Gambar di sini
Panas
terik begitu kuat . Sudah berlangsung lama, sudah hampir sepuluh tahun semua
ini berlangsung. Perlahan tapi pasti. Bumi mulai mengerak, putarannya semakin
perlahan. Bulan dan matahari kadang terlambat datang karena lambatnya
perputaran bumi. Bumi mulai mengeluh. Rasa nyeri di sekujur tubuhnya mulai
mengerogoti secara perlahan. Sakit sekali. Belum panas matahari yang tanpa
penyaring lagi menimpa tubuhnya yang mulai oleng. Kerontang. Pepohonan yang
tadinay tumbuh subur, sekarang hanya tampak sebagai onggokan kayu yang berdiri
rapuh tanpa akar . Pohon sulit mengambil air karena air sudah mulai mengering.
Entah mereka pergi kemana???? Rasa gatal di tubuh bumi mulai menggelitik . Bumi
mulai batuk-batuk .Mula-mula kecil tapi lama-kelamaan menjadi besar. Tanah
mulai tampak retak-retak. Bumi berusaha untuk menahan batuknya tapi rasa gatal
yang menyelimuti tubuhnya yang kenudian
membuatnya batuk kembali. Asap-asap yang keluar dari gunung yang juga tak ada
pepohonan sama sekali, membuat lava merembes terus mengalir menyusuri dinding
gunung sampai ke sungai. Air juga sudah mengering diisi dengan lava yang panas.
Bumi mulai menangis.
“Sudahlah, sudah terjadi, apa lagi
yang kau sesalkan. Nasi sudah menjadi bubur. Semua akibat perbuatan manusia,” keluh
air. Bumi melihat air yang nafaspun sesak. Banyak zat kimia yang tercampur
dalam tubuhnya. Air mulai terlihat merana dengan warna yang menghitam dan
mengepul asap-asap panas .
“Kau tahu bumi. Aku merasa haus tapi
aku sendiri tak bisa minum.Lihatlah air begitu kotor. “ air mulai meronta-ronta
tak henti.
“Kalau saja manusia tak serakah.
Kalau saja manusia mau memelihara kita. Ini tak mungkin terjadi,” keluh bumi.
Air menatap bumi yang semakin renta dan tua. Tangisan pelannya tak mampu
mengisi sungai-sungai yang mulai kering. Itulah bumi saat ini. Matilah aku, pikir
bumi.
Saka tertatih-tatih melangkah
menyusuri jalan yang kering. Debu bertebangan menutup pandangan matanya. Rasa haus
membuat kerongkonganya kering. Saka mencari-cari sumber air. Tak ada satupun
yang terlihat. Saka terduduk dengan peluh yang satu-satu mengalir dari
tubuhnya. Saka terbelalak dari kejauhan dia melihat seseorang yang
tertatih-tatih berjalan sambil membungkuk. Akhirnya aku bertemu juga dengan
manusia lainnya. Dia mulai mendekat.
“Lebih baik aku mati daripada harus
menderita seperti ini,”tukasnya. Badi namanya. Saka lega , sudah berbulan-bulan
dia berjalan tak pernah dia menemukan mnausia satupun. Sampai kakinya letih.
Tak ada makanan. Saka harus makan dari buah-buah yang sudah kering.
“Semua hilang . Tak ada yang bersisa,”
keluhnya lagi.
“Semua ini salah kita. Kita sudah
merusak bumi, tak memelihaarnya. Sampai airpun hilang karena kecerobohan dan
keserakahan kita,” tukas Badi. Saka menatap lemah Badi. Dirinya sudah lelah.
Benar apa kata Badi,lebih baik mati daripada menderita. Mereka berdua duduk di
tepi sungai yang menghitam. Kerongkongan mereka kering. Tubuh mereka sudah
kurus tak berbentuk lagi. Terasa bumi
bergetar. Bumi mulai batuk-batuk kembali.
“Apa ini pertanda akan ada gempa
lagi?” Sunyi. Tak ada satupun yang mau menjawabnya. Sudah begitu banyak hal
yang mereka hadapi saat bumi mulai meranggas dan air mulai tak ada di
bumi. Mata mereka mulai terpejam.
Membayangkan kehidupan dulu yang begitu indah.
Saat-saat pepohonan masih banyak. Matahari
akan terbit di timur yang menyinari pagi hari dengan lembutnya. Semua terasa indah. Bumi menyediakan semua kebutuhan manusia. Air begitu
berlimapah. Tapi sayangnya manusia-manusia serakah. Semua mau dikuasai dengan
keosmbongan. Tak terasa akibatnya membuat bumi terus ringkih .Air semakin sulit
didapat. Perlahan tapi pasti, satu demi satu manusia mulai mati. Perlahan dan
begitu menyiksa. Semua berlangsung hampir sepuluh tahun. Kini hanya tinggal
kerontang yang membuat bumi seperti rumah hantu. Tak ada kehidupan. Tinggal Saka
dan Badi yang tersisa.
“Sungguh bodoh kita,Saka. Ini
akhirnya hasil dari pekerjaan kita. Aku sudah gak kuat. Matilah aku, ” keluhnya.
Mulutnya mulai susah bernafas. Udara yang begitu terik membuat pori-pori
kulitnya mulai mengelupas. Saka memandang Badi dengan takut. Dirinya juga akan
mengalaminya. Saka takut. Badi mulai mengerang kesakitan. Matanya melotot
tampak keluar dari bola matanya. Saka
memegang kedua belah bahu Badi.
“Jangan tingalkan aku. Aku takut
sendiri,”:teriak Saka Badi terengah-engah dan tak lama kemudian dia
terkulai di pangkuan Saka. Saka menangis terus-menerus .
Bumi menatap dua manusia yang ada di
tepian sungai. Merekalah yang paling bertanggung jawab akan kerusakan bumi.
Mereka serakah. Dengan kekuasaan dan kekayaannaya mereka menguasai bumi. Rusak
perlahan tak membuat mereka kapok, tapi dengan alat berat mereka perkaya diri
mereka dari hutan, air dan semua yang ada di bumi.
“Biar mereka bisa merasakan sakitnya
sepertiku,” tukas Air. Bumi mengangguk.
“Tunggu dulu, jangan mati. Biar
merasakan kesakitan yang sama dengan aku,”keluh bumi.
“Biar meraka merasakan kehausan yang
tiada tara. Air sudah banyak dia kotori dengan limbah pabrik-pabrik yang
dibangun tampa amdal.” Air mulai meludah. Kotor dan bau. Itu yang sekarng yang
bisa dikeluarkan oleh air, bukan kejernihan dan kesegaran lagi. Rasanya pahit.
Bumi mulai merengek-rengek, membuat suara kegaduhan yang menyayat hati. Ini
saatnya tiba. Semua akan berakhir di sini.
“Aku sudah tak tahan lagi,”keluh
bumi. Tiba-tiba bumi bergetar hebat. Saka memandang dengan ketakutan. Badi masih
ada di pangkuannya. Ada apa lagi. Biarkan aku mati, aku sudah tak kuat.
“Ini gara-gara kamu.”Tiba-tiba
terdengar suara gemuruh dan kata-kata itu yang tertuju padanya.Saka yakin itu
untuk dirinya. Saka sadar , dirinya yang juga berkontribusi dengan kerusakan
bumi. Sudah banyak temannya yang menasehatinya tapi dia tak mempedulikannya.
Kini Saka merasakan akibat dari perbuatannya. Saka siap mati.
“Kamu harsu mati perlahan-lahan. Kamu
sudah merusak tubuhku.”Terdengar suara itu lagi. Tubuhnya mulai merenggang .
Sakit terasa oleh Saka. Perlahan dan sekali sentakan Saka mati dengan mulut
terbuka dan busa keluar dari mulutnya.
“Impas sudah,”tukas bumi. Dan seketika
itu juga bumi meledak keras. Duar!!!!!
Cirebon,
19 April 2016
Memperingati
hari bumi. Jangan ada lagi yang merusak bumi.
8 komentar:
19 April 2016 pukul 02.28
Selamat Hari Bumi, semoga kita selalu menjaga bumi dan seisinya
19 April 2016 pukul 13.47
iya mas Fandy, kita selalu harus menjaga bumi dan isinya untuk kelangsungan hidup manusia
21 April 2016 pukul 20.27
Fiksinya luar biasa Mbak, dengan tokoh yang tak biasa. Terima kasih sudah bagi contoh cerpen bagus... @_@
22 April 2016 pukul 13.40
mbak Susi ini lagi kiyeng bikin fiksi krn hari bumi dan cari tokohnya yang gak biasa, ternyata susah juga krn aku biasa pakai povnya aku
25 April 2016 pukul 01.20
semoga kita dapat menjaga kelestarian bumi dan seisinya untuk masa depan anak cucu kita kelak
25 April 2016 pukul 14.01
ya semoga semua manusia mau menjaga buminya
26 April 2016 pukul 23.30
semoga kelak yang seperti di cerita tak pernah terjadi, semoga kita bisa menjaga bumi kita ya mbak
27 April 2016 pukul 13.19
iya, makanya kita harus bisa menjaga bumi dan isinya
Posting Komentar