Gambar dari sini
Sore itu masih sama dengan sore-sore terdahalu, aku berada di atas bukit cinta. Bukit kecil yang
letaknya tak jauh dari rumahku di Bandung. Hampir setiap sore aku dan Kenzi selalu
duduk di atas bukit untuk melihat senja. Senja di bukit cinta memang indah.
Perubahan warna dari kuning, jingga dan perlahan memerah dan sedikit demi
sedikit menghitam dan menggelap. Tiada
kata yang bisa terucap dari keindahan saat senja tiba.Keagungan Allah yang tiada
duanya.
“Lihat
burung camar yang terbang , sepertinya sangat dekat dengan matahari,”teriak
Kenzi. Aku melihat apa yang ditunjuk Kenzi. Burung camar tampak dengan latar
belakang matahari yang mulai menjingga.
“Keren ya.”
Kenzi mengangguk setuju. Begitulah aku dan Kenzi tak pernah bosan melihat senja
. Mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah tak pernah lupa untuk melihat
momen senja di bukit cinta. Berlari-larian, menikmati senja dengan bernyanyi
atau tiduran di atas rumput sambil memandang langit. Rasanya hanya kegembiraan
milik aku dan Kenzi berdua. Banyak yang bilang aku dan Kenzi pacaran tapi aku
selalu menganggapnya hanya sebatas kakak yang berusaha untuk selalu melindungiku.
Aku menikmati perhatian yang diberikan Kenzi. Selalu indah dan gembira bersama
Kenzi.
“Akhirnya
harus juga meninggalkan bukit cinta ini,”keluhku. Rasanya aku tak mampu untuk
meninggalkan bukit cinta ini. Sudah merupakan bagian dari jiwaku. Kenzi pindah ke Australia mengikuti papanya yang
sekolah lagi di sana. Sedangkan akupun pindah
ke Surabaya mengikuti papa yang dipindahkan ke kantor cabang Surabaya.
“Entah
kapan bisa ke mari lagi,”gumam Kenzi perlahan.Hanya sayup terdengar seperti
bisikan yang hilang tertiup angin. Entah mengapa air mata menetes perlahan.
Sungguh aku tak mau meninggalkan tempat yang punya banyak kesan . Kenzi
memandangku dan terdengar suara helaan nafas yang berat.
“Kita
janjian yuk. Untuk datang 10 tahun lagi di sini. Di bukit cinta,”tukas Kenzi.
“Untuk
apa?” Aku memandang heran padanya. Kenzi mengangkat bahunya . Mulai
digeleng-gelengkan kepalanya.
“Obat
kangen kali,”tukasnya Ada sepasang mata
yang begitu merindu untuk tak melepaskanku. Aku tahu itu. Kenzi menyukaiku . Tapi
untuk saat ini aku masih suka hanya bersahabat saja. Saat senja terakhir di
sana, perasaanku begitu kelu. Saat harus berpisah dengan Kenzi saat langit
mulai menjingga. Lambaian tangan Kenzi semakin jauh dan menghilang dari
pandangan mataku. Aku hanya menangis
dalam sepiku.Aku melangkahkan kakiku sambil menunduk pilu.
“Selamat
tinggal Kenzi. Suatu waktu mungkin kita akan berjumpa lagi. Suatu saat,”gumamku
perlahan.
Aku menatap
bukit cinta. Masih seperti dulu. Masih sama. Masih dengan senja yang indah .
Tampak langit mulai berubah warna. Angin masih menyapa pipiku. Aku mulai
merapatkan mantelku. Udara Bandung kali ini agak dingin. Sudah hampir 20
tahun aku meninggalkan tempat ini. Janji
10 tahun untuk bertemu lagi aku lupakan begitu saja. Mungkin Kenzi marah padaku
karena aku tak datang. Mungkin dia akan menghilangkan namaku dari persahabatannya.
Tapi semenjak itu aku tak pernah bisa lagi menghubungi Kenzi. Dia menghilang
bak ditelan bumi. Aku yakin Kenzi marah padaku.
“Sudah
malam. Pulang,” tegur mas Didit merangkul pundakku
“Iya, tapi
lihatlah senja itu selalu mempesona,”tukasku sambil menunjuk langit. Ah,
maafkan aku Kenzi. Maafkan aku. Persahabatan yang lama terjalin kini putus
sudah. Aku menyesal Sungguh, maafkan aku.......
6 komentar:
7 Desember 2015 pukul 13.36
Kenzi kecewa.....atau jgn2 dia pun ga dtg
7 Desember 2015 pukul 13.41
apakah kenzi masih ingat? hm...
7 Desember 2015 pukul 13.52
Saya kira fotonya memang ada di Bandung. H h namanya juga fiksi.
8 Desember 2015 pukul 11.53
iya mbak Irma kita gak tahu mungkin keduanya tak datang
8 Desember 2015 pukul 11.54
wah gak tahu ya mbak Mahdiyyah
8 Desember 2015 pukul 11.55
wah mbak Sapta katanya sih di bandung ada bukit cinta tapi aku malah belum tahu. kalau foto bukan di bandung
Posting Komentar