Coretan Kaki

Senin, 16 September 2019


Gambar dari sini


Sungguh ramai pengunjung di galeri lukis milik pak Sastro. Aku memandang sekeliling dan kulihat Tasya anakku dengan senyumnya sedang menerangkan detail lukisan yang dia lukis dengan kakinya. Kadang aku masih sering menteskan air mataku karena kebanggaanku pada Tasya juga karena kesedihan bahwa di saat-saat bahagia seperti ini Tasya tidak bisa didampingi oleh ayah kandungnya.  Inilah momen spesial buat Tasya, lukisan tunggal yang cukup bergengsi di kota Bandung.  Antusias pengunjung begitu terasa, mereka mengagumi lukisan Tasya yang dilukis dengan kaki, ya karena Tasya tak punya lengan semenjak lahir. Aku duduk di bagian belakang galeri dan mulai kuurut banyak peristiwa yang harus kulalui bersama Tasya, sampai Tasya bisa sukses seperti ini. Banyak air mata yang harus turun , banyak gelisah dan amarah yang mengikuti perjalanan hidupku bersama Tasya. Tak pernah kubayangkan Tasya bisa berdiri di sana.

            Menjelang magrib , aku mulai merasakan perutku mulas dan semakin sering, akhirnya aku dibawa suamiku ke rumah sakit. Entah sudah berapa lama aku tertidur dan saat kubuka mataku, aku mencari bayiku.
            “Mana bayiku,” aku bertanya pada ibuku. Ibuku tampak sekali ragu, aku mulai berdegup kencang, apakah bayiku meninggal??? , kok ibu tampak murung. Kulihat suamiku juga tak ada, mungkin dia kelelahan menemaniku melahirkan.
Ibu hanya menganggukan kepalanya. Saat itu perawat membawakan bayiku untuk disusui. Aku melihat wajahnya, manis sekali, sungguh bayi perempuan yang mirip dengan ayahnya.  Kulihat ibu menitikan air matanya, aku sendiri masih heran, bayiku sungguh manis.  Waktu aku membuka bedongnya aku ternganga saat kulihat bayiku tak mempunyai  lengan , dua-duanya.

            Belum sembuh aku dari kesedihan melihat takdir yang kudapat dari Allah, mas Priyo meninggalkanku begitu saja.  Aku tak mengerti , mungkin dia malu anaknya cacat.  Tapi dengan keikhlasanku aku mendidik Tasya untuk mandiri dan mendorong agar dia percaya diri dan membimbingnya untuk tahan mental terhadap ejekan banyak orang.
            “Mama, lihat lukisanku,” Tasya kecil memperlihatkan lukisannya yang dia buat dengan kakinya, karena segala hal yang harus dikerjakan dengan tangan dia kerjakan dengan kaki. Aku takjub dengan luksiannya. Aku sering kirim lukisan-lukisannya dan Tasya juga sering kuikutkan lomba. Sampai ada pemilik galeri pak Sastro yang mau mendanai pameran tunggal Tasya.
            “ Mama lihat Tasya dapat piala dan uang,” Tasya selalu gembira saat dia selalu menang dalam lomba menggambar. Aku bersyukur Tasya sudah mendapatkan rasa percaya dirinya, dia tak minder dan bisa membuktikan pada semua orang kalau dia mampu walau cacat. Tapi kadang aku melihat kemurungan di wajah Tasya.
            “Tasya kangen papa, mama,” selalu dia mengatakan itu padaku, aku hanya dapat menghiburnya kalau suatu saat papanya akan datang untuknya.

            Kini kebahagiaanku lengkap sudah , keikhlasanku menerima takdir kalau Tasya cacat telah membuahkan kebahagiaan luar biasa. Aku bangga dengan Tasya, gadis cacat yang  punya talenta luar biasa.
            “Mama,” kudengar suara Tasya. Aku memeluknya erat.

0 komentar:

Posting Komentar