Tunggu Aku ,Aku Akan Kembali

Jumat, 18 Desember 2020

 

Gambar dari sini

  Masih betah saja aku duduk di saung di tepian sawah pak Imam. Hamparan sawah yang mulai menguning dengan bulir-bulirnya yang mulai merunduk. Kicauan burung bersahut-sahutan . Saat langit mulai menggelap dengan sinar matahari yang akan bersembunyi di balik awan, masih saja ku terpaku disini. Belum beranjak dari sore tadi. Rasanya berat meninggalkan banyak kenangan di desa ini, yang telah banyak memberikan  pelajaran berharga bagiku. Sekali-kali aku harus menghapus air mata yang mulai mengabut di kedua belah mataku. Kusapu pandangan sekali lagi sebelum gelap tiba, kulangkahkan kakiku menyusuri pematang sawah,kembali menuju peraduan dengan sejuta mimpi .

 

            Kuingat pertama kali aku mengginjakan kakiku di desa di kaki gunung Selamet saat sudah hampir senja  Sambutan hangat masarakat desa sungguh diluar dugaanku. Aku akan tinggal di sini selama satu tahun, sebagai dokter PTT. Aku menempati rumah dinas di samping puskesmas . Kuamati ruang tamu yang mungil dan satu kamar ada  di sayap kiri dan di bagian belakang dapur kecil dengan perlengkapan yang sudah lengkap. Cukup nyaman untuk kutinggal di sini. Hanya saja rumah dinas ini agak berjauhan dengan tetangga.

            “Bu dokter, ini tempat tinggalnya”, kata Sari, “kalau ibu perlu apa-apa rumah saya ada di ujung jalan masuk desa yang bercat biru”.

            “Iya”, kataku sambil menaruh koperku di kamar.

            “Oh, ya bu dokter saya pamit dulu”, kata Sari. Aku mengantarkan Sari sampai pintu.

            “Bu dokter kalau takut saya bisa menemani kok”, katanya lagi

            “Gak usah Sari, saya berani kok, kan tidak ada setannya kan?, tanyaku bercanda.

Sari menggelengkan kepalanya. Kupandangi punggung Sari yang semakin menjauh pergi. Kurebahkan badanku yang penat ini, perjalanan yang lama cukup melelahkan tubuhku. Tak sadar aku tertidur tanpa menyantap makanan yang sudah disediakan Sari.

 

            Pagi itu aku bangun dengan badan yang sudah segar. Kokok ayam membangunkan tidurku

 

            Sari membawakanku sarapan pagi, padahal makan malam sama sekali tak kusentuh.

            “Makasih Sari”, kataku. Sehabis sarapan , aku mulai melihat ruang kerjaku. Hari itu bisa kulalui dengan baik dan aku cukup puas. Sore hari aku menyempatkan diri untuk berjalan-jalan keliling desa. Sambil menyapa penduduk di sana sampailah aku di ladang sayuran yang luas. Memandang hijaunya sayuran di depan mata, terasa ada sesuatu yang mengisi relung jiwa ini, terasa damai sekali. Aku mulai menikmati sore itu sambil duduk di bebatuan yang ada.

            “Sore”, kata seseorang yang menyapaku dari belakang. Aku kaget dan menoleh, ada pria yang berperawakan sedang dengan wajah yang lumayan ganteng. Aku berdiri dan memperkenalkan diri padanya. Anto, nama pria itu. Akhirnya sore itu, aku diajak Anto melihat perkebunan sayur miliknya. Wuiiih, Anto sangat nyambung omongannya denganku sehingga tak terasa senja mulai tiba. Sungguh menyenangkan mengobrol dengannya.

            “Ya, ampun sudah sore, aku harus pulang”, kataku,”kayaknya cepat banget sore ini “.

            “Oh, iya aku antarkan saja, tapi kita ngebakso dulu ya”, “di dekat sini ada bakso enak deh’, katanya. Aku hanya mengangguk saja dan  mengikuti Anto pergi. Walau warung sederhana , baksonya memang enak, hangat di suasanan yang dingin begitu menghangatkan badan sehangat hatiku bisa bersama Anto. Entah kenapa aku bisa nyaman dengannya . Malam ini aku bisa tidur nyenyak dengan mimpi indah setelah pertemuan yang mengasikan.

 

            Sudah hampir enam bulan lamanya aku tinggal dan mengabdi di desa ini, rasanya sudah semua sudut desa kujelajahi. Aku juga sudah mulai akrab dengan penduduk sini yang menerimaku dengan baik. Sampai suatu saat aku dikagetkan akan datangnya perawat baru yang katanya diperbantukan di desa ini.  Namanya Indah. cantik, ramping cenderung seksi hanya aku merasa kurang suka dengan cara berpakaian dan bahasa tubuhnya , yang menurutku sih agak kecentilan. Ternyata ketidaksukaanku terbukti, sikap Indah yang sulit diatur dan lebih suka-sukanya sendiri kalau bekerja membuatku kesal. Seharian ini aku uring-uringan saja, belum lagi Indah sibuk dengan handphonenya saja. Bagaimanapun aku ngomel dan menegurnya , kayaknya si centil itu gak mempan , harus diapain tuh anak. Kalau anak kecil sih sudah aku jewer telinganya.

            “Siang”, kata Anto depan pintu ruangku.

            “Eh,ada cowok ganteng rupanya di desa ini, perkenalkan saya Indah”, katanya. Aku hanya cemberut melihatnya.

            “Anto”, kata Anto. Anto melihat ketidaksukaanku dan cepat-cepat mengajakku makan siang dulu. Aku beranjak dari kursiku dan bergegas keluar sebelum amarahku makin meledak.

            ‘Eh, kok aku gak diajak sih, masa aku harus nungguin puskesmaas sendirian, hoy aku ikut”, katanya sambil berteriak-teriak. Aku menarik Anto sebelum dia menawarkan untuk ikut serta. Aku menceritakan kekesalanku pada Anto tentang Indah.

            “Malah enak gak ada perawat, walau repot tapi semua bisa selesai”, kataku”ini malah dikasih kerjaan , gak diselesaikan , jadi aku lagi yang mengerjakannya.”

            “Sabar”, kata Anto sambil memencet hidungku. Aku hanya bisa mencubiti pinggangnya.

            “Orang seperti Indah kalau kamu ladeni akan semakin menjadi-jadi, lebih baik kau diamkan saja, percaya deh”, kata Anton lagi., “lagipula gak enak kan kita lagi mau berdua saja pakai ngomongin yang nyebelin, nanti makannya jadi gak enak”. Aku mencibirkan bibirku padanya. Dasar , kok ya gak tau perasaan orang lagi kesal!

 

            Masih belum gelap, aku duduk-duduk di teras sambil membaca novel yang baru dikirim adikku. Aku masih terpaku dengan cerita-cerita menakjuban dan penuh semangat dari buku Laskar Pelanginya. Membayangkan anak-anak harus bersekolah dengan perjuanagn yang berat dengan fasilitas seadanya, sungguh luar biasa.

            “Sore bu dokter”, sapa Sari sambil meletakan makanan untuk malam ini .

            “Sore, Sar”, kataku sambil tak lepas dari bukuku.

            “Oh, ya nanti kalau aku sudah baca novel ini, kamu baca deh pasti kamu suka”, kataku lagi. Sari bercerita sambil bisik-bisik ,padahal puskesmas kan jauh dari rumah lainnya. Mungkin itulah cara orang kalau mau bergosip ria. Aku agak kaget mendengar cerita Sari kalau Indah sering mendatangi rumah Anto. Tapi kenapa aku harus marah, aku bukan siapa-siapanya Anto. Tapi justru cerita Sari itulah membuatku malam ini sulit tidur. Ada perasaan sakit di hatiku membuatku sulit untuk memejamkan mata sampai akhirnya aku tertidur dengan mimpi buruk.

 

            Seharian aku uring-uringan, apalagi pagi ini aku terlambat bangun karena semalaman sulit memejamkan mata.  Siang itu aku cepat-cepat pulang saja daripada aku tambah kesal lagi. Lebih baik aku keluar saja, menghirup udara segar. Jalan-jalan di pematang sawah sambil menatap langit yang membiru memang bisa menyatukan hati menjadi lebih nyaman. Kuhirup udara dengan tarikan nafas yang panjang dan mengeluarkan perlahan, membuat menjadi rileks. Hati-hati kulewatititian pematang satu persatu sampai saung di tengah sawah. Ku duduk di saung dengan kaki yang berjuntai sambil kuayun-ayunkan kakiku dan kupandnag burung yang masih asik berterbangan .Aku seharusnya tidak boleh marah pada Indah , Anto bukan siapa-siapa aku, walau sudah banyak waktu yang kuluangkan bersamanya , tapi tak sedikitpun Anto pernah mengucapkan kalau dia suka padaku. Sudahlah, kenapa harus dipikirkan lagi, toh aku ada mas Budi tunanganku yang menunggu di Jakarta.. Waktu aku berjalan lewat  di depan  warung bakso langganan kulihat Anto bersama dengan Indah sedang berdua makan baso. Aku cepat-cepat meninggalkan warung itu dan terdengar samar-samar Anto memanggil namaku, tapi tetap kulangkahkan kakiku cepat-cepat.

 

            Entah sudah berapa kali aku menghindar dari Anto, tapi Anto tidak pernah kehilangan akalnya untuk menemuiku.  Sore itu secara tak sengaja waktu aku mau duduk-duduk di saung lagi , Anto menghadang di jalan.

            “Aku temani jalan-jalannya ya”, katanya sambil berjalan di sampingku. Berjalan berdampingan , membisu tanpa kata. Hening diantara kebisuan yang ada di antara aku dan Anto ,tak ada satupun yang mau berbicara terlebih dahulu.  Tiba-tiba Anto menggandeng tanganku dan menarikku dalam pelukannya. Aku ada dalam pelukannya, pertama aku menolaknya tapi rasa nyaman berada di dalamnya , membuatku terlena dengan dekapannya.

            “Dokter Sasha, sungguh bodohnya kalau kamu anggap aku suka dengan Indah”, katanya,”apa kamu selama ini tidak merasa kalau aku suka denganmu?”. Aku cuma menggeleng lemah.

            “Bodoh, aku bukan tipe yang suka mengumbar perasaanku , harusnya kamu tahu itu “, katanya sambil mengecup keningku. Aku mendorongnya dan kembali berjalan, aku tak mau ada yang melihatnya. Tapi waktu Anto menggandengku, perasaanku jadi lega , setelah tahu isi hatinya.Tapi aku tak bisa menutupi perasaanku pada Anto, ada cinta buatnya, tapi bagaimana dengan Budi yang menungguku dengan setia nun jauh di Jakarta. Bimbang mendera hatiku, rasa yang tak dapat kuhilangkan begitu saja, beda sekali perasaanku dengan Budi.Tetapi hubunganku dengan Budi yang sudah tiga tahun , apa harus kuakhiri , hanya karena aku menemukan cinta yang lain?

 

            Sudah genap satu tahun aku di sini, saatnya aku harus meninggalkan desa ini. Ada cinta di sini, sulit aku meninggalkan desa yang penuh dengan sejuta cinta untukku. Pilihan yang terlalu sulit aku pilih. Ada sejuta cinta yang harus kutinggalkan di desa ini. Berat aku harus melangkahkan kakiku. Beberapa malam aku harus berjuang dengan segal pikiran yang membuatku sulit untuk memejamkan mata. Sampailah aku harus mengakhiri kebimbanganku dengan segala pertimbangan yang matang. Aku memilih setia, walau sebagian hatiku terluka akan cintaku pada Anto. Aku tak mungkin berpaling dari Budi yang telah setia juga menungguku sampai lulus kuliah dan praktek di desa ini. Apa aku sampai hati untuk menyakiti perasaannya?

 

            Anto menunduk saat aku menyampaikan kata hatiku. Air mataku masih saja menetes, kusapu tetesan air mata tapi entah kenapa air mata ini terus mengalir . Anto meraihku dalam pelukanku dan debar-debar jantungnya sangat menusuk hatiku, terdengar sendu di telingaku. Aku sibuk dengan air mataku, aku kehabisan kata-kata lagi , hanya diam tanpa kata-kata lagi. Aku menarik dari pelukannya.

            “Selamat tinggal, aku tak mungkin mengisi hatimu , ada hati lain yang menungguku,” kataku sendu. Aku berbalik dan pergi dari hadapannya. Ingin aku menoleh ke belakang untuk sekali lagi kutatap wajahnya tapi aku harus melupakannya. Saat perjalanan pulang seperti separuh jiwaku hilang di bawa cintaku untuk Anto. Kupandang sekali lagi hijaunya sawah dan pepohonan sepanjang jalan, aku memilih setia . Tunggu aku, ku kan kembali padamu......

           

           

           

6 komentar:

Met Eka Saputra Says:
22 Desember 2020 pukul 04.40

Kisah yang haru sekali bu. Mengendapkan keinginan demi kesetiaan. Memang berat kadang menjadi setia.

Tira Soekardi Says:
22 Desember 2020 pukul 11.20

makasih mas eka

Yustrini Says:
25 Desember 2020 pukul 14.48

Setia memang sulit apalagi kalo ada jarak. Berharap juga si Budi juga setia sama dokter shasha

Tira Soekardi Says:
25 Desember 2020 pukul 22.18

betul, LDRan itu penuh resiko

Riza Firli Says:
30 Desember 2020 pukul 11.40

aduh paling susah deh LDR ..

Tira Soekardi Says:
1 Januari 2021 pukul 00.54

yup mas riza

Posting Komentar