Tanda Dua Hati Di Pohon

Senin, 15 April 2019


Gambar dari sini 


Kembali aku ada di bukit saat senja tiba, masih seperti dulu suasana yang temaran dengan jingga yang merona ditemani dengan awan-awan yang berarak-arak mengikuti arah angin.Pergi entah kemana , selalu mengekor arah angin. Masih kutatap langit yang semakin kelam , angin malam mulai terasa menusuk pori-pori kulitku. Suara gesekan dedaunan seperti suara-suara yang mendesir di telinga, kadang aku merasakan kengerian apalagi kalau angin mulai keras menghembus. Sudah hari kelima aku si atas bukit , sambil menatap kota Cirebon dari ketinggian tapi kau masih saja belum kunjung datang untuk menepati janji kita bersama.
            “Jenar, yuk pulang sudah hampir malam,” mamaku mendorong kursi rodaku menjauh dari bukit di daerah Beber. Aku masih menyempatkan diri untuk menoleh kembali untuk memastikan kalau Syarif memang tak datang.
            “ Sudah Jenar, untuk apa lagi kamu menanti di sini, Syarif sudah melupakan janjinya, lebih baik kau kembali lagi saja ke Bandung ,nak,” tegur mama. Aku masih terdiam lama , ah tak mungkin Syarif melanggar janjinya, dulu begitu gigih dia menyatakan janjinya untuk bertemu lagi di bukit ini pada tanggal 15 Juli , lima tahun setelah perpisahan kami berdua. Aku masih mengingatnya , dan peristiwa itu masih bagus terekam dalam memoriku yang seringkali muncul di saat-saat aku sudah mulai terlelap dalam tidurku. Akhirnya aku selalu ingin tidur agar bisa selalu bertemu denganmu dalam mimpi-mimpi panjangku.
            “Besok aku harus kemari lagi, mah, gak mungkin Syarif melupakan janjinya, aku percaya itu,” tukasku mantap. Kupandang langit yang mulai gelap, mama cepat sekali mendorong kursi rodaku menuju tempat parkir mobil.


            Kembali sore itu, aku sudah duduk di atas bukit sambil menatap kota Cirebon dari kejauhan. Belum sore benar, belum ada warna jingga di langit, kusuruh pak Kosim supirku untuk menunggu saja di parkiran.
            “Non, gak apa-apa di sini sendirian?” aku menggelengkan kepalaku dan menghalaunya untuk segera pergi, aku masih ingin menguntai banyak cerita di bukit ini lima tahun yang lalu.
            “Mau jagung bakar ,nok?” tanya pedagang jagung bakar.
            “Dua saja.” Kutatap pemadangan kota, tampak rumah-rumah yang hanya terlihat seperti notkah dari bukit ini. Aku mulai membayangkan dulu , lima tahun yang lalu, ada sejuta kenangan yang tersisa di bukit ini. Syarif adalah kawan sepermainanku di komplek, tapi Syarif tinggal di kampung di belakang komplek perumahanku. Walau dia anak kampung tapi anaknya sopan dan tahu membawakan diri. Semua warga komplek tak pernah mengeluh , bahkan mereka sering kali memuji kebaikan dan sopan santun yang diperlihatkannya. Entah mengapa lama-lama aku mulai mengaguminya, dan aku lupa sejak kapan aku mengaguminya. Semua berlangsung seperti cerita yang mengalir begitu saja, tak ada yang istimewa , selalu ada canda tawa di antara kita.
            “Aduh, kamu jahat!” teriakku saat aku dijahili oleh Doni tapi Syarif akan selalu membela dan menjagaku dari teman lainnya yang suka usil padaku. Saat anak-anak aku merasakan kebanggaan karena aku selalu dibela oleh Syarif dan dia dengan setia menjagaku. Saat remaja tiba , sifat melindunginya semakin tampak dan aku mulai merasakan desir yang berbeda saat berdekatan dengannya.Aku merasakan kasih yang diberikan Syarif tapi aku sendiri tak tahu apakah kasih yang dia berikan hanya sebataas teman atau lebih dari itu. Aku tak berani untuk menanyakannya, dan kulihat Syarifpun tak pernah mengatakan apa-apa padaku.  Dan tempat yang paling kami sukai ya dibukit inilah, duduk berdua di bangku dan memandang senja di sore hari sambil menatap kota dari kejauhan.
            “Lihat Jenar , jingga itu selalu mewarnai langit senja , aku suka sekali dengan senja , selalu mengingatkan pada nuansa sendu,” tukasnya sambil memandang langit.
            “Ada apa Jenar?” tanyanya, aku menunuduk malu karena aku baru saja terpergoki sedang menatap wajahnya. Memang Syarf bukan pemuda yang ganteng tapi di wajah teduh dan kedewasaannya membuatku begitu nyaman di sisinya. Garis-garis wajahnya yang keras memperlihatkan kemauan yang keras.  Sampai suatu saat perpisahan harus terjadi, aku sungguh tak mau berpisah dengannya, apalagi tak pernah ada kata cinta yang keluar dari mulut Syarif sedangkan aku begitu mencintainya dengan kesungguhan hatiku.
            “Jenar, aku akan pergi ke Taiwan unuk bekerja , aku harus mengumpulkan uang buat modal usahaku kelak, lagipula kamu juga harus kuliah di Bandung.”  Aku memandang jauh ke warna jingga di sana, dan tampak pelangi di sebelah barat yang mulai memudar karena hujan sudah berhenti dari tadi.
            “Kamu mau tidak berjanji padaku untuk tak pernah melupakanku?” tanyaku. Syarif memandangku lama dan hanya anggukan kecil saja yang kudapatkan. Terasa air hujan mulai kembali turun , gerimis sudah membasahi wajahku.
            “Yuk, pulang nanti kamu sakit,” selanya dan menggamit tanganku, tapi kutarik tanganku dan aku berlari ke sebuah pohon . Kuambil sebatang ranting dan kugoreskan gambar  dua hati pada batangnya dan kultiskan nama Jenar dan Syarif.
            “Untuk apa itu?” tanyanya sambil melihat gambar dua hati di batang pohon yang sudah kubuat dengan sepenuh cintaku untuknya. Aku menyuruhnya datang lagi kemari setelah lima tahun berpisah. Engkau menyanggupinya dan tanggal 15 juli lima tahun kemudian kami akan bertenu lagi di pohon ini yang sudah kuberi tanda dua hati. Artinya aku mungkin sudah tamat kuliahku dan Syarif sudah cukup waktu untuk mengumpulkan uang untuk modalnya. Aku masih menangis saat Syarif mengajakku pulang , walau hujan semakin besar aku masih ingin tetap bersamanya. Aku merasakan hangatnya pelukanmu , walau tak pernah sekalipun Syarif mengatakan kalau dia cinta padaku, tapi aku punya keyakinan sendiri kalau Syarif cinta padaku. Tidak mungkin kalau dia tidak cinta padaku kalau dia sangat begitu memperhatikan aku seperti putri raja. Hujan semakin deras, aku basah kuyup dan kedinginan dalam pelukan Syarif yang membawaku pulang ke rumah. Itu dulu lima tahun yang lalu. Kini sudah lima tahun , tapi aku belum melihat Syaruf datang menemuiku.

            Aku mendongak kaget saat ada yang menyentuh bahuku , dan aku melihat siapa yang menepuk bahuku, ternyata bukan Syarif. Seorang pemuda yang kemudian duduk di sebelahku.
            “Jenar?, menunggu Syarif?” tanyanya . Aku menoleh cepat ke arah pemuda itu, mengapa dia tahu kalau aku menunggu Syarif.
            “Tody,” dia memperkenalkan dirinya , aku ragu-ragu menyambut uluran tangannya, wajahnya lebih tampan dibanding wajah Syarif dan belum sempat Jenar bicara, Tody sudah berbicara duluan.
            “Apa aku lebih tampan dari Syarif?” tanyanya sambil menggodaku, aku mulai cemberut mendengar ocehannya.
            “Bercanda saja, Syarif begitu mencintaimu, Jenar.” Aku menatapnya dan aku ingin sekali mendengarkan lagi apa yang mau Tody katakan padaku. Syarif bekerja di pabrik rakitan mobil di Taiwan bersamaku, bahkan dia sekamar denganku di kontrakan kecil. Kau tahu , dia selalu menceritakan tentang kamu dan betapa dia mencintaimu. Makanya kulihat dia begitu bekerja keras demi bisa mengumpulkan uang agar dia bisa kembali padamu. Syarif tak pernah sekalipun menghambur-hamburkan uangnya untuk yang tak perlu, dia hidup prihatin , sekalipun dia tak pernah menonton atau apapun yang menurutnya akan mengurangi tabungannya. Aku sering membujuknya untuk sekali-kali nonton atau pergi ke kafe , selalu saja ajakanku ditolaknya. Sampai suatu saat dia selalu bilang padaku kalau dia sangat merindukanmu. Hampir setiap hari fotomu selalu dia pegang dan ditatapnya , sampai aku takut sendiri  kalau-kalau Syarif jadi gila karena memikirkanmu. Aku tersenyum geli mendengar cerita Tody. Nah, herannya aku juga tak tahu apa ini isyarat dia mau pergi atau tidak aku juga tak mengerti karena suatu sore dia menyerahkan amplop yang berisi uang dan disuruhnya aku memberikan padamu tepat tanggal 15 Juli tepat lima tahun setelah kalian berpisah. Tody terdiam lama, aku masih menunggu ceritanya dengan banyak pertanyaan di benakku
            “Lalu?” Lalu, ....esoknya Syaruf mendapat kecelakaan, karena dia kurang hati-hati menjalankan mesin dia terpental masuk mesin yang masih berputar dan saat itu juga Syarif meninggal di tempat kejadian. Aku terpaku lama, jadi ini akhirnya aku harus kehilangan kekasihku. Perlahan air mataku mengalir tetes demi testes yang semakin deras dan membuatku sesenggukan . Tody hanya terdiam lama dan menyerahkan amplop isi uang padaku.
            “Ini uang hasil kerja Syarif, dia ingin kamu mengambilnya.” Tody menyerahkan amplop itu dan kupegang erat amplop itu. Senja mulai menjingga , pemandangan yang paling disukai Syarif , kalau saja dia masih ada pasti tanganku sudah digenggamnya dan mulai menikamti senja sampai warna jingga menghilang diganti dengan pekatnya malam. Aku masih terus menangis, sebagian jiwaku seperti menghilang , mungkin kau bawa pergi ke sana Syarif. Aku rindu sekali padamu, masihkah aku sanggup melihat senja setelah kamu gak ada???? Entah mengapa aku tak mau lagi melihat senja , itu semua mengingatkanku padamu Syarif. Aku benci senja , aku harus pulang.  .
            “Nok, sudah malam nanti  dicari ibu,” tegur pak Kosim.
            “Terimakasihh kamu mau mengantarkan amplop ini untukku,” aku memberi salam padanya dan pak Kosim mendorong kursi rodaku.

            Sungguh sulit untuk melupakan suasana senja yang selalu mengingatkanku pada Syarif. Kini senja seperti momok yang menakutkan bagiku, banyak kenangan saat senja mulai tiba di bukit sana yang akhirnya membuatku tak sanggup lagi melangkahkan kakiku ke sana. Lama aku terpuruk dalam kesedihan sampai satu titik aku mulai mengikhlaskan semuanya. Memang ini jalan yang terindah bagiku, toh kalau Syarif masih hidupun belum tentu mau menerimaku dengan keadaan sebagai gadis lumpuh tidak seperti dulu. Semua itu sudah menjadi rencanaNya yang terindah untukku!

1 komentar:

App Trading Says:
15 April 2019 pukul 22.50

Ceritanya bagus sekali, saya juga ikut tersentuh. Lanjutkan berkaryanya

Posting Komentar