Cinta Tak Pernah Salah

Jumat, 24 Juni 2016


Gambar dari sini

            Aku masih tercenung di pagi hari saat kopi masih mengepul di depanku. Tapi pikiranku masih tak bisa aku fokuskan pada peristiwa yang lewat. Semua hal tentang Kesya menyita semua sel-sel otakku. Aku seruput kopiku sambil aku hela nafasku perlahan.
            “Pagi pak Feri.” Bu Nana menyapaku pagi ini. Sedikit melirik bu Nana padaku. Aku tahu , aku tampak kusut hari ini. Ini semua bermula dari Kesya, salah satu siswaku di kelas 2 SMP Pustaka. Aku mengenalnya saat aku mengajar dirinya. Aku melihat ada guratan kesdihan di matanya. Sampai aku suka mendekatinya untuk mencari tahu , apa ayng membuatnya tampak selalu sedih. Sampai akhirnya Kesya sering bercerita tentang orangtuanya yang hampir setiap hari bertengkar di hadapannya.  Aku hanya menjadi pendengarnya yang setia. Apa sih yang dibutuhkan anak semacam Kesya adalah orang yang mau mendengarkannya. Entah mengapa, kedekatanku dengan Kesya membuat Kesya sangat tergantung diriku.  Dan kedekatanku itu membuat semua orang menganggap Kesya dan aku punya hubungan khusus. Tak dipungkiri Kesya tampak telihat suka padaku. Dan itu pernah dia ungkapan terus terang padaku.
            “Pak, aku suka dengan bapak,”tukas Kesya terus terang. Itu yang membuatku terdiam sejenak sambil memikirkan jaawban yang bijak untuk itu.
            “Bapak tahu, tapi kamu belajar dulu. Kalau kau rajin belajar dan nilaimu bagus ,kamu bisa membuktikan pada orngtuamu hasil belajarmu,”tukasku. Kesya hanya mengangguk perlahan.  Pandangan mata sayunya kadang membuat hatiku luluh. Entah mengapa, tapi aku berusaha agar jangan sampai aku juga mulai menyukainya. Dia siswaku. Masih remaja , masih banyak yang harus dia lakukan pada masanya bukan hanya persoalan cinta saja. Ternyata penderitaan Kesya tak berhenti, dia harus masuk rumah sakit karena mencoba bunuh diri dengan menyilet lengannya. Aku berlari ke rumah sakit dan memeluknya erat-erat.Ada rasa ketakutan di hatiku, entah karena aku mulai menyukainya???
            “Tenangkanlah dirimu. Mengapa kamu lakukan?” aku masih memeluknya.
            “Apa-apan ini,” tegur pak Cecep kepala sekolah yang datang menjenguk. Aku kaget dan melepas pelukanku. Tampak pak Cecep tak suka dengan kejadian ini. Aku beringsut pergi sambil menatap mata Kesya yang penuh dengan penderitaan. Rasanya masih ingin aku peluk dirinya. Dia butuh kasih sayang yang tak pernah dia dapatkan dari orangtuanya.

            Persitiwa di rumah sakitlah yang membuatku dipanggil pak Cecep ke ruangannya. Pak Cecep minta penjelasan padaku tentang kejadian di rumah sakit. Tak pelak aku ceritakan semuanya padanya.
            “Tapi bagaimanapun kamu tak bisa membawa perasaanmu kalau mau membantu siswa, apalagi dengan memeluknya. Apa kata orang pak. Ini saja sudah banyak guncingan tentang bapak dan Kesya.” Aku mengangguk . Mungkin apa yang dikatakan pak Cecep ada benarnya.  Sejak saat itu aku mulai menjaga jarak dengan Kesya. Apapun akibatnya , ini menyangkut hubungan aku dengan siswa lainnya dan rekan –rekan guru yang lain. Benar saja, Kesya terlihat begitu rapuh. Sepanjang pelajaran tak pernah konsentrasi. Bahkan beberapa guru sering menyebutkan kalau Kesya sering mangkir mengumpulkan tugas. Dilema bagiku. Karena aku yang duluan mendekati Kesya untuk tahu permasalahannya sehingga ketika guru BP mendekati Kesya, dia tak memberikan respon. Banyak rekan guru juga mencoba untuk mendekatinya dan memberikannya kekuatan , tapi semua itu sia-sia. Semakin lama aku semakin sedih melihat kesedihannya.Dilema bagiku. Aku sayang dengan Kesya, tapi apa yang harus aku perbuat???

            “Pak,” tegur pak Cecep. Aku tergagap, kopiku sudah mulai dingin. Aku kini sudah memutuskan untuk berhenti mengajar di sekolah ini. Aku ingin lebih memperhatikan Kesya. Aku ingin dia bangkit dari kesedihannya. Aku sayang dengannya. Untuk itu aku rela melepaskan atributku sebagai guru demi kenyamanan di sekolah ini. Baik bagi siswa , baik bagi rekan kerjaku. Aku kembali menyeruput kopiku. Hari ini hari terakhirku di sekolah. Semua guru menyalamiku, ada perasaan haru yang timbul di dadaku. Aku bersyukur bisa berada di sekolah ini dengan rekan guru-guru yang hebat. Selamat Jalan.....

Guru juga manusia. Punya hati dan perasaan. Saat harus bersinggungan dengan siswa baik dalam hal pelajaran atau bimbingan , pastilah rasa sayang sering muncul.  Tapi kalau rasa itu begitu kuat dan itu membuat banyak ketidaknyamana di sekolah baik guru maupun siswanya, sepatutnya guru harus bijak menyikapinya. Mengundurkan diri salah satu cara untuk memberikan ruang yang nyaman bagi siswa dan guru yang lain  .




4 komentar:

Eri Udiyawati Says:
27 Juni 2016 pukul 15.16

Mbak, kurang panjang, aku suka ceritanya... jarang2 ada kisah guru dan murid apalagi masih SMP

Tira Soekardi Says:
28 Juni 2016 pukul 12.30

oh gt ya, memang masih perlu konflik lagi ya? Ini ceriat berdasarkan hal yg nyata . Dulu di temoat ngajarku ada siswa yg suka caper sama guru A, ternyata anak itu memang kurang perhatian di rumahnya. Ada saja cara dia caper, mulai dari sakit bohongan, pingsan bohongan, biar guru A ini yg nangani. Sampai akhirnya mereka saling jatuh cinta, tapi itu akhirnya bikin suasana ngajar gak nyaman jadi bahan omongan. Akhirnya kepsek menyuruh salah satu mundur dari ekolah, akhirnya guru A yg mundur. Pesan dari cerita ini sih, kalau ada murid dan guru yg saling jatuh cinta, lebih baik salh satu keluar untuk kenyamanan mengajar , gitu mbak

Liswanti Says:
28 Juni 2016 pukul 18.39

Seru neh ceritanya mba, tapi kurang panjang neh. Hehe

Tira Soekardi Says:
29 Juni 2016 pukul 12.37

iya, aku kalau buat cerpen memang suka yang ringkas tapi padat tapi jadi kadang bikin penasaran

Posting Komentar