Dentingan Piano

Senin, 19 Februari 2018



Gambar dari sini 
 

        Masih kutatap foto yang barusan mas Sapto berikan padaku , sudah keduakalinya mas Sapto meminta ijinku untuk menikah lagi. Wajah perempuan ini yang telah merebut sebagian hati atau bahkan seluruh hatinya dariku. Kurasakan air mataku terus mengalir tak dapat kubendung lagi, apa artinya dulu kau nyatakan cintamu padaku ,kalau sekarang kau mencari hati lain untuk kau labuhkan
            “Aku tunggu jawabanmu nanti malam,” mas Sapto pamit untuk bekerja, segera cepat kuhapus bulir air mata yang sempat turun tadi, kuantarkan sampai depan rumah. Kulangkahkan kakiku , aku harus menguatkan hatiku untuk menjawabnya. Aku sangat mencintai mas Sapto bahkan seluruh hatiku sudah kuserahkan padanya, tapi sekarang ada riak-riak rasa sakit yang harus kutelan saat hatinya diberikan untuk perempuan lain .

            Aku duduk di depan piano dan mulai menarikan jemariku di atas tuts –tuts, suara dentingan piano  membuai aku dalam mimpi indah saat aku bertemu mas Sapto lima tahun yang lalu, sampai saat ini hanya suara dentingan piano inilah satu-satunya penghibur diriku. Kini di saat ada rasa nyeri di hatiku kepada tuts-tus piano inilah aku mengadu, dentingan piano inilah yang menghibur hati ini. Tiba-tiba aku merasakan tuts-tuts seperti melompat-lompat, aku tak bisa menekannya, mengapa tuts-tutsnya harus meloncat-loncat seperti itu, aku berusaha menekannya lagi tapi tak bisa , kepalaku mulai pening dan tiba-tiba semua terlihat putih dan memudar dan menghilang dari pandanganku. Saat aku terbangun aku sudah ada di rumah sakit dan mama sedang menatapku dengan wajah cemasnya.
            “Kamu baik-baik saja kan Lira? Tadi bik Ijah menelpon mama kamu pingsan di depan piano,” mama mengusap kepalaku. Ada rasa hangat mengalir ditubuhku, seperti ada tali yang menghubungiku dengan mama. Aku hanya mengangguk, aku tak mau mama terlalu mengkhawatirkan aku, biarlah ini menjadi rahasia hatiku.
            “Aku baik-baik saja ma, tapi entah mengapa sudah beberapa hari ini aku selalu pusing,tapi mama belum telpon mas Sapto kan?” Mama menggelengkan kepalanya. Hasil dari pemeriksaan dokter sungguh membuatku terkejut, ternyata aku hamil.Astaga, di dalam rahimku tumbuh benih cinta yang akan menyemarakan rumahku. Seharusnya aku bahagia karena sudah hampir lima tahun sudah pernikahanku aku belum mendapatkan momongan, tapi kini di saat rahimku berisi bakal anakku kelak , rasa sakit kembali menyeruak di hatiku yang masih terluka. Apa yang harus kujawab nanti malam????  Kembali mama menatapku saat bulir air mata turun di pipiku.
            “Lira, ada apa , kau menangis? Seharusnya kau bersyukur nak, kau akan menjadi ibu, “ mama merangkulku , aku hanya menangis di pelukan mama, hanya tangis yang dapat mengurangi sedikit kesedihanku, kueratkan kembali rangkulanku pada mama, aku tak ingin melepaskannya , aku ingin kembali ke pelukannya yang selalu memberikan rasa aman bagiku.
           
            Sore itu aku pulang dari rumah sakit dijemput mas Sapto, aku berusaha tegar di hadapannya, aku bukan perempuan cengeng, aku perempuan tegar yang siap memberikan atas pertanyaan yang belum sempat aku jawab karena urusan hati yang kadang tak bisa diprediksi.Kubaringkan tubuhku sejenak sebelum aku menyediakan makan malam .
            “Sudah beristirahatlah dulu, biar bik Ijah saja yang menyiapkan makan malamnya,” mas Sapto menyelimutiku. Mungkin dulu aku akan merasakan kehangatan saat mas Sapto memberikan perhatian untukku tapi saat ini ada rasa yang berbeda di hatiku, sakit sekali, aku membayangkan hal yang sama akan dilakukan mas Sapto untuk perempuan lain selain aku. Aku mencoba untuk memejamkan mataku , sangat sulit , akhirnya aku melangkahkan kakiku ke depan piano dan mulai menarikan kembali jemariku di tuts-tuts dan nada-nada sedih meluruhkan hati ini. Mas Sapto merangkulku dalam pelukannya erat sekali,aku harus mengatakannya sekarang.
            “Mas, aku mengijinkanmu untuk menikahi perempuan itu.” Tak menyangka aku dengan mudahnya mengatakannya tapi hanya sepotong luka yang tetap ada di hati yang akan meninggalkan jaringan parut .
            “Dea, bukan perempuan itu,” tegur mas Sapto dan kurasakan pelukannya semakin erat.  Mau Dea atau siapalah nama istrinya yang baru, aku akan tetap menyebutnya perempuan itu.
            “Terimakasih atas pengertianmu Lira,” dikecupnya dahiku dan malam itu terasa sakit saat aku mulai jatuh dalam dekapan panjangnya yang hanya menyisakan perih .

           
            Pagi itu kembali kumainkan tuts-tuts piano yang berdenting perlahan sesuai dengan irama hatiku, kepasrahan seorang istri yang harus merelakan suaminya yang sangat dicintainya untuk berbagi cinta . Dentingan piano itu membuat hatinya kembali tenang , terus aku mainkan sampai hati ini tenang dan bayang-bayang perempuan itu masih ada dalam pikirannya. Terus membayanginya diiringi  dengan suara dentingan piano yang semakin melembut dan denyutan dalam rahimku seperti suara dentingan piano di telingaku, bercampur jadi satu yang membuaiku dalam mimpi yang panjang. Tenang tak ada suara lagi.
            “Lira, Lira,” mas Sapto terus memanggilku, aku hanya diam dalam Diam yang panjang.Diam selamanya. Aku akan bertahan demi cintaku padamu .

2 komentar:

Adventure Senja Says:
24 Februari 2018 pukul 11.44

Sangat menyentuh...terus berkarya mba 😊

Tira Soekardi Says:
24 Februari 2018 pukul 11.52

makasih mbak desi

Posting Komentar