Darah Di Tengah Hujan Lebat

Jumat, 18 Oktober 2019


Gambar dari sini 
 

Malam itu saat hujan turun lebat dan segala petir meneriakan suaranya yang keras. Angin berdesau membuat telingaku tak mampu lagi untuk mendengar tangisan hujan . tanganku masih bersimbah darah, kulepaskan pisau dapur , keringat mengalir terus dari dahiku. Keberanian macam apa yang telah aku perbuat? Kekuatan yang aku sendiri tak tahu dari mana. Apa mungkin ini merupakan cetusan rasa sakit yang selama ini kupendam sendiri dalam duka yang panjang?. Malam-malam sepi yang harus kulalui sendiri tanpa kasih yang seharusnya aku temukan dari suamiku. Aku telah membunuhnya.  Aku membunuhnya. Kulihat tubuh suamiku terbujur kaku di lantai, dengan luka tusukan yang bertubi-tubi dan tusukan di dadanyalah yang mungkin telah menghabiskan nyawanya.  Aku masih diam dalam bisu, diam tanpa kata dan aku terduduk dalam duka yang kutahu akan semakin panjang kulewati....

            Aku masih ingat perkenalanku dengan mas Arif di suatu seminar kebangsaan di Islamic Center di kota Tangerang. Mas Arif  adalah salah satu pembicara di seminar itu. Aku dikenalkan Boy teman kuliahku pada mas Arif. Perawakan sedang dan yang aku suka dia smart, bukan tipe lelaki yang playboy atau pecicilan dan tampaknya sopan .  Perkenalan singkat itu tak membawa rasa di hati , karena aku kembali sibuk dengan urusan aku kuliah.
            “Indah, dapat salam tuh dari mas Arif”, kata Boy. Aku cuma tersenyum.
            “Oh, ya salam lagi deh,” kataku . Selang beberapa bulan kemudian , aku dikejutkan saat mas Arif datang ke rumahku. Tidak hanya sekali itu saja mas Arif datang tapi selanjutnya dia selalu rutin mengunjungi aku. Herannya ayahku bisa dekat dengan mas Arif , padahal biasanya ayahku paling gak suka dengan teman-teman cowokku yang lainnya. Yang aku tahu, aku mengagumi mas Arif sebagai cowok yang smart, aku memang suka dengan cowok yang smart dibanding dengan cowok yang cuma bisanya bergaya tapi otaknya nol besar. Cinta?, aku tak tahu, apa aku cinta dengan mas Arif tapi perasaanku masih belum ada getar-getar yang membuatku jatuh cinta dengannya. Aku hanya menghormati karena dia pandai dan semua oang juga akan mengatakan hal yang sama denganku.
            Di bulan ketiga setelah banyak kunjungan mas Arif , dia melamarku. Ku belum bisa menjawabnya karena aku masih harus menyelesaikan kuliahku.
            “Indah, kenapa kamu masih ragu-ragu, ayah lihat dia pria yang baik untukmu,” kata ayah,”masalah kuliah kan masih bisa diteruskan setelah menikah”.
            ‘Biar Indah selesaikan kuliah dulu ayah, tanggung tinggal satu semester lagi”, kataku.
            “Gimana kalau kalian tunangan dulu, seenggaknya masing-masing jadi terikat satu sama lainnya,” usul ayah.  Aku hanya menggelengkan kepalaku, karena aku pikir aku mau konsentrasi belajar dulu , sebelum direpotkan urusan rumah tangga. Ayah cuna bisa menghela nafas , tampak rasa kecewanya.

            Akhirnya dua tahun kemudian aku sudah menyandang gelar nyonya Arif. Mas Arief tak mengijinkan aku bekerja. Aku sebetulnya mau protes, karena aku ingin seperti teman yang lain punya penghasilan sendiri dan bisa mengatualisasi diri, tapi kulihat sorot matanya yang menandakan ketidak setujuan akhirnya membuatku urung untuk protes. Akhirnya aku hanya mengurus rumah tangga dan keperluan mas Arif. Seiring waktu , aku mulai melihat perangai mas Arief yang aku tak suka, mas Arif terlalu menuruti apa kata ibunya, bukan aku tak suka tapi bagaimanapun istrilah yang harus diajak bicara dalam memutuskan suatu hal. Satu hal lagi, mas Arif selalu memberikan uang hanya untuk sehari saja, tidak pernah uang gajinya seluruhnya diberikan padaku,untuk aku kelola . Pernah aku tanyakan tapi jawabannya tak masuk akal dan terlalu mengada-ngada. Aku hanya bisa diam saja, mau mengadu pada ibu dan ayah ,mereka sudah menilai mas Arif adalah pria yang terbaik buatku.

            Hampir setahun aku menikah tapi aku belum dikaruniai anak, banyak pertanyaan yang sampai di telingaku. Itu tak seberapa, tapi yang membuat kupingku panas adalah sindiran mertuaku kalau aku wanita mandul. Aku mengeluh pada mas Arif tapi apa jawaban yang kuterima , mas Arif malah menuduhku hal yang sama. Hari-hariku terasa menyakitkan, di saat aku sendiri , aku merasa kesepian tidak ada teman untuk berbagi suka dan duka. Tidak ada yang bisa menenangkan hatiku yang gundah. Aku ingin memeriksakan ke dokter tapi aku tak punya uang.
            “Mas, gimana kalau kita ke dokter untuk memeriksakan kenapa aku belum hamil?,” tanyaku . Mas Arif menatapku tajam .
            “Kamu pikir , ongkos ke dokter itu murah, kalau ada sesuatu di rahimmu tentunya biayanya akan mahal,” kata mas Arif sambil tetap membaca buku. Aku terpana mendengarkannya, uangnya tak mau dikeluarkan untuk kepentingan bersama , bagaimana kalau aku sakit keras!. Aku hanya bisa gigit jari

            Pagi itu aku dikagetkan dengan kedatangan mertuaku. Aku heran , biasanya selalu datang kalau ada mas Arif. Aku mencium tangannya, tapi wajahnya kulihat tampak kesal.
            “Arif sudah pergi kerja?,” tanyanya. Aku hanya mengangguk.
            “Kasihan Arif , dia kesepian tidak ada celotehan anak kecil di rumahnya,” katanya,” coba orang lain pulang kantor sudah disambut dengan celotehan anak kecil.” Aku hanya berdiam diri , aku tak mau mengomentari omongannya. Tanpa basa basi lagi, mertuaku menuturkan rencananya kalau mas Arif akan dikawinkan lagi dengan anak temannya yang katanya bakal bisa memberikan cucu buatnya. Aku diam membisu , hanya air mata terus mengalir . Kuhanya bisa memandang kepergian mertuaku dengan perasaan hancur.tidak ada satupun yang membelaku, tak ada.....
            “Mas, ceraikan aku,” pintaku pada mas Arif.
            “Cerai, untuk apa?,” tannyanya.
            “Kan mas mau kawin lagi dengan anak teman ibu,” kataku.
            “Kenapa, kan laki-laki boleh beristri lebih dari satu,” katanya enteng
            “Pokoknya aku gak mau, ceraikan aku,” teriakku. Tapi mas Arif tak bergeming sama sekali. Duka panjang yang akan kulalui sudah terbentang di hadapanku. Masa-masa sulit harus kuhadapi. Sepi yang menyelimuti diriku selalu kulewati di malam-malam sepiku saat mas Arif ada di rumah istrinya yang lain. Aku semakin menderita dalam lara, banyak dendam dan sakit hati yang menyelimuti hatiku. Aku mulai membenci semua keadaan ini , kuhanya mengurung diriku di kamar terus dan kuabaikan diriku dalam kekelaman .

            Sampai suatu saat kudengar istrinya Nina telah melahirkan anak laki-laki, dan aku semakin tersudut dalam sepi yang panjang.  Mas Arif lebih banyak berada di rumah Nina dan  aku dibiarkan sendiri tanpa kasih sayang , tanpa uang. Ingin kulari dari kenyataan ini, aku menyesal mengapa dulu aku tak bekerja. Kini uangpun aku tak punya, aku tak bisa pergi dari rumah yang membuatku sakit hati. Kumulai merasakan tubuhku melemah, kusering muntah-muntah. Aku terbaring lemah , tak ada satupun yang peduli.

            Sampai suatu saat, malam itu, mas Arif datang , dan dia hanya menceritakan tentang kelucuan anaknya. Sungguh mudah baginya untuk bercerita  tanpa memahami rasa sakit yang harus kurasakan. Malam semakin larut, hujan masih turun dengan petir yang memekakan telinga , kutatap wajah mas Arif yang tertidur dalam lelapnya. Aku benci dia, aku benci, tak pernah dia memberikan aku ketenangan , hanya sakit yang kamu derakan untukku. Aku tak mau melihatmu lagi, tak mau. Kamu tak mengijinkan  aku untuk bercerai, apalagi yang akan kamu tusukan dalam hatiku?.  Aku memegang pisau dapur, kupejamkan mataku dan diluar masih turun hujan, kutusukan sekuat tenagaku di dadanya dan terus kutusukan pisau ke bagian tubuhnya sampai kutahu dia sudah tak bernyawa lagi. Tubuhnya terkapar di lantai. Aku masih memegang pisau yang berlumuran darah, sementara di luar masih turun hujan lebat dan petir menari-nari sambil meneriakan suara yang mengelegar dan membuatku terkejut. Aku sudah membunuh suamiku sendiri!. Aku seorang pembunuh!

0 komentar:

Posting Komentar