Bocah Kecil

Senin, 23 Mei 2016


Gambar dari sini 
 
              Sepanjang hari itu, aku masih termenung panjang mengingat peristiwa yang masih jelas terpampang di depan mata seperti layar lebar yang  menggambarkan peristiwa scan demi scan. Bocah kecil dengan  bola mata hitam memeluk gitar kecilnya di antara kendaraan yang lalu lalang bersliweran tak henti-hentinya. Tubuh mungilnya hanya tampak setitik notkah di antara puluhan kendaraan yang tak peduli dengan sekitarnya. Masih terbayang waktu aku menolongnya saat motor menyenggolnya. Kuberlari dan kugotong tubuh mungilnya ke tepi jalan dan kuperiksa tubuhnya, hanya lecet-lecet kecil saja, beruntung nasibmu kawan. Kutanyakan padanya dimana rumahnya. Dia hanya menatap mataku dengan tatapan sayu , rasa hati tertusuk menatap bola matanya yang penuh kerinduan terhadap sesuatu yang aku sendiri tak tahu itu apa. Bocah kecil itu benama Dul. Kulihat Dul menatap ke ujung jalan dan kulihat disana ada beberapa preman yang melihat kearahku dan Dul. Dul bangun dengan tergesa dan berlari , aku terhenyak sehingga tak sempat aku mengejarnya.

            Aku masih di depan laptopku dan masih terbayang lukisan peristiwa kemarin,Gitar di tanganku dan pikiran yang masih mengembara. Ingin kutuliskan bait-bait  lagu yang menceminkan kesedihan yang terpancar di mata bulatmu., tapi dari tadi tak satupun kata-kata yang bisa kutulis di lembaran kosong kertas putih yang tergeletak di samping kopi susu hangat yang menemaniku sejak tadi pagi. Kepulan asap panasnya sudah hilang dari tadi,  Aku masih ingin bertemu lagi denganya. Kuganti bajuku dan kugunakan topi hitamku dan kacamata hitam yang bertengker di telingaku dan ku kendarai motor bututku  dengan gitarku  mengarungi jalan jahanam dengan segala polusi yang ada di sana. Kembali ke tempat di perempatan jalan Dago, ku parkir motorku di tepi jalan , ku pandangi jalan yang berdebu , masih belum terlihat bocah kecil. Saat kutengadahkan kepalaku untuk melihat ke seberang jalan. Benar saja Dul ada di sana. Kuseberangi jalan dan kudekati Dul. Hampir saja Dul lari kalau tanganku tidak cepat memegang lengannya.
            “Dul, tenang aku gak akan ngapain-ngapain kamu, aku hanya ingin berteman”, kataku sambil mengulurkan tanganku. Dul ragu-ragu dan melihat ke ujung jalan lagi dan baru Dul menyodorkan tangannya padaku. Kugenggam tangannya .
            “Aku boleh ikutan ngamen gak?, tanyaku,”nanti uangnya buat kamu”. Dul melihatku dengan tatapan aneh tapi kemudian dia menganggukan kepalanya. Aku mengambil gitarku di motorku dan mulai mengamen di lampu merah Dago.. Rasa panas di kepala dan peluh yang mengucur di tubuhku tak kugubris, niatku ingin membantu Dul. Hanya uang recehan yang kudapat dan pandangan sinis dari pengendara-pengendara itu. Tak terbayang Dul harus menjalani semua ini sendiri tanpa teman dan keluarganya.

            Waktu tengah hari kuajak Dul untuk beristirahat. Kulihat ada resto kecil di sudut jalan Dago. Kuajak Dul makan di sana. Kulihat Dul makan dengan lahap. Kasihan, mungkin Dul tidak pernah makan seenak ini sehingga begitu lahapnya dia makan.
            “Dul, kamu tinggal dimana?”, tanyaku.
            “Di belakang kebun binatang”, katanya sambil sibuk memasukan makanannya ke dalam mulut penuhnya.
            ‘Hati-hati, jangan banyak –banyak kau masukan makanan itu, nanti keselek”, kataku lagi. Dul tidak menggubrisnya, dia tetap makan dengan tergesa-gesa.
            “Kamu tinggal dengan siapa”, kataku lagi sambil mendesak agar Dul mau banyak cerita. Dul memandangku sekali lagi. Aku menatapnya dan meyakinkan dia bahwa aku orang yang pantas dipercaya. Dul lama terdiam dan akhirnya keluarlah cerita dari mulutnya. Dul tinggal bersama-sama dengan bocah lainnya di gang sempit dan rumah kecil . Mereka ditampung oleh preman dan mereka disuruh bekerja dan mereka wajib menyetorkan sebagian uang kepada preman-preman itu. Menurut Dul, kalau setoran kurang , mereka mendapatkan bogem mentah di perut mereka. Aku terhenyak mendengar penuturannya. Tiba-tiba Dul berdiri dan hendak meninggalkan aku.
            “Eh, jangan buru-buru, nanti aku belum selesai makan”, kataku.
            “Gak, nanti bang Kohir melihat aku tak ada di sana , pasti aku dimarahinya”, katanya lagi sambil bergegas ke luar. Aku hanya bisa menghela nafas. Kupandangi punggung kecilnya sampai menghilang dari pandangan mataku.

            Hampir setiap hari aku melewati jalan Dago dan masih saja kulihat Dul di sana. Sampai suatu saat aku tak melihatnya sampai sudah seminggu tak kulihat Dul di sana. Aku semakin penasaran. Aku mulai mencarinya siang itu, tapi sampai lelah kakiku berdiri , Dul tak terlihat. Aku menghampiri bocah yang sedang mengamen, waktu kutanyakan tentang Dul, yang kudapat hanya gelengan kepalanya dan dengan cepat berlalu dari hadapanku. Ternyata bocah yang lainpun tutup mulut saat kutanyakan keberadaan Dul. Kutunggu sampai senja tiba , malam berganti, bocah-bocah itu masih mengamen. Kakiku mulai terasa pegal dan perutku mulai terasa lapar tapi aku tak mau berhenti . Aku ingin tahu keberadaan Dul bocah cilik bermata  bulat yang menarik perhatianku. Saat malam sudah larut kulihat bocah-bocah itu mulai pulang . Aku mengikuti dengan jalan perlahan di belakang mereka. Benar , mereka masuk jalan yang menuju belakang kebun binatang. Dan mereka berhenti di rumah kecil yang sudah kusam. Tampak mereka menyetorkan kepada dua preman yang sudah berdiri di depan pintu. Salah satu preman tiba-tiba menatapku tajam , aku kaget dan berbalik arah dan berjalan perlahan-lahan agar tidak mencurigakan.

            Masih kulihat di perempatan Dago siang itu, tak ada Dul. Aku berbalik dan menuju gang sempit tempat rumah Dul. Kulihat dari jendela ada sesosok tubuh mungil tergeletak di tikar. Kucoba membuka pintu, ternyata tidak dikunci. Agak gelap hanya seberkas sinar matahari masuk lewat jendela. Udara lembab menyapaku saat aku masuk ke ruangan yang sangat kotor.
            “Dul, Dul....”,panggilku. Dul membalikan tubuh lemahnya. Aku kaget badannya panas , peluh menetes di dahinya dan astaga, badannya penuh memar. Aku tak mungkin menanyakan pada Dul, kuangkat tubuh lemahnya . Kupanggil taksi dan kubawa ke rumah sakit. Dul , berbaring lemah di tempat tidur dengan infus di tangannya dan luka-luka dan memarnya sudah diobati.
            “Dul, kakak pulang dulu, nanti kakak kemari lagi “, kataku.
            “Anda keluarganya?”, tanya perawat yang masuk ke ruangan.
            “Iya”, kataku.
            “Oh, kalau gitu, ini obat yang harus  ditebus”, katanya lagi. Aku menerima resep itu dan beranjak pergi.
            “Kak, jangan pergi, Dul takut”, katanya. Aku memandang bola matanya , ada rasa takut dan sedih.
            “Kakak pergi beli obat dulu , nanti kemari lagi”, “jangan takut , kamu aman di sini”, kataku sambil bergegas keluar.

            Waktu aku kembali Dul sudah tak ada di ruangannya. Waktu kutanyakan pada perawat di sana, mereka bilang ada saudaranya yang mengambilnya kembali dengan alasan tidak punya uang untuk biaya rumah sakit. Aku tidak sempat marah dan bergegas  mencari Dul ke rumahnya. Kuketuk rumah dan kubuka tidak ada siapa-siapa di rumah  itu.
            “Mas cari siapa?,”tanya perempuan yang sedari tadi memperhatikanku.
            “Cari Dul, ibu tahu?”, tanyaku.
            “Oh, mereka semua pergi tadi sore , katanya sih mau pindah”, kata perempuan itu .
lagi.
Sial!!. .Besok akan kucari teman-temannya saat mereka ngamen.

            Minum kopi di saat pagi menjelang , membuat hangat dada , ditemani dengan dentingan lagu dari mini compoku di kamar kecilku. Kuraih koran yang baru saja diantarkan loper koran. Kubuka lembaran koran, berita korupsi saja yang terpampang di halaman muka. Tiba-tiba kulihat gambar wajah yang sangat kukenal, bola matanya yang bulat dengan pandangan sayunya. Kubaca perlahan berita di koran. Diketemukan sosok mayat bocah cilik tanpa identitas hanyut di sungai Cikapundung. Aku bergegas pergi menuju rumah sakit Hasan Sadikin untuk melihat jenasahnya. Aku tak bisa mengeluarkan sepatah kata apapun melihat bocah cilik itu , mengenaskan dengan tubuh penuh luka dan lebam .
            “Anda keluarganya?, tanya petugas di kamar mayat.
            ‘Iya”, kataku. Petugas itu memberitahukan aku untuk menyelesaikan prosedur untuk mengambil jenasah.

            Disinilah aku berdiri di onggokan tanah yang menutupi tubuh bocah cilik dengan bola mata hitamnya, Dul. Kulangkahkan kakiku meninggalkan sebongkah duka yang dialami bocah kecil itu. Dan saat ini aku masih duduk terpekur , belum saja ku dapat menyelesaikan bait-bait lagu yang sempat tertunda. Kutuliskan sekali lagi bait-bait kesedihan yang ada di dalam bola matanya itu, kunyanyikan dalam alunan lagu yang mendayu dan menyentuh relung hatiku. Masih sepi di sini sesepi Dul di sana tak ada yang menemani. Hanya sepotong lagu untuknya kupersembahkan buatmu bocah kecil dengan bola mata hitammu. DUL

           

2 komentar:

Unknown Says:
23 Mei 2016 pukul 17.06

Sedih.. cerpe menarik ka

Tira Soekardi Says:
24 Mei 2016 pukul 13.44

makasih mbak Cinta

Posting Komentar