Bedong

Jumat, 09 Oktober 2020

 

gambar dari sini

Aku masih memegang bendong ini dalam genggaman tanganku. Warnanya sudah buram , kusut dan aduh baunya . Tapi bedong itu selalu membuatku merasa nyaman. Sudah lama bedong itu menemaniku di saat-saat suka maupun duka. Tapi, kini aku dipaksa untuk membuang bedong ini. Sebulan lagi aku akan menikah dengan pujaan hatiku, Kata bunda aku harus membuang bedong kesayanganku karena aku sudah tak pantas menggunakan bedong itu lagi. Apa kata orang kalau aku masih memakai bedong , itu kata bunda. Tapi aku merasa tak adil, karena bedong itu sudah menemaniku sampai saat ini, aku tak bisa lepas dari bedong ini.

 

            Waktu aku masih bayi, aku merasakan kehangatan saat bedong mulai menutupi semua tubuhku, yang tampak hanya wajah mungilku. Aku terlelap , hangat dalam balutan bedongmu. Waktu kurasakan basah bedongku, bunda selalu membukanya perlahan sambil menyanyikan lagu-lagu yang tak kumengerti, tapi hanya sesaat aku kedinginan , karena sesaat kemudian aku sudah terbungkus hangat dalam bedongku. Bedongku selalu memaniku saat-saat ku masih bayi, sampai aku sudah remaja tetap saja aku masih nyaman dengan bedongku.Banyak ceritaku bersama dengan bedongku.

            “Lia, siapa yang naruh makanan busuk di kamar,” teriak bunda.

            ‘Iya , aku lupa bunda,” kataku. Aku melihat bunda marah denganku, aku tarik bedongku . Aku mulai mengelus-negelus bedongku. Ada rasa nyaman dan mulai kupeluk bedongku dan kudekap dalam dadaku dan aku merasakan aku tak marah lagi. Aku mulai turun dari tempat tidur dan mulai membersihkan makanan basi yang ada di kamarku. Terimakasih bedongku.

 

            Malam itu hujan turun lebat dengan petir yang bersahut-sahut, aku mulai ketakutan tapi bedongku masih kuelus-elus terus dan mataku mulai terpejam .

            “Lia, sudah tidur belum?” tanya bunda. Kulihat bunda ada di pintu kamar menengokku.

            “Sudah mau tidur bunda,” kataku sambil kuelus terus bedong . Ku selimutkan bedong di dadaku seperti saat kumasih bayi bedong itu membuatku merasa  nyaman.sampai suatu saat aku harus pergi ke luar kota bersama teman-teman.

            “Lia, kamu gak usah bawa bedongmu, malu-maluin saja,’ kata bunda.

            “Gak apa-apa bun, pokoknya aku bawa, titik,” kataku tegas. Aku tidak mungkin meninggalkan bedongku di rumah , sedangkan aku berada di tempat lain, bagaimana aku bsia tidur nanti, kalau ada apa-apa aku tak bisa mengelus bedongku.

            “Ya, terserah kamu saja,” kata bunda sambil mengangkat bahunya dan tidak lupa mencibirkan bibirnya. Aku mendelik pada bunda, pasti bunda mau mengejekku lagi. Tapi aku tidak peduli, bedongku harus kubawa.

 

            Di saat perjalanan ke Jogja , aku selalu memegang bedongku saat aku mau tidur , teman-teman banyak sih yang mengejekku tapi aku tidak peduli. Bedongku tetap dalam dekapanku. Sampai malam itu aku histeris saat bedongku tidak ada.

            “Tadi kamu taruh mana Lia,?” tanya Anggi.

            “Pasti ada yang menyembunyikan bedongku , pasti,”kataku. Aku menatap semua teman-temanku tapi tidak ada satupun yang mengaku . Akhirnya malam itu aku benar-benar tidak bisa tidur malah aku mulai  menangis karena tidak nyaman.

            “Dah , jangan nangis Lia, “ kata Anggi. Di luar kamar aku tahu teman-temanku mencari bedongku.. Tapi sampai pagi bedongku belum diketemukan . Pagi itu aku bangun dengan mata sembab . Waktu aku keluar dari kamar , aku melihat seorang OB memegang bedongku.

            “Eh, mas, apa yang kamu bawa,” teriakku. Pegawai itu memperlihatkan bedongku. Aku rebut bedongku .

            “Mas, ambil dimana ini?” tanyaku.

            “Tuh, di sembunyikan dekat kamar nomer 25,” katanya  .  Aku benar-benar marah , ternyata Andre menyembunyikan bedongku. Tapi saat kusentuh bedongku aku mulai tak marah lagi dan mulai kembali ceria.

 

            Waktu aku bertemu dengan Alan, Alan juga akhirnya tahu kalau aku tergantung dengang bedongku. Aku juga tidak peduli , aku sudah sebesar ini masih saja kupegang bedongku saat aku tidur atau saat aku gelisah.  Bedong itu sudah jiwaku dan aku tidak mau membuangnya , walau bedong itu tak pernah aku cuci.

            “Lia, malam nanti , keluargaku akan datang untuk melamarmu,” kata Alan memegang lenganku. Aku merasakan kebahagiaan karena akhirnya Alan akan melamarku.

            “Oh, ya, aku agak cemburu ,” kata Alan. Aku heran dengan perkataannya.

            “Cemburu?” tanyaku, “ sama siapa?”

            “Bedongmu, masa nanti aku harus bersaing dipeluk dengan bedongmu sih,” katanya lagi. Aku terpana, aku tak menyangkan Alan akan berkata demikian. Aku masih terdiam lama , masih belum dapat aku bicara.

            “Kenapa, gak bisa lepas dengan bedongmu,?” tanya Alan sambil menatapku tajam.

            “Aku gak tahu,” kataku lemas.

 

            Kini sudah dua orang yang menyuruhku untuk membuang bedongku. Aku masih memegang bedongku .Apa mereka tak bisa merasakan kalau aku merasa nyaman dengan bedongku. Kata bunda aku akan ada yang menemani saat tidur nanti, tidak mungkin kalau tidak bisa tidur. Aku juga masih heran , mengapa Alan harus cemburu dengan bedong yang hanya benda mati. Sampai saat ini aku masih bingung , padahal hari pernikahanku sudah hampir tiba, ada tidak yang bisa aku mintai tolong?

Buang atau tidak bedongku?

 

 

 

 

 

 

 

 

3 komentar:

Marsya Says:
10 Oktober 2020 pukul 00.31

test

Adipraa Says:
12 Oktober 2020 pukul 14.48

Buat kenang2an, jangan dibuang, mending dipajang....

Tira Soekardi Says:
13 Oktober 2020 pukul 12.37

wah bisa dikasih pigura juga kayaknya mas adipraa

Posting Komentar