Be My Freind Dinda

Senin, 14 Mei 2018


  
Gambar dari sini 
 

Pagar rumah yang tinggi dan tertutup membuatku tak bisa melihat bagian dalam rumahnya. Aku sering penasaran ingin tahu dalam rumah besar itu, walau aku benci sekali dengan anak pemilik rumah itu yang suka mengatai-ngatai aku anak kampung. Memang rumahku ada di kampung di belakang perumahan mewah. Kalau dibandingkan rumahku, ya sangat jauh perbedaannya, tapi julukan anak kampung begitu menyakitkan. Seperti hari ini saat aku pulang sekolah bersama Ipin  sengaja aku melewati perumahan mewah ini ingin melihat-lihat .
            “Ngapain elu lewat sini sih,” tegur Ipin kurang suka, tapi aku tetap saja masuk ke perumahan  dan akhirnya Ipin mengikutiku juga. Aku selalu senang melihat rumah-rumah yang begitu indah , sepertinya akan terasa nyaman tinggal di sana. Belum lama aku berjalan sudah terdengar dari balik pagar.
            “Hey, anak kampung ngapain lewat sini, ini bukan jalan umum,” teriak gadis cantik yang selalu meneriakan aku anak kampung. Aku cuek dan berlalu tapi terdengar lagi umpatannya, membuat tubuhku berbalik.
            “Apa elu bilang gue anak kampung, emang iya. Lalu elu mau ngapain kalau gue anak kampung,” teriakku marah , tapi Ipin segera menarik tanganku untuk cepat berlalu dari sini.
            “Makanya elu sih pakai lewat sini,” tegur Ipin lagi. Aku mendorongnya , aku gak suka ada orang yang melarangku lewat perumahan.

            Setiap sore aku selalu duduk di atas pohon yang berada di dekat lapangan sepakbola dan dari sana aku bisa melihat rumah gadis itu. Belakang rumahnya luas dan ada kolam renang yang besar. Aku selalu bisa melihat aktivitas keluarga mereka dari atas pohon dan aku selalu berada di atas pohon sampai senja menjemput.
            “Hoy, Jay turun, elu dipanggil nyokap elu tuh,” teriak Ipin dari bawah.
            “Apa lagi si mak, ganggu kesukaan  gue saja,” gerutuku tapi tetap turun dan menghampiri emak yang sedang memegang surat.  Waktu aku buka surat itu, mataku berbinar dan tak menyangka sama sekali.
            “Astaga mak, gue diterima di SMA Teladan,”seruku  riang. Ipin merebut surat itu dan dia ikut terbelalak kaget tak menyangka aku bisa masuk ke sekolah terkenal favorit dan banyak orang kaya yang bersekolah di sana.
            “Gile lu Jay, tapi apa elu gak minder nantinya bakalan satu sekolah dengan anak orang kaya,” celetuk Ipin yang saat ini hanya diterima di sekolah negeri yang bukan favorit.
            “Ngapain minder, gue Jay, anak ganteng dan pintar,” aku tertawa menyeringai di depan Ipin yang mulai memperlihatkan tampang sebalnya.
            “Ya udah besok emak bikin ayam goreng dan sambal terasi  kesukaanmu, buat merayakan keberhasilanmu,” ujar mak sambil ngeloyor masuk ke rumah.
            “Thank you, emak gue yang paling baik,”teriakku girang Entah mengapa suatu kebanggan tersendiri bagiku  kalau aku bisa masuk SMA Teladan yang berisi anak-anak pintar dan juga kaya. Sudah terbayang aku akan berdiri di sekolah itu , benar-benar mimpi yang menjadi kenyataan.

            Aku sendiri sudah tak sabar untuk cepat masuk sekolah,memakai seragam dan berada diantara anak-anak di sekolah sana. Pagi itu aku sudah  dengan seragamku dan  siap untuk datang di sekolah baruku yang sudah kumimpi-mimpikan sejak lama.
            “Pergi dulu mak, doain Jay ya,” aku mencium tangan emak dan emak selalu mencium ubun-ubunku dan aku paling suka karena aku merasa ada doa yang diucapkan saat mencium ubun-ubunku. Gerbang sekolah sudah  tampak, sekolah yang megah membuatku sedikit gemetar, beberapa mobil memarkir mobilnya di tepi jalan untuk menghantarkan anaknya sekolah, tapi aku tetap percaya diri dengan motor bututku. Aku parkir di tempat parkir motor yang berisi motor-motor bagus dengan merk terkenal, rasanya motorku terlihat jelek sekali. Waktu aku mencari kelasku, aku melihat gadis yang tinggal di perumahan mewah itu, ah ternyata dia juga bersekolah di sini.
            “Eh, ada anak kampung juga di sini,” tegurnya. Tapi aku tak menghiraukannya dan mencari tempat duduk di kelas yang menurutku bagus sekali tidak seperti sekolahku saat aku duduk di bangku SMP. Ternyata nama gadis itu Dinda, manis juga namanya . Saat pak Nata menyebutkan namaku Jaenudin, Dinda menoleh padaku dan mencibirkan mulutnya padaku, dan aku balas dengan membuat gerakan kiss bye padanya, tampak wajahnya cemberut, aku suka sekali dengan wajahnya apalagi dengan tampang cemberut begitu membuatnya tambah manis. Tak kusangka  untuk kegiatan ospek aku sekelompok dengan Dinda dan Sahrul. Saat pulang sekolah aku dan Sahrul mendekati Dinda yang sudah siap akan pulang.
            “Din, kapan nih kita beli pernak-pernik untuk lusa acara ospek, “tegur Sahrul pada Dinda yang sejenak terdiam dan menatapku tajam.
            “Halo, Dinda, panggil saja gue Jay,” aku menyodorkan tanganku padanya , dengan malas Dinda menyambut tanganku dan aku genggam lama dan segera Dinda menarik dengan cepat . Sahrul menatapku tajam dan menyenggolku.
            “Gimana kalau elu ikut kita berdua saja , cari di pasar inpres, harganya lebih murah,” ujarku.
            “Ogah ah, ngapain ke pasar inpres itu kan langganannya orang kampung saja,” tapi sungguh aku tak sakit hati Dinda berkata demikian.
            “Ya, sudah kalau gitu kita berdua saja,” aku menarik tangan Sahrul. Dinda tampak ragu-ragu.
            “Gue ikut. Tapi gue bilang dulu sama supir gue biar dia pulang saja.” Aku bersorak dalam hati, berjalan dengan Dinda, wwauw!!!!! Tak terasa belanja dengan Dinda membuatku asik dan aku melihat Dinda juga menikmati suasana pasar inpres dan kesan Dinda sombongpun hilang seketika saat aku sudah mulai bisa berkomunikasi dengannya , Dinda enak diajak bicara. Dan Dinda mau digonceng motorku untuk sampai ke rumahnya.

            Esok sore aku dan Sahrul datang ke rumah Dinda untuk mengerjakan tugas untuk ospek. Berdebar-debar aku memasuki rumahnya yang selalu membuatku penasaran, kini aku bisa  melihatnya sendiri.  Kini aku tidak penasaran lagi dengan rumahnya Dinda, begini nih namanya rumah orang kaya . Tidak begitu lama tugas untuk ospek sudah dikerjakan dan aku bersyukur kelompokku mau bersama-sama mengerjakannya sehinga cepat selesai. Sahrul segera berpamitan untuk pulang. Aku masih menatap Dinda , ingin sekali aku disuruhnya tetap di sini, tapi Dinda tak bicara apa-apa lagi terpaksa aku juga berpamitan padanya.
            “Geu pulang dulu Din, eh mau gak elu main ke lapangan sepakbola di belakang , aku selalu duduk di atas pohon setiap sore, “ sedikit malu untuk menawarkan main di kampung kumuhku yang jauh berbeda dengan perumahan Dinda, tapi tak kusangka Dinda menganggukan kepalanya.
            “Benar?” Aku mengajaknya naik ke atas pohon, aku tuntun agar dia bisa naik perlahan, ternyata Dinda cukup cekatan juga naik pohon. Saat Dinda sudah berada di atas pohon , tiba-tiba dia terdiam.
            “Jadi elu bisa lihat rumah gue dong dari sini,” tukasnya cepat, aku menyeringai padanya sambil menyodorkan es lilin . Dinda tampak ragu  menerimanya.
            “Ambil, bukan racun kok, walau tak seenak es krim walls.” Dinda mengambilnya dan mulai menjilatinya. Dan senja itu aku nikmati bersama Dinda samapi matahari terbenam di barat. Suasana  senja saat itu membuat Dinda banyak tersenyum padaku dan membuat hatiku turut berbunga-bunga.

            Pagi itu anak-anak SMA Teladan sudah siap mengikuti acara ospek, anak-anak dipasangi atribut yang memalukan dengan pita-pita dari tali rafia , tas dari karung goni dan sepatu diikat dengan tali rafia.  Selain diadakan permainan untuk melatih kekompakan, kerjasama dan rasa empati, juga diberi penjelasan oleh pihak sekolah pembelajaran dan kegiatan-kegiatan apa saja yang ada di sekolah ini. Aku terpesona dengan banyaknya kegiatan yang nantinya bisa mengembangkan kreativitas siswa. Acara ospek juga tenyata membuat siswa menjadi lebih akrab satu sama lain dan ditutup dengan acara api unggun di sekolah. Malam itu aku menjemput Dinda dengan motor bututku untuk menghadiri acara puncak ospek,  malam itu semua siswa kelas sepuluh resmi diterima di SMA Teladan  dan kepala sekolah menerbangkan seiikat balon gas yang tak lama kemudian berterbangan di udara.  Malam itu semua bergembira diiringi permainan gitar dan api unggun yang menghangatkan suasana keakraban di sekolah ini. Aku tak membayangkan aku bisa menjadi bagian dari sekolah ini. Aku melihat Dinda di sampingku juga mungkin merasakan hal yang sama denganku.
            “Din, jadilah teman gue ya, gue suka berteman dengan elu,” aku menatapnya yang sedang melihat balon-balon gas itu berterbangan.
            “Ada sayaratnya dong,” kelakarnya.
            “Apa itu,” aku mencubit pipinya yang bersemu merah saat kupandangi wajahnya.
            “Jadilah teman baik gue selamanya,” ujarnya lagi. Aku gandeng lengannya dan bersama-sama melihat balon yang berterbangan di langit, menyongsong harapan baru di sekolah baru yang akan datang menyambutnya sebentar lagi. Aku masih tersenyum dan tanganku masih menggandeng tangan Dinda.
            “Jadilah teman gue juga Din, selamanya,” ujarku perlahan. Bintang sudah tampak dalam kegelapan, berbinar memberikan pengharapan baru bagiku.

2 komentar:

Ngayap.com Says:
14 Mei 2018 pukul 16.23

Dari tatapan sinis menjadi manis 😁

Tira Soekardi Says:
15 Mei 2018 pukul 12.25

dari gak suka jadi suka setelah banyak pertemuan ya

Posting Komentar