
Masih
terngiang saat aku mendapat telepon dari Marni kalau mak jatuh dari pohon
kelapa dan nyawanya sudah tak dapat ditolong lagi. Aku bergegas pulang ke
kampung tapi hanya jasad mak yang kutemui terbujur di amben rumahku. Aku melihat
Marni dan Darto menangis di tubuh mak, pandanganku kabur dan aku tak ingat
apa-apa lagi. Kini aku hanya bisa terpekur di makam mak. Sudah hampir tiga hari
aku berada di kampung dan hampir tiap hari aku mengunjugi makam mak.
“Mak, mengapa mak cepat pergi, aku
masih punya banyak hutang pada mak? Bagaimana dengan Marni dan Darto , siapa
yang akan menjaga mereka. Kami tak punya siapa-siapa lagi.mak, aku malu pada
diriku, aku belum bisa memenuhi janjiku sendiri membahagiakan mak, mak masih
harus bekerja keras untuk adik-adik, seharusnya aku yang menanggung mereka, mak
maafkan aku ,”mataku mulai tetutup kabut air mata, sedikit demi sedikit tetesan
air mata membasahi tanah , meresap membawa kesedihan yang masih bersarang di
hati. Andai saja aku bisa mencukupi kehidupan keluarga ini, mak tak perlu mati
sia-sia karena terjatuh dari pohon kelapa untuk mengambil nira. Aku menelungkupkan
kepalaku , aku masih ingin dekat dengan mak, mak segalanya bagiku, mak yang
selalu mendoakanku, memberiku semangat. Mak, mengapa mak begitu cepat pergi??????
Isakan tangisku berbaur dengan angin yang
tertiup menyatukan kesedihan .
“Teh Inah, sudah teh, mak sudah tenang ,mungkin ini sudah
takdir mak, kita hanya bisa mendoakan saja. Teh, aku mau kerja saja. “tukas Darto
yang aku sendiri tak tahu sudah berapa lama dia ada di belakangku. Aku menyusut
air mataku dan menatap Darto yang tampak lebih dewasa dari umurnya. Kesusahana
yang menempanya menjadi dewasa, dia banyak membantu mak membuat gula aren .
Peluh selalu menemani hari-harinya, keringat mengucur dari tubuhnya , hanya
untuk keluarganya bisa makan. Aku terharu melihat tanggung jawab adikku pada
keluraga ini. Andai saja aku bisa mencari pekerjaan yang bisa membuat mereka
tak perlu kerja keras lagi, mereka akan menjadi anak-anak yang bisa melewati masa
–masa sekolah dan tak perlu susah payah bekerja. Aku malu.
“Nanti saja itu dibicarakan Dar, aku
masih ingin besama mak. Kapan kamu masuk sekolah lagi. Sudah tiga hari kamu tak
masuk sekolah,”tegurku. Darto tampak ragu-ragu tapi dia mengurungkan bicara
saat aku menatapnya tajam Dia berlalu dari hadapanku, entah hendak kemana.
“Pokoknya aku gak setuju, kalian
harus sekolah, biar hidup kalian gak terus-terusan susah, biar teteh yang
bekerja, kalian hanya tinggal belajar saja,”tukasku saat Darto kembali ingin
bekerja dan putus sekolah. Aku tak mungkin membiarkan adik-adikku putus
sekolah, bukan hanya karena agar mereka punya penghidupan yang layak, tapi aku
sudah janji pada mak, kalau aku akan menyekolahkan adik-adiku sampai
sarjana. Sebetulnya aku juga
menyangsikan ,karena berapa sih pendapatan seorang buruh satu bulannya dipotong
dengan biaya hidup. Sisanya baru aku kirimkan ke kampung. Darto terlihat
menunduk dan Marni mulai terisak. Aku menarik mereka dalam pelukanku, aku tak
kuat harus menahann tangisku , adik-adiku harus merasakan kegetiran hidup di
usianya yang masih muda. Aku mengelus kepala Marni , biar aku akan mengantikan
posisi mak buat mereka. Mak aku janji, mereka harus sekolah yang tinggi. Mak,
aku janji padamu, aku janji. Mataku terpejam , membayangkan mak yang selalu
menenangkan hatiku saaat aku gundah, menghapus air mataku saat aku menangis .
Ingin aku merasakan kembali kasihmu saat-saat ini dimana pundakku terasa berat
untuk membawa semua beban di pundakku .
“Percayalah sama teteh ya, teteh
pasti bisa membuat kalian bersekolah sampai selesai,” tukasku perlahan.
“Tapi aku masih boleh , bantu-bantu
mang Dirja untuk membuat nira teh?” tanya Darto. Aku mengangguk dan menatap
wajah Darto yang semakin menghitam dan tubuhnya sudah tampak kekar. Kelak dia
akan menjadi pemuda yang gagah .
“Asal jangan ganggu pelajaran. Marni
kamu bagian dapur ya, kalian saling membantu, soalnya teteh gak mungkin setiap
bulan pulang, biar ngirit uang,” tukasku sambil kupeluk lagi mereka dan aku
menguatkan mereka untuk berjuang agar mereka kelak berhasil.
Persitiwa itu sudah hampir sepuluh
tahun yang lalu , rasanya semua tanggung jawabku untuk adik-adikku selesai
sudah. Mereka sudah mencapai apa yang mereka impikan. Aku mendampingi saat
Darto dan Marni diwisuda. Rasa lelah dan penat hilang saat aku melihat
adik-adikku berdiri dengan toganya. Air mata mengalir menutupi hampir semua
bola mataku, dan tumpah karena ruang mataku sudah tak mampu menampung lagi air
mataku yang semakin kencang mengalir. Di hadapan pusaraku aku berlutut , beban
kini yang harus kupikul tiba-tiba hilang begitu saja. Rasa lelah yang mendera
yang menemani hari –demi hari dan malam-malam sepi , semuanya hilang
terhapuskan dengan cerita bahagia. Aku bahagia bisa menghantarkan adik-adikku
bisa bersekolah tinggi.
“Mak,aku datang untuk memberikan
janjiku padamu. Darto dan Marni sudah menjadi sarjana, mak.Kalau saja mak masih
ada mungkin mak bisa melihat betapa gagah dan cantiknya mereka memakai toga.”
Bunga –bunga kutaburkan di atas pusara mak,
angin seperti ikut menyanyikan rasa gembira di hati. Sudah kupenuhi
janjiku pada mak. Ingin aku kembali dalam pelukan mak, untuk sekedar
menyandarkan kepalaku sebentar saja, ingin kubaringkan kepalaku pada dadanya
untuk sekedar berserita tentang suka dukanya aku bergelut dengan kerasnya
dunia. Tanganku bergetar saat aku mulai menyentuh nisan makam mak, dingin .
Semua andai sudah aku ucapkan untukmu mak, hanya doaku selalu untukmu. Mak
boleh berbangga hati melihat anak-anak mak yang sudah bisa keluar dari kemelut
hidup dan mendapatkan hidup yang lebih mapan.
Masih hangat kuingat setelah
kematian mak, aku kembali bekerja
sebagai buruh . Otakku harus berpikir keras agar aku bisa mewujudkan janjiku
pada mak, mau pindah kerja tentu tak mungkin. Apalah artinya seorang yang hanya
memlikii ijasah SMA, paling ya seperti diriku bekerja sebagai buruh di pabrik
tekstil. Aku mulai berjualan sore setelah pulang kerja.Kepandaian aku memasak
aku manfaatkan untuk membuat warung tenda sederhana. Ayam goreng bumbu
serundeng , resepnya aku dapatkan dari resep yang pernah mak ajarkan padaku. Setiap hari aku lakoni dua pekerjaan yang hampir membuatku
hanya bisa beristirahat sebentar tapi tekadku sudah bulat adik-adikku harus
berhasil. Tak disangka warung tendaku
laris dari hanya lima kilo ayam aku jual, sepuluh kilo terus dan aku mulai
meperkerjakan karyawan untuk membantuku. Setelah Darto kuliah di Bandung, dia
juga membantuku setelah pulang kuliah. Berkat kegigihankulah aku juga bisa
membuat beberapa cabang warung tenda di
kota Bandung. Saat omset penjualan sudah mulai banyak, aku berhenti bekerja dan mulai
konsentrasi dengan warung tenda ayam gorengku.
Rasa yang gurih dan bumbu yang meresap, membuat pelanggan banyak yang
berdatangan kembali. Jatuh bangun aku membangun usaha makanan ini, walau sempat
aku patah semangat , saat aku diajak
kerjasama untuk membuat restoran. Hampir uang sebesar limapuluh juta raib
diambil rekanan. Kini aku harus lebih berhati-hati untuk tidak selalu
mempercayai orang lain.
“Teh, sudah sore, angin sudah mulai
membesar, pulang yuk,”tegur Marni yang menemaniku ke kampung. Sekarang aku
sudah memiliki rumah di Bandung yang aku tinggalin bersama Marni yang sudah bekerja di kantor sedangkan Darto bekerja di Surabaya. Aku
menoleh padanya dan mengulas senyumku .
“Sebentar lagi Mar, aku masih rindu
dengan mak. Masih ingin aku berlama-lama di sini. Kasihan mak, mak gak bisa
menikmati hidup . Andai saja mak masih hidup paling tidak mak bisa merasakan
hidup yang lebih enak dibanding dulu,”:keluhku.
“Teh, jangan mengeluh begitu, mak
sudah bahagia di sana . Aku yakin, mak tak pernah merasa kecewa, malah mak
bangga terutama sama teteh, bisa menyekolahkan aku dan kang Darto. “ Aku
menoleh pada Marni. Alangkah cantiknya dia setelah menjadi wanita, dengan potongan
rambutnya yang dipotong pendek, pasti banyak pria yang ingin mendekatinya.
“Masih ada janji teteh lagi yang
belum terlaksana Mar,”tukasku.
“Apa itu teh?”
“Melihat kalian menikah, teteh akan
bahagia begitu juga mak, rasanya semua keringat teteh tak akan sia-sia. Teteh
yakin mak setuju dengan janji teteh kali ini.” Marni menatapku tajam dan
tiba-tiba memelukku erat dan menangis di pelukanku.
“Seharusnya Marni yang berjanji pada
mak, untuk mencarikan jodoh untuk teteh. Selama ini teteh kerja keras untuk
kami dan teteh tak pernah merasakan namanya pacaran atau sekedar mengenal pria.
Semua waktu teteh hanya untuk kerja. Sekarang waktunya teteh memikirkan hidup
teteh . Teteh harus bahagia, teteh sudah banyak berkorban.” Marni mempererat
pelukannya padaku.
“Maafkan Marni teh,”tukasnya. Aku
mengelus kepala Marni seperti dahulu. Betapa aku menyayangi adik-adikku melebih
aku menyayangi diriku.Kebahagiaan mereka adalah kebahagiaanku juga. Aku mengangkat tubuh Marni berdiri dan
mengajaknya untuk pulang . Kusentuh kembali nisan mak dan aku melihat mak dari
kejauhan tersenyum padaku.
“Terimakasih nak, mak bangga padamu,”
suara mak seperti terdengar samar-samar di telingaku. Mak melambaikan tanganya
padaku, aku membalasnya.
“Teteh melambaikan tangan sama
siapa?” Marni heran melihatku. Aku tersenyum dan menggandengnya untuk
meninggalkan kuburan mak.
“Tadi mak melambaikan tangan padaku,”:
tukasku perlahan. Marni menoleh ke
belakang Aku bahagia sudah menepati janjiku
pada mak. Mak, janji Inah sudah terkabulkan.....