Sumber gambar di sini
Sungguh
ramai pengunjung di galeri lukis milik pak Sastro. Aku memandang sekeliling dan
kulihat Tasya anakku dengan senyumnya sedang menerangkan detail lukisan yang
dia lukis dengan kakinya. Kadang aku masih sering menteskan air mataku karena
kebanggaanku pada Tasya juga karena kesedihan bahwa di saat-saat bahagia
seperti ini Tasya tidak bisa didampingi oleh ayah kandungnya. Inilah momen spesial buat Tasya, lukisan
tunggal yang cukup bergengsi di kota Bandung.
Antusias pengunjung begitu terasa, mereka mengagumi lukisan Tasya yang
dilukis dengan kaki, ya karena Tasya tak punya lengan semenjak lahir. Aku duduk
di bagian belakang galeri dan mulai kuurut banyak peristiwa yang harus kulalui
bersama Tasya, sampai Tasya bisa sukses seperti ini. Banyak air mata yang harus
turun , banyak gelisah dan amarah yang mengikuti perjalanan hidupku bersama
Tasya. Tak pernah kubayangkan Tasya bisa berdiri di sana.
Menjelang magrib , aku mulai
merasakan perutku mulas dan semakin sering, akhirnya aku dibawa suamiku ke
rumah sakit. Entah sudah berapa lama aku tertidur dan saat kubuka mataku, aku
mencari bayiku.
“Mana bayiku,” aku bertanya pada
ibuku. Ibuku tampak sekali ragu, aku mulai berdegup kencang, apakah bayiku
meninggal??? , kok ibu tampak murung. Kulihat suamiku juga tak ada, mungkin dia
kelelahan menemaniku melahirkan.
Ibu
hanya menganggukan kepalanya. Saat itu perawat membawakan bayiku untuk disusui.
Aku melihat wajahnya, manis sekali, sungguh bayi perempuan yang mirip dengan
ayahnya. Kulihat ibu menitikan air
matanya, aku sendiri masih heran, bayiku sungguh manis. Waktu aku membuka bedongnya aku ternganga saat
kulihat bayiku tak mempunyai lengan ,
dua-duanya.
Belum sembuh aku dari kesedihan
melihat takdir yang kudapat dari Allah, mas Priyo meninggalkanku begitu saja. Aku tak mengerti , mungkin dia malu anaknya
cacat. Tapi dengan keikhlasanku aku
mendidik Tasya untuk mandiri dan mendorong agar dia percaya diri dan
membimbingnya untuk tahan mental terhadap ejekan banyak orang.
“Mama, lihat lukisanku,” Tasya kecil
memperlihatkan lukisannya yang dia buat dengan kakinya, karena segala hal yang
harus dikerjakan dengan tangan dia kerjakan dengan kaki. Aku takjub dengan
luksiannya. Aku sering kirim lukisan-lukisannya dan Tasya juga sering kuikutkan
lomba. Sampai ada pemilik galeri pak Sastro yang mau mendanai pameran tunggal
Tasya.
“ Mama lihat Tasya dapat piala dan
uang,” Tasya selalu gembira saat dia selalu menang dalam lomba menggambar. Aku
bersyukur Tasya sudah mendapatkan rasa percaya dirinya, dia tak minder dan bisa
membuktikan pada semua orang kalau dia mampu walau cacat. Tapi kadang aku
melihat kemurungan di wajah Tasya.
“Tasya kangen papa, mama,” selalu
dia mengatakan itu padaku, aku hanya dapat menghiburnya kalau suatu saat
papanya akan datang untuknya.
Kini kebahagiaanku lengkap sudah ,
keikhlasanku menerima takdir kalau Tasya cacat telah membuahkan kebahagiaan
luar biasa. Aku bangga dengan Tasya, gadis cacat yang punya talenta luar biasa.
“Mama,” kudengar suara Tasya. Aku
memeluknya erat.
4 komentar:
8 Januari 2018 pukul 15.55
�� Hiks, jadi ingat anakku yg abk, mbak. Tahunya setelah dia agak gedean, gak bisa bayangin kalo tahunya habis lairan kayak gini.
9 Januari 2018 pukul 11.21
ini juga aku tulis melihat banyak ibu hebat yg bisa membuat anak abk percaya diri dan punya preastasi, aku selalu salut, lah aku yg punya anak normal saja sering kesulitan , tp mereka bisa dg anak abk, salut
9 Januari 2018 pukul 22.13
Mewek bacanya Mbak...
Selalu kagum dengan Ibu yang bisa ikhlas hati seperti ini. Sulung saya ada autis ringan, jadi sedikit beda dengan temannya..Itu saja saya sudah susah menata hati hiks! Padahal belum seberapa dibanding yang lainnya
10 Januari 2018 pukul 11.26
semoga mbak dian diberi semangat dan sabar dlm mendidik anaknya, banyak ibu yg semangat dan sabar dan anak yg abk mereka bisa punya ptestasi atau mampu mandiri, semangat ya mbak
Posting Komentar