Dua Cinta

Sabtu, 11 Januari 2020


Sumber gambar dari sini 
 

Masih jauh perjalanaanku pulang ke desa Baturaja, Garut. Sebetulnya aku agak malas , tapi ibu dengan caranya menyuruhku untuk pulang ke kampung. Aku sudah tahu apa yang akan ditanyakan ibu, pasti tentang hubunganku dengan mas Priyo. Masih sama jalan kampung ini , dengan pemadangan yang tak pernah berubah , di kejauhan tampak hijaunya sawah dan ladang-ladang . Aku membayangkan aku berlari-larian di pematang sawah dan mengambil belut bersama-sama anak-anak yang lain. Indahnya masa-masa kanak-kanakku , penuh dengan keceriaan dan bila tiba sore hari nini akan bercerita dongeng Kancil dan Pak Tani. Ibu pasti menyediakan goreng singkong atau ubi goreng . Di saat yang sama aki akan melap keris saktinya, bapak duduk membaca koran .
            “Bu, habis ini kemana,” tanya supirku. Aku melihat ke depan, ternyata sebentar lagi sudah sampai.
            “Dari pertigaan , belok kanan dan ketemu mesjid belok ke kiri, rumah bercat hijau,pak,” aku menerangkan . Kutatap keluar jendela banyak anak berlari-larian dan sebagian laki-laki bermainan layangan. Tampaklah rumah hijau yang penuh kenangan manis . Aku turun . Ibu berlari menyambut dan memelukku erat.
            “Bu, aku baik-baik saja,ibu tak perlu khawatir.” Aku menatap wajah tuanya, rambutnya sudah banyak memutih, semenjak bapak meninggal aku mengajaknya tinggal di Bandung tapi ibu menolaknya. Ibu lebih suka tinggal di kampung dan ibu tidak mau jauh dari makam bapak.
            “Tapi , kamu tampak kurus Jenar,” ibu menatap tajam ke arahku, aku gelisah dengan tatapan ibu, aku tak bisa berbohong dengan ibu.
            “Bu, aku tidur dengan ibu saja,” ibu mengangguk . 

            Pagi itu aku menemani ibu ke pasar desa yang hanya ada setiap hari Senin dan Kamis. 
            “Wilujeng enjing, bu Asep,” sapa warga desa saat berpapasan. Memang begitulah etika di kampung , saling menyapa walau tak saling mengenal, beda sekali dengan di kota yang elu-elu , gue-gue.  Wah, ramai sekali pasar di kampung, aku duduk di tukang jualan serabi , biarlah ibu belanja sendiri. Hem enak sekali serabi hangat dan segelas kopi hangat.
            “Jenar, sudah minum kopinya, ibu sudah selesai belanjanya,” ibu menarikku
            “Lihat, ibu beli apa?” tanyanya. Aku melihat belanjaannya, aku terbelalak melihat begitu besar ikan mujairnya. Aku sudah membayangkan pesmol mujair buatan ibu yang tak ada yang bisa menandinginya. Itulah ibu!

            Aku membiarkan ibu dengan keasikan masak kesukaanku, aku memilih berjalan-jalan . Tak terasa aku sampai di perbukitan yang terlihat lebih gersang dibandingkan dulu yang masih menghijau dan sungai masih mengalir dengan bebatuan yang besar. Aku ingat sekali saat mas Priyo melamarku di sini, di keheningan bukit dengan gemerciknya air.
            “Jenar,” mas Priyo menyematkan cincin di jari manisku.  Dan malam itu mas Priyo memintaku pada bapak dan ibu.
            “Bagaimana Jenar, bapak dan ibu terserah kamu,” bapak menatapku, bapak memang tak suka memaksakan kehendaknya pada anak-anaknya dan selalu membebaskan pilihan pada anak-anaknya. Aku menghela nafas, sebetulnya aku masih ragu , bukan ragu akan cintanya mas Priyo tapi kedekatan mas Priyo dengan mbak Dinarlah yang membuatku ragu.
            “Jenar, mengapa kau ragu akan cintaku, Dinar itu sahabatku , tak lebih dari itu,” digenggamnya tanganku. Sudah sering mas Priyo mengatakan hal yang sama denganku tapi dalam hati kecilku aku melihat banyak kedekatan dan kemesraan mas Priyo terutama dengan anaknya mbak Dinar, Dita.  Sampai aku yakin , mungkin mas Priyo benar adanya, mbak Dinar bukan siapa-siapanya mas Priyo.

            Ternyata saat-saat kebahagiaanku mulia terusik saat sering kali mbak Dinar meminta bantuan mas Priyo untuk melakukan hal tertentu yang menurut mas Priyo sih mbak Dinar tidak bisa melakukannya sendiri, tetapi mengapa harus mas Priyo kalau hanya sekedar membetulkan sesuatu yang sebetulnya bisa dikerjakan orang lain. Entah berapa kali aku harus memendam kekesalan saat kebersamaanku dengan mas Priyo terganggu ketika mbak Dinar meminta pertolongan. Kulihat ponsel mas Priyo berdering , ku tatap layarnya dan ada nama mbak Dinar, aku melihat mas Priyo  sedang mencuci mobilnya, aku segera mematikan ponselnya. Mau apa lagi mbak Dinar menelpon mas Priyo, apa dia sebagai perempuan tidak punya perasaan terhadap perasaan perempuan lainnya yang justru lebih berhak karena dia istrinya yang sah.

            Itulah awal percekcokan aku dan mas Priyo, gara-gara aku mematikan ponselnya saat mbak Dinar menelpon.
            “Aku gak mengerti denganmu, mengapa kau matikan ponselku, Dita masuk rumah sakit,” mas Priyo tampak kesal.
            “Mas, apa kamu tidak merasa kalau hubunganmu dengan mbak Dinar itu membuatku gak nyaman.”
            “Dengar ya , sekali lagi berapa kali aku harus bilang padamu, Dinar itu sahabatku, aku tak mau ada perdebatan lagi,” katanya marah. Apa aku   tak berhak marah saat ada perempuan lain yang begitu diperhatikan suami sendiri, apa aku salah? Begitu banyak kesah yang menyelimuti hatiku, banyak pertanyaan yang tak mampu kujawab , hanya rasa pasrah dan putus asa yang tinggal di sekeping hati yang juga ingin diperhatikan lebih dari orang lain. Hanya sunyi menemaniku dalam dinding-dinding kamar yang menyerupai jeruji sel-sel yang memenjaraiku dalam kecemburuan.

            Sore itu, rasanya malas untuk pulang ke rumah, sudah tiga hari mas Priyo tidur di rumah sakit menemani mbak Dinar menjaga Dina, apa harus? Aku tak mampu menjawab pertanyaan aku sendiri yang tak bisa kujawab..
            “Gak pulang Jen?” tanya Ina.  Aku mengangkat bahuku dan menyuruhnya pulang duluan.
            “Apa ini ada hubungannya dengan mas Priyomu?” tanya Ina lagi.
            ‘In, aku tak apa-apa , aku hanya ingin sendiri.” . Ina berjalan dan kembali membalikan tubunya.
            “Aku selalu ada untukmu , Jenar.”  Aku melihat ponselku yang berdering,kuangkat dan kudengarkan satu alasan lagi untuk bisa menginap di rumah sakit. Hari keempat aku harus sendiri lagi , ditemani dengan dinding-dinding yang hanya bisa kutatap dalam kesunyian.


            Sampai suatu hari , mas Priyo minta ijin agar aku mengijinkanya untuk menikahi mbak Dinar. Aku tak mampu berkata-kata lagi, semua serasa pisau yang tajam menohok dadaku, sakit rasanya. Kalau memang mas Priyo mencintai mbak Dinar , mengapa dia mendekatiku?  Mengapa kau libatkan hatiku untuk permainan cintamu.
            “Mas, dulu kamu yang mengejarku dan saat aku ragu karena kedekatanmu dengan mbak Dinar, engkau juga yang meyakinkanku, tapi sekarang mengapa harus begini?”
            “Karena ini lain Jen, Dita divonis kanker darah, aku tak bisa meninggalkan Dinar, dia harus sendiri menghadapinya.”
            “Aku yakin dia bisa, dia perempuan dewasa , dia punya kemampuan mendampingi anaknya.”   Tapi , mas Priyo tetap dengan pendiriannya, aku hanya bisa pasrah.
            “Apa mas mencintai mbak Dinar?” Mas Priyo tak menjawabnya.
            “Aku mengijinkan kau menikah dengan mbak Dinar dengan satu syarat, ceraikan aku.” Mas Priyo agak tersentak , dan  menyuruhku untuk berpikir dua kali. Aku tetap pada syaratku, aku merasa tertipu , aku sudah yakin bahwa mas Priyo benar-benar mencintaiku , ternyata dia lebih memilih sahabatnya daripada cintaku. Apa lagi yang harus kutunggu , tak ada, lebih baik  aku lepaskan cintaku untuk orang lain . Tertipu, entahlah cinta kadang buta, dari awal aku sudah merasakan keanehan hubungan mas Priyo dengan mbak Dinar tapi cintaku terlau besar buat mas Priyo sehingga hal yang sebetunya sudah terlihat dari awal tertutupi dengan gegap gempita cinta. Aku tersentak kaget saat aku mulai merasakan teriknya matahari dan kulihat jam mununjukan jam dua belas siang, astaga , aku begitu lama melamun! Aku bergegas pulang, aku yakin ibu sudah menungguku makan siang..

            Aku hanya bisa mengenang pernikahanku yang hanya bisa bertahan dua tahun saja dan aku sudah memutuskan tak mungkin aku mempertahankan kalau ada dusta diantara cinta.
            “Jenar, ibu menghargai keputusanmu, tapi kamu juga harus kembali membuka dirimu buat pria lain,” nasihat ibu.
            “Sabar bu, aku masih ingin sendiri dulu.” Sampai sekarangpun aku masih membayangkan bahwa cintaku tak akan selesai sampai disini sampai aku tahu aku sudah tertipu cintanya yang justru mendua saat-saat aku masih mengecap keiindahan pernikahan.. Aku tak mau di duakan oleh mas Priyo, aku ingin jadi ratu baginya, tapi sekarang semua sirna ditelan bumi. Entah kapan aku  bisa melabuhkan cintaku tapi saat ini aku masih ingin menikmati kesendirianku. Dari kejauhan terdengar suara azan mangrib, kuambil air wudhu dan kupanjatkan doa agar kelak aku mendapatkan pangeran yang akan selalu menemaniku sampai akhir hayat hidupku, semoga!

0 komentar:

Posting Komentar