Gambar dari sini
Sepanjang
hari itu, aku masih termenung panjang mengingat peristiwa yang masih jelas
terpampang di depan mata seperti layar lebar yang menggambarkan peristiwa scan demi scan. Bocah
kecil dengan bola mata hitam memeluk
gitar kecilnya di antara kendaraan yang lalu lalang bersliweran tak
henti-hentinya. Tubuh mungilnya hanya tampak setitik notkah di antara puluhan
kendaraan yang tak peduli dengan sekitarnya. Masih terbayang waktu aku
menolongnya saat motor menyenggolnya. Kuberlari dan kugotong tubuh mungilnya ke
tepi jalan dan kuperiksa tubuhnya, hanya lecet-lecet kecil saja, beruntung
nasibmu kawan. Kutanyakan padanya dimana rumahnya. Dia hanya menatap mataku
dengan tatapan sayu , rasa hati tertusuk menatap bola matanya yang penuh
kerinduan terhadap sesuatu yang aku sendiri tak tahu itu apa. Bocah kecil itu
benama Dul. Kulihat Dul menatap ke ujung jalan dan kulihat disana ada beberapa
preman yang melihat kearahku dan Dul. Dul bangun dengan tergesa dan berlari ,
aku terhenyak sehingga tak sempat aku mengejarnya.
Aku masih di depan laptopku dan
masih terbayang lukisan peristiwa kemarin,Gitar di tanganku dan pikiran yang
masih mengembara. Ingin kutuliskan bait-bait
lagu yang menceminkan kesedihan yang terpancar di mata bulatmu., tapi
dari tadi tak satupun kata-kata yang bisa kutulis di lembaran kosong kertas
putih yang tergeletak di samping kopi susu hangat yang menemaniku sejak tadi
pagi. Kepulan asap panasnya sudah hilang dari tadi, Aku masih ingin bertemu lagi denganya.
Kuganti bajuku dan kugunakan topi hitamku dan kacamata hitam yang bertengker di
telingaku dan ku kendarai motor bututku
dengan gitarku mengarungi jalan
jahanam dengan segala polusi yang ada di sana. Kembali ke tempat di perempatan
jalan Dago, ku parkir motorku di tepi jalan , ku pandangi jalan yang berdebu ,
masih belum terlihat bocah kecil. Saat kutengadahkan kepalaku untuk melihat ke
seberang jalan. Benar saja Dul ada di sana. Kuseberangi jalan dan kudekati Dul.
Hampir saja Dul lari kalau tanganku tidak cepat memegang lengannya.
“Dul, tenang aku gak akan
ngapain-ngapain kamu, aku hanya ingin berteman”, kataku sambil mengulurkan
tanganku. Dul ragu-ragu dan melihat ke ujung jalan lagi dan baru Dul
menyodorkan tangannya padaku. Kugenggam tangannya .
“Aku boleh ikutan ngamen gak?,
tanyaku,”nanti uangnya buat kamu”. Dul melihatku dengan tatapan aneh tapi
kemudian dia menganggukan kepalanya. Aku mengambil gitarku di motorku dan mulai
mengamen di lampu merah Dago.. Rasa panas di kepala dan peluh yang mengucur di
tubuhku tak kugubris, niatku ingin membantu Dul. Hanya uang recehan yang
kudapat dan pandangan sinis dari pengendara-pengendara itu. Tak terbayang Dul
harus menjalani semua ini sendiri tanpa teman dan keluarganya.
Waktu tengah hari kuajak Dul untuk
beristirahat. Kulihat ada resto kecil di sudut jalan Dago. Kuajak Dul makan di
sana. Kulihat Dul makan dengan lahap. Kasihan, mungkin Dul tidak pernah makan seenak
ini sehingga begitu lahapnya dia makan.
“Dul, kamu tinggal dimana?”,
tanyaku.
“Di belakang kebun binatang”,
katanya sambil sibuk memasukan makanannya ke dalam mulut penuhnya.
‘Hati-hati, jangan banyak –banyak
kau masukan makanan itu, nanti keselek”, kataku lagi. Dul tidak menggubrisnya,
dia tetap makan dengan tergesa-gesa.
“Kamu tinggal dengan siapa”, kataku
lagi sambil mendesak agar Dul mau banyak cerita. Dul memandangku sekali lagi.
Aku menatapnya dan meyakinkan dia bahwa aku orang yang pantas dipercaya. Dul
lama terdiam dan akhirnya keluarlah cerita dari mulutnya. Dul tinggal bersama-sama
dengan bocah lainnya di gang sempit dan rumah kecil . Mereka ditampung oleh
preman dan mereka disuruh bekerja dan mereka wajib menyetorkan sebagian uang
kepada preman-preman itu. Menurut Dul, kalau setoran kurang , mereka
mendapatkan bogem mentah di perut mereka. Aku terhenyak mendengar penuturannya.
Tiba-tiba Dul berdiri dan hendak meninggalkan aku.
“Eh, jangan buru-buru, nanti aku
belum selesai makan”, kataku.
“Gak, nanti bang Kohir melihat aku
tak ada di sana , pasti aku dimarahinya”, katanya lagi sambil bergegas ke luar.
Aku hanya bisa menghela nafas. Kupandangi punggung kecilnya sampai menghilang
dari pandangan mataku.
Hampir setiap hari aku melewati
jalan Dago dan masih saja kulihat Dul di sana. Sampai suatu saat aku tak
melihatnya sampai sudah seminggu tak kulihat Dul di sana. Aku semakin
penasaran. Aku mulai mencarinya siang itu, tapi sampai lelah kakiku berdiri ,
Dul tak terlihat. Aku menghampiri bocah yang sedang mengamen, waktu kutanyakan
tentang Dul, yang kudapat hanya gelengan kepalanya dan dengan cepat berlalu
dari hadapanku. Ternyata bocah yang lainpun tutup mulut saat kutanyakan
keberadaan Dul. Kutunggu sampai senja tiba , malam berganti, bocah-bocah itu
masih mengamen. Kakiku mulai terasa pegal dan perutku mulai terasa lapar tapi aku
tak mau berhenti . Aku ingin tahu keberadaan Dul bocah cilik bermata bulat yang menarik perhatianku. Saat malam
sudah larut kulihat bocah-bocah itu mulai pulang . Aku mengikuti dengan jalan
perlahan di belakang mereka. Benar , mereka masuk jalan yang menuju belakang
kebun binatang. Dan mereka berhenti di rumah kecil yang sudah kusam. Tampak
mereka menyetorkan kepada dua preman yang sudah berdiri di depan pintu. Salah
satu preman tiba-tiba menatapku tajam , aku kaget dan berbalik arah dan berjalan
perlahan-lahan agar tidak mencurigakan.
Masih kulihat di perempatan Dago
siang itu, tak ada Dul. Aku berbalik dan menuju gang sempit tempat rumah Dul.
Kulihat dari jendela ada sesosok tubuh mungil tergeletak di tikar. Kucoba
membuka pintu, ternyata tidak dikunci. Agak gelap hanya seberkas sinar matahari
masuk lewat jendela. Udara lembab menyapaku saat aku masuk ke ruangan yang
sangat kotor.
“Dul, Dul....”,panggilku. Dul
membalikan tubuh lemahnya. Aku kaget badannya panas , peluh menetes di dahinya
dan astaga, badannya penuh memar. Aku tak mungkin menanyakan pada Dul, kuangkat
tubuh lemahnya . Kupanggil taksi dan kubawa ke rumah sakit. Dul , berbaring
lemah di tempat tidur dengan infus di tangannya dan luka-luka dan memarnya
sudah diobati.
“Dul, kakak pulang dulu, nanti kakak
kemari lagi “, kataku.
“Anda keluarganya?”, tanya perawat
yang masuk ke ruangan.
“Iya”, kataku.
“Oh, kalau gitu, ini obat yang
harus ditebus”, katanya lagi. Aku
menerima resep itu dan beranjak pergi.
“Kak, jangan pergi, Dul takut”, katanya.
Aku memandang bola matanya , ada rasa takut dan sedih.
“Kakak pergi beli obat dulu , nanti
kemari lagi”, “jangan takut , kamu aman di sini”, kataku sambil bergegas
keluar.
Waktu aku kembali Dul sudah tak ada
di ruangannya. Waktu kutanyakan pada perawat di sana, mereka bilang ada
saudaranya yang mengambilnya kembali dengan alasan tidak punya uang untuk biaya
rumah sakit. Aku tidak sempat marah dan bergegas mencari Dul ke rumahnya. Kuketuk rumah dan
kubuka tidak ada siapa-siapa di rumah
itu.
“Mas cari siapa?,”tanya perempuan
yang sedari tadi memperhatikanku.
“Cari Dul, ibu tahu?”, tanyaku.
“Oh, mereka semua pergi tadi sore ,
katanya sih mau pindah”, kata perempuan itu .
lagi.
Sial!!.
.Besok akan kucari teman-temannya saat mereka ngamen.
Minum kopi di saat pagi menjelang ,
membuat hangat dada , ditemani dengan dentingan lagu dari mini compoku di kamar
kecilku. Kuraih koran yang baru saja diantarkan loper koran. Kubuka lembaran
koran, berita korupsi saja yang terpampang di halaman muka. Tiba-tiba kulihat gambar
wajah yang sangat kukenal, bola matanya yang bulat dengan pandangan sayunya.
Kubaca perlahan berita di koran. Diketemukan
sosok mayat bocah cilik tanpa identitas hanyut di sungai Cikapundung. Aku
bergegas pergi menuju rumah sakit Hasan Sadikin untuk melihat jenasahnya. Aku
tak bisa mengeluarkan sepatah kata apapun melihat bocah cilik itu , mengenaskan
dengan tubuh penuh luka dan lebam .
“Anda keluarganya?, tanya petugas di
kamar mayat.
‘Iya”, kataku. Petugas itu
memberitahukan aku untuk menyelesaikan prosedur untuk mengambil jenasah.
Disinilah aku berdiri di onggokan
tanah yang menutupi tubuh bocah cilik dengan bola mata hitamnya, Dul.
Kulangkahkan kakiku meninggalkan sebongkah duka yang dialami bocah kecil itu.
Dan saat ini aku masih duduk terpekur , belum saja ku dapat menyelesaikan
bait-bait lagu yang sempat tertunda. Kutuliskan sekali lagi bait-bait kesedihan
yang ada di dalam bola matanya itu, kunyanyikan dalam alunan lagu yang mendayu
dan menyentuh relung hatiku. Masih sepi di sini sesepi Dul di sana tak ada yang
menemani. Hanya sepotong lagu untuknya kupersembahkan buatmu bocah kecil dengan
bola mata hitammu. DUL
2 komentar:
23 Mei 2016 pukul 17.06
Sedih.. cerpe menarik ka
24 Mei 2016 pukul 13.44
makasih mbak Cinta
Posting Komentar