Cincin Bertuah

Senin, 01 April 2019


Gambar dari sini 
 

Malam itu aku masih belum bisa tidur, di luar sana terdengar suara kodok benyanyi bersahut-sahutan, sementara gesekan dedauan terdengar seperti suara bisikan yang melelehkan jiwa. Aku masih terngiang omongan eyang tadi siang, memang sudah dua malam aku menengok eyang di kampung. Apa ya maksudnya nenek kalau turunannya harus mempunyai pasangan hidup sesuai dengan  kecocokan dengan cincin bertuah. Aku belum mengerti apa yang ada dipikiran eyang, apa nenek kurang setuju dengan hubunganku dengan mas Doni.  Mas Doni bagiku adalah  pria yang memang pantas menyunting aku, aku sudah cukup tahu betul bagaimana mas Doni, bagiku mas Doni adalah pria yang tepat bagiku.

                Aku ingat pertemuanku dengan mas Doni karena  ketidaksengajaan saat aku sedang ada di sebuah toko buku.  Saat itu aku membaca buku yang sama dengannya dan tidak tahu mengapa mas Doni malah mengajakku untuk sedikit berdiskusi tentang buku itu, padahal belum saling kenal dan belum tahu nama masing-masing. Baru saat hendak pulang , mas Doni memperkenalkan diri dan meminta nomer handphoneku. Ternyata pertemuan demi pertemuan membuat kedekatan yang berubah menjadi benih-benih cinta yang tumbuh seperti pohon kecil. Siraman cinta setiap detiknya membuat cintaku bertumbuh dan menambah kedewasaanku. Sudah hampir tiga tahun jalinan cinta terajut dalam suka dan duka yang membuat aku dan mas Doni tahu betul watak masing-masing. Sudah melewati perjalanan panjang dengan liku-liku yang sempat menghancurkan tapi kekuatan cintalah yang menopang hubungan ini menjadi langgeng. Kini ku hanya tinggal menanti saat-saat tepat untuk dipinang keluarga mas Doni.

                “Mir, Mira.....bangun, gak baik anak gadis bangun siang,” kata eyang yang mulai menggedor-gedor pintu kamar. Dengan malas aku keluar dari kamar.
                “Asataga, nduk, kok ya baru bangun , ini sudah siang, cepat mandi,” tegur eyang.
                ‘Iya, eyang,” aku beranjak ke kamar mandi, sebetulnya malas sekali,setelah malam aku sulit tidur, padahal aku ke rumah eyang untuk beristirahat, eh malah disuruh bangun pagi setiap hari, tahu begini aku di rumah saja. Air dingin menyegarkan tubuhku . Ah, besok pagi aku pulang saja daripada di sini tdak bisa santai. Selesai sarapan, aku mau jalan-jalan dulu ke lembah dekat bukit dekat rumahnya kepala desa, tapi eyang sudah menyuruhku duduk saja , katanya sih ada yang mau dibicarakan.
                “Nanti saja eyang, aku mau jalan-jalan dulu mumpung masih pagi,’ kataku .
                “Tadi katanya besok mau pulang, kapan lagi eyang bisa bicara denganmu?
 tanyanya sambil menarik aku ke ruang tengah.
                “Ada apa eyang?” tanyaku. Eyang menunjukan sebuah cincin,  cincinnya terbuat dari emas agak tebal dan bagian tengahnya berbentuk bulat dan ada batu saphir merah dan dikelilingi batuan-batuan yang lebih kecil. Cukup lama eyang memandang cincin tersebut sebelum beliau bercerita banyak tentang cincin itu. Menurut eyang, cincin ini sudah turun temurun dari jaman neneknya dulu. Setiap generasi cincin itu akan berpindah tangan terus  dan sekarang ada di tangan eyang. Cincin ini bertuah. Aku mengambil cincin itu dari tangan eyang, tapi cincin itu sama saja dengan cincin yang lain , apanya yang bertuah ada-ada saja.
                “Pasti kamu gak percaya kan?” tanya eyang.
                “Iya, masa ada cincin bertuah dan ini sama dengan cincin yang lain , gak ada istimewanya,” kataku lagi.
                “Itu karena kamu belum membuktikannya,” katanya  lagi. Cincin ini bisa menentukan jodohmu dan tak pernah salah, mulai dari eyang buyutmu sampai ibumu.
                “Caranya seperti apa?” tanyaku. Ibumu dulu juga menggunakan cincin ini sehingga berjodoh dengan ayahmu, begitu juga dengan eyang.  Mudah saja kalau kamu mau tahu jodohmu, tinggal suruh dia memakai cincinmu, kalau dia berjodoh denganmu cincin itu akan pas di jari manisnya. Aku hanya tertawa dan yang membuatku heran mengapa ibuku juga menggunakan cincin ini untuk menentukan jodoh yang cocok untuknya.
                “Kamu jangan tertawa, bawa ini dan gunakan dan bila sudah bertemu dengan jodohmu , kau kembalikan cincin itu ,” kata eyang. Akhirnya cincin itu kubawa juga pulang.

                “Gimana Mir istirahatnya di rumah eyang?” tanya mas Doni.
                “Ya , gitulah eyang , biasa nenek-nenek cerewet,” kataku. Aku langsung ingat cincin merah saphir itu, aku menyuruh mas Doni memakainya di jari manisnya, tapi ternyata longgar. Waduh, apa aku gak berjodoh dengan mas Doni ya, pikirku dalam hati.
                “Longgar ah, ini memangnya punya siapa?” tanya mas Doni. Aku hanya bilang kalau ini punya eyang tanpa bilang kalau cincin ini bisa menunjukkan jodohku, bisa-bisa aku ditertawakan.  Tapi justru karena cincin itu tidak pas dengan mas Doni  aku mulai ragu-ragu. Dan keraguanku semakin memuncak saat aku melihat mas Doni di mall  berdua dengan wanita yang aku tidak mengenal sebelumnya dan astaga mesra sekali . Aku jadi enggan mendekatinya dan aku cepat-cepat pulang . Tidak saat itu saja aku melihat mas Doni dengan wanita yang sama, beberapa kali aku melihatnya masih berdua saja. Aku semakin ragu dan aku makin percaya dengan cincin itu. Apa memang mas Doni bukan jodohku?  Aku  mulai  menghindar saat mas Doni mengajakku pergi atau sekedar datang ke rumahku. Ada saja alasanku agar mas Doni tidak datang ke rumah atau mengajakku jalan.  Ibuku juga merasa aneh mengapa aku tiba-tiba selalu menghindar dari mas Doni, tapi selalu kujawab tidak ada apa-apa.

                Hampir lima  bulan ini aku selalu menghindar dari mas Doni, hatiku mulai merasakan rindu dengan perhatian dan kasih sayangnya tapi saat aku mengingat mas Doni dengan wanita lain dan cincin itu, aku mulai menguatkan diri untuk melupakannya. Aku mulai menyibukan dengan tugas akhirku di kampus. Hari hariku hanya diisi  pergi ke perpustakaan dan berkutat dengan laptopku. Aku sendiri sudah mulai kayak zombie  manusia yang tidak punya rasa. Kamarku berantakan dan buku-buku berserakan dimana-mana.  Tapi lama kelamaan hatiku makin hancur luluh tanpa sisa , sampai akhirnya aku jatuh sakit.
                “Mira, ada apa , coba kamu cerita sama ibu,” kata ibuku,” kasihan nak Doni terus mencarimu sementara kamu mengabaikannya.” Ibu mulai mengompres dahiku terus menerus karean suhu tubuhku tinggi..Aku kaget mengetahui kalau mas Doni masih mencariku, terbersit rinduku padanya.
                “Aku, gak apa-apa kok,” kataku.
                “Gak, apa-apa gimana , lihat dirimu, tubuhmu gak keurus, wajahmu suram terus,’ ibuku mulai mendumel. Aku mulai menceritakan kejadian ms Doni dengan  wanita lain dan cincin pemberian eyang .
                “Astaga Mira, kamu percaya dengan cincin itu?” tanya ibu,”ibu gak nyangka.”
                “Tapi eyang bilang , ibu juga menggunakan cincin itu itu untuk menentukan jodoh ibu,” kataku lagi.
                ‘Ya, enggaklah, ibu memang dipinjami cincin itu tapi tak pernah digunakan, untuk apa, toh ibu yakin dengan cinta ayahmu,” katanya lagi. Aku mulai merasa sedih dan malu pada diriku sendiri, mengapa  harus percaya dengan cincin bertuah tersebut.
                “Tapi mas Doni pergi dengan wanita lain bu,” kataku.
                “Astaga  Mir, kalau ada apa-apa ya ditanyakan langsung toh ,” kata ibu,” Doni sempat bercerita kalau sepupunya dari Amerika datang mengunjunginya.” Aku tak kuasa menahan tangisku, betapa naifnya aku begitu percaya dengan cincin  bertuah eyang dan tak pernah sekalipun menanyakan wanita itu pada mas Doni.
                “Sudah , kau istirahat biar cepat sembuh dan minta maaflah pada Doni, dia selalu menunggumu,’ kata ibu sambil meninggalkanku dalam penyesalan yang panjang.

                Tak terasa bebanku hilang setelah pintu maaf buatku diberikan mas Doni. Kurasakan getaran yang sama saat pertama kali berjumpa dengannya . Kini aku berada dalam pelukannya . Aku merasakan cintanya yang tulus untukku, untuk apa aku meragukannya lagi, semua sudah terbukti cinta mas Doni buatku memang tulus . Aku kembalikan cincin bertuah  pada eyang dan aku katakan cincin itu sangat pas di jari manis mas Doni .  Cinta tulus mas Doni tidak pernah berubah sampai kini.

0 komentar:

Posting Komentar