mempedulikan status sosial yang terbentang di antara aku dan Siska. Mungkin karena cinta itu buta. Semua terasa indah.
            “Jadi ke jembatan Berok?” tanyanya . Siska lalu menggandeng tanganku lembut. Debaran jantungku semakin kencang. Keringat dingin mengalir. Masih selalu sama, saat berdua dengannya, aku sering kali tak mampu mengatasi rasa gugupku. Sore-sore berdiri di tepian jembatan menunggu senja. Selalu aku tunggu. Momen yang tak pernah aku lupakan.Jembatan Berok ini melintasi kali Semarang yang menghubungkan Kota lama dengan jalan Pemuda. Di situlah tangan kita selalu bergenggaman , tanpa suara. Hanya hati yang bicara. Entah mengapa, setiap bicara selalu ada rasa amarah. Amarah karena hubungan yang tak pernah disetujui. Jadi diam selalu menjadi jalan terakhir untuk menikmati cinta yang ada di antara aku dan Siska. Begitu syahdu. Sampai aku tahu kalau akhirnya Sisak tak diperbolehkan lagi keluar tanpa ditemani anggota keluarganya. Orangtuanya marah karena tahu Siska masih bertemu denganku. Aku ingat saat itu aku dan Siska duduk di taman sepulang Siska dari gereja sore. Taman di depan statsiun sebagai ruang terbuka dari kota lama yang digunakan untuk olahraga, upacara tempat  berkumpulnya orang-orang. . Orangtuanya tiba-tiba saja sudah muncul di hadapanku . Tangan Siska digeret.
            “Awas sekali lagi kamu berhubungan dengan Siska. Kamu itu gak tahu diri. Kamu mau kasih makan apa . Hidupmu saja sudah susah,”tukas ibunya Siska dengan nada merendahkan. Aku tertunduk dengan rasa luka yang begitu sakit, lebih sakit daripada tergores pisau. Semenjak itu aku pergi jauh ke Jakarta dengan tekad untuk membuktikan kalau aku juga bisa sukses .


            Pagi di Semarang, aku ingin kembali menikmati kota Semarang. Tiba-tiba ada telpon masuk, aku kaget karena telepon dari Siska. Selama aku merantau semua pesan, telepon aku tak pernah dijawab Siska, tapi kali ini??? Dari siapa Siska tahu kalau aku ada di Semarang???
            “Halo.” Suara lembut Siska terdengar. Aku begitu gugup, perasaanku padanya masih sama seperti dulu. Tak ada yang berubah.
            “Jadi jam 4 sore di jembatan  Berok,” tukasku meyakinkan ajakan Siska.
            “Iya, sampai ketemu ya di sana,”tukasnya. Entah mengapa hatiku tiba-tiba saja gembira. Tak menyangka aku mendapatkan telepon dari Siska. Tak mungkin kalau Siska tak mencintaiku. Kalau gak mengapa ia susah-susah menelpunku????
            “Hari ini mau kemana?” tanya paman.
            “Pagi ini mau menikmati di rumah saja , lek. Nanti sore aku akan ke jembatan Berok. Ingin melihat senja di sana.” Tiba-tiba kami terdiam bersama.
            “Bukan untuk mengingat Siska kan?” Aku melihat paman. Paman tahu benar perasaanku. Aku hanya mengangkat bahuku acuh tak acuh. Aku tak memberitahu kalau sore nanti aku akan bertemu dengan Siska Jadi sore itu aku sudah tiba di jembatan Berok. Melihat semua kenangan yang ada di sini. Masih seperti dulu. Selalu indah dari sini.
            “Sudah lama?” Aku membalikan tubuhku dan terpana sesaat. Masih seperti dulu, cantik, mungil hanya sedikit pucat.
            “Kamu sakit?” gelengan kepalanya menandakan dia tak sakit. Siska menggandeng tanganku dan mulai diam seribu bahasa . Bahasa hati yang bicara seperti dulu. Menikmati banyak kenangan dulu. Sampai akhirnya aku memecahkan kesunyian di antara kita.
            “Gimana kabarmu. Apa orangtuamu masih marah padaku???
            “Baik, aku masih mencintaimu, asal kamu tahu saja.” Pelan tapi serasa menohok hatiku. Siska masih mencintaiku?
            “Jodohmu?
            “Tak perlu dibicarakan lagi. Sekarang yang  ada aku dan kamu. Itu saja.” Kembali sunyi . Saat aku menoleh ke samping, beberapa orang melihatku dengan pandangan heran dan sekali-kali ada yang menunjuk aku dengan menaruh telunjuknya di dahinya. Emang siapa yang gila? Siska? Aku tak merasakan keanehan pada diri Siska lalu apa? Tapi ya sudahlah. Aku tak mengerti. Hari sudah semakin sore. Siska berpamitan. Aku hendak mengantarkan  pulang tapi Siska menolakku. Malam ini aku tidur dengan sejuta mimpi dan kerinduanku terhapuskan dengan kehadiran Siska sore tadi.

            Esoknya aku berjanji dengan kawan lama untuk bertemu di sebuah kafe. Andi. Teman sewaktu SMA. Andi juga kenal baik dan berteman dengan Siska, mungkin aku akan bertanya tentang Siska semenjak aku meninggalkan kota Semarang. Aku sudah melihat Andi duduk bersama temannya.
            “Ini Ayu,”tukas Andi memperkenalkan temannya.  Setelah menanyakan kabar , aku mulai cerita kalau kemarin sore Siska menghubungiku. Aku menceritakan semua tentang sore itu. Aku menatap Andi yang keheranan dan sebentar-bentar mulutnya melongo.
            “Kamu gak tahu Topan??? Siska itu sudah meninggal. Dia bunuh diri karena gak mau dijodohkan oleh orangtuanya.” Tiba-tiba saja aku seperti tertampar keras. Jantungku serasa berhenti seketika.
            “Jadi aku bicara dengan siapa? “ Aku lihat sendiri, Siska ada bersamaku.” Aku coba meyakinkan Andi, tapi Andi tetap saja mengatakan kalau Siska sudah tiada. Bahkan sore itu aku diajak ke makam Siska. Ah, Siska, aku bersalah. Aku meninggalkan kamu sendiri menanggung semua bebanmu. Aku tatap nanar makamnya. Aku usap papan namanya.
            “Siska, tidurlah dengan temang. Aku bahagia kamu mencintaiku.” Andi menyentuh bahuku dan mengajakku pulang. Sekali lagi aku menatap pusaranya. Ah, kamu masih mencintaiku Siska......


0 komentar:

Posting Komentar