Akhir Dari Sebuah Cerita

Senin, 19 Maret 2018


Gambar dari sini 


Tak aku sangka hari ini aku bertemu kembali dengan temanku Garin setelah sekian tahun tak pernah berjumpa . Setelah lulus kuliah tak pernah lagi bersua. Aku merantau ke kota Jakarta. Ah aku memandangnya sedikit iri. Garin tampak berbusana jas yang aku tahu berapa haga yang harus Garin keluarkan untuk jas itu.
            “Hai, sapaku,” sambil menjabat keras tangannya. Tangan Garin begitu kuat meremas tanganku. Rasa percaya dirinya tampak dari genggaman tangannya. Dari tampilannya aku tahu mungkin dia pasti jabatan tinggi di perusahaannya atau bisa jadi pemilik perusahaan.
            “Halo, Rangga ya,” tegurnya . Aku mengangguk kecil.
            “Sudah lama ya tak berjumpa. Kerja dimana?”
            “Itu di PT Agung Purnama,” tukasku cepat sambil menunjuk ke arah kantorku. Garin mengangguk .
            “Ok, kapan-kapan kita ketemuan ya. Hari ini aku sibuk. Bisa minta nomer teleponmu? “ Aku menganguk dan memberikan nomer ponselku. Aku berlalu dari hadapannya. Ririn mengejarku dan berjalan di sisiku.
            “Kamu kenal dengan pak Garin?”
            “Iya  dia teman kuliahku.” Aku memandang Ririn dengan pandangan heran . Mengapa dia menanyakan tentang Garin padaku.
            “Ganteng ya. Sudah ganteng , dia pemilik PT Global Angkasa.”  Aku hanya manggut-manggut saja. Ternyata dugaanku benar. Dari pakaian saja sudah bisa dilihat posisi seseorang di perusahaan. 

            Ponselku bergetar , tampak nomer yang tak aku kenal tampak di layar. Agak ragu untuk menerimanya.
            “Halo.”
            “Aku , Garin. Makan siang yuk. Aku tarktir ya. Di kafe depan kantor saja .” Aku mengiyakan saja. Toh tak ada salahnya bertemu dengan teman yang sudah lama tak ketemu. Sekalian silaturahmi. Aku ingat dulu sekali Garin adalah teman yang sangat sederhana. Dia dari kampung di gunung kidul. Hidupnya susah. Untuk kuliahpun dia bekerja serabutan. Pokoknya dia sosok pekerja keras. Walau Garin mendapat beasiswa tapi itu tak mencukupi, karena Garin perlu makan, bayar kosan. Apalagi hidup di kota Bandung yang memerlukan biaya yang tak sedikit. Ternyata sekarang dia bisa menjadi orang yang sukses. Pemilik perusahaan. Sungguh beruntung!!!! Aku??? Dari sejak kuliah hanya bisa menjadi karyawan. Karyawan kontrak. Setiap tahun harus berdebar-debar kalau-kalau saja tak diperpanjang kontraknya , masih harus berjuang mencari pekerjaan lainnnya.  Rumah BTN sederhana yang masih harus nyicil setiap bulannya. Hidupnya masih susah. Hampir setiap hari Rina, istrinya  mengeluh dengan harga-harag di pasar yang terus merangkak naik sedangkan gajinya tetap saja tak merangkak naik. Begitu juga dengan jabatannya. Kalau saja Rina tak membantunya mencari uang, mungkin uang gajinya tak cukup untuk hidup. Ah, mungkin sudah nasib hidupku seperti ini. Mengapa harus aku keluhkan,semua sudah punya takdirnya masing-masing.


            “Sudah lama? Maaf terlambat, masih banyak yang harus aku tandatangani.” Garin duduk di hadapanku.
            “Gak apa-apa. Jelaslah kamu direktur tugasnya pastilah banyak,”tukasku. Garin menyuruhku untuk memesan makanan. Aku melihat menu makan siang di kafe ini. Biasa makan di warteg belakang kantor, membuat aku bingung memlilih menu yang semuanya asing bagiku. Garin memberikan pesanan pada pelayan di sana. 
            “Betah kamu kerja di sana?” Ah, bagiku mau betah atau tidak tak aku pedulikan, yang penting aku bisa mendapatkan uang.  Garin menyuruhku untuk melamar saja di kantornya. Masih butuh tenaga komputer di sana. Aku hanya mengagguk saja. Tak lama Garin menceritakan semua hal tentang dirinya. Termasuk mengapa dia bisa menjadi pemilik PT Global Angkasa. Ternyata Garin menikah dengan anak pemilik PT Global Angkasa. Dan kini bisa menjadi miliknya seutuhnya.
            “Sungguh beruntung ya . Dapat anaknya juga dapat perusahaannya,” tukasku. Tapi aku melihat raut Garin berubah.
            “Kamu salah , Rangga. Apa yang dilihat , kadang tak sama apa yang dirasakan.” Garin terdiam lama.Aku menunggunya berbicara lagi. Lama Garin diam, sebelum dia melanjutkan ceritanya. Ternyata Garin mendekati Dina istrinya sekarang, juga punya maksud tertentu, agar dia bisa menajdi bagian dari perusahaan besar ayahnya. Aku sedikit terkejut , karena tak menyangka sikap Garin seperti itu.
            “Kamu terkejut ya?” aku tersenyum. Garin tak mau hidup susah lagi. Sudah cukup selama hidupnya dia harus mengais rejeki dengan pkerejaan kasar. Dia ingin mengubah hiudpnya tapi lewat jalan pintas.
            “Tapi tak semulus seperti yang aku harapakan,”selanya. Ternyata memang hidupnya berubah . Semua yang dulu ia tak miliki, sekarang bisa dia genggam . Tapi untuk itu ternyata diperlukan pengorbaan yang cukup besar. Pengorbana perasaan. Mertuanya tak mau kalau orang lain tahu dia punya besan orang miskin dari gunung kidul. Akibatnya sejak menikah Garin memutuskan silahturahmi dengan keluarga besarnya.
            “Jadi ,kamu tak pernah menengok atau apalah pada keluargamu?” tanyaku heran. Garin menggeleng lemah. Tampak air mata mengenangi bola matanya. Garin memalingkan wajahnya untuk menutpi air matanya. Aku terdiam lama.  Setelah lama terdiam, Garin melanjutkan lagi ceritanya. Bukan itu saja Garin harus menuruti semau perintah dari ayah mertuanya untuk menjalankan perusahaannya. Termasuk tak pernah membayar pajak seratus persen. Garin disuruh untuk kongkalikong dengan pegawai pajak  agar perusahaannya bisa bebas tak mebayar pajak seluruhnya. Aku terhenyak. Ini bukan sifat Garin. Dulu dia amat jujur dan santun. Semua bisa berubah .
            “Kenapa?”tanyaku heran.
            “Entahlah. Mungkin aku ingin cepat merubah nasibku. Tapi mungkin ini jalan yang salah. Tapi ini sudah telat aku berbalik arah.” Garin kembali terdiam lama.
            “Dan kamu tahu Rang. Sekarang aku lagi punya masalah besar. Karena aku sudah ketahuan tak bayar pajak dan ketahuan menyuap pegawi pajak.  Dan  aku sudah suap lagi ternyata kasus tetap dilanjutkan. Aku takut sekali,” tukasnya lemah.
            “Tinggal tunggu waktu. Aku bakal di penjara.”
            “Oh, aku tak tahu Garin. Aku baru tahu.” Bagaimana aku tahu. Mana sempat aku membaca koran. Aku sudah sibuk untuk mencari uang agar dapurku ngebul. Garin memegangi kepalanya. Aku tak tahu apa yang harus aku katakan.
            “Aku turut prihatin.” Hanya itu yang bisa aku ucapkan padanya. Cerita siang ini banyak mengubah cara pandang aku pada hidup ini. Semua yang terlihat indah di mata kita belum tentu sama seperti yang kita bayangkan. Intinya kita harus bersyukur dengan apa yang sudah kita punya.


            Sudah seminggu setelah pertemuan dengan Garin, aku mendengar ceriat dari Ririn kalau Garin ditangkap KPK tadi malam. Aku terduduk lemas. Akhirnya Garin harus  berakhir di jeruji besi. Aku menceritakan tentang Garin pada Rina. Rina terdiam lama .
            “Kita memang tak hidup mewah. Tapi kita patut bersyukur. Kita gak pernah kekurangan. Belum tentu apa yang kita lihat bagus, bagus untuk hidup kita,”tukasku. Rina mengangguk menyeujui perkataanku. Cerita Garin membuat aku tersadar, untuk selalu hidup sesuai dengan tuntunan Allah Bukan hanya mengejar duniawi tapi kehidupan kelak juga harus kita kejar. Aku bersyukur dengan hidupku, jauh lebih bersyukur daripada sebelumnya

8 komentar:

Akhmad Muhaimin Azzet Says:
19 Maret 2018 pukul 16.36

Kasihan ya Garin, mengalami tekanan batin karena putus hubungan dengan keluarga, lalu akhirnya masuk penjara. Maka, hidup lurus, meski sederhana, tentunya sangat membahagiakan. Sebab, bahagia itu rasa, dan ini tentu soal hati, bukan soal benda. Begitu ya, Bu Tira.

Tira Soekardi Says:
20 Maret 2018 pukul 12.20

iya pak, hidup harus selalu bersyukur ya

eha Says:
21 Maret 2018 pukul 04.56

Setiap pilihan memang memiliki konsekuensi yang harus kita pikul ya

Tira Soekardi Says:
21 Maret 2018 pukul 12.21

betul mbak evylia

LunarV2 Share Says:
26 Maret 2018 pukul 06.26

Awal yang pasti memiliki akhir

Tira Soekardi Says:
26 Maret 2018 pukul 12.53

betul mbak lunar

Cinemax21 Says:
26 Maret 2018 pukul 15.41

teman lama yang memberikan inspirasi

Tira Soekardi Says:
27 Maret 2018 pukul 12.23

betul cinemax21

Posting Komentar